Tak Perlu Kembang Api untuk Tahun Baruku

Arif Lukman Hakim 6 Januari 2012

Sore itu gerimis halus mengguyur Laut Seram. Angin semakin bertiup dan kulihat ombak sudah memukul pantai dengan kencang di pulau tempatku berpijak. Kabut tipis perlahan turun menggantung di bukit yang dihiasi pepohonan.

Hujan semakin menggerutu di atas atap seng. Kudengar suara telapak kaki anak-anak mulai berlarian. “Pak guru, anak buah sudah menunggu itu”, Kata Pak Sulaiman sambil menunjuk ke arah masjid. Ah, iya… anak-anak SDN Tarak memang setiap senja mendekat selalu merapat ke masjid. Aku yang memberi komando mereka untuk sama-sama melaksanakan sholat maghrib. Terlebih hari ini, aku berjanji akan melaksanakan doa bersama menyambut tahun baru tiba.

Seperti biasa anak-anak duduk melingkar di depanku. “Anak-anakku, pak guru malam ini ingin kalian melakukan doa bersama. Hari ini adalah hari terakhir di tahun 2011, besok kita sudah memasuki tahun yang baru, 2012. Mari kita berdoa bersama yang akan dipimpin oleh Bapak Khatib”, kataku mengawali acara doa bersama malam itu.

Selesai doa bersama, anak-anak langsung berlarian pulang menembus hujan. Hujan seolah mengepung pulau ini, tak memberi sedikitpun celah untuk melaluinya.

31 Desember hampir berakhir di peraduan malam. Aku dan bapak seperti biasa duduk bersama membicarakan segala urusan dalam semua bahasa. Tiba-tiba Ketua Pemuda datang, dengan tujuan memberitahu kepada Kepala Kampung, bahwa nanti malam ada bunyi-bunyian sebagai pertanda pergantian tahun katanya. Bapak menyepakati, dengan syarat tetap menjaga ketertiban.

Kita kembali bercerita, tentang perkembangan kampung, tentang fasilitas penunjang di daerah kepulauan seperti sarana transportasi, sanitasi, dan penerangan yang belum ada jawaban. Kita juga memacu pikiran menggali solusi terhadap kebutuhan masyarakat secara umum sampai membahas tentang kinerja penentu kebijakan.

Obrolan anak dan bapak yang mirip acara dialog interaktif ini semakin mencair karena diselingi dengan mop-mop Papua yang Bapak lontarkan. Bapakku memang sangat besar kemauannya untuk maju. Sampai pertanyaan-pertanyaan di luar akal saja beliau lontarkan.

“Sebaiknya kita duduk di depan rumah saja, biar pikiran semakin terbuka”, kataku yang juga mengajak Subkhi, seorang pengajar muda yang sedang berkunjung ke Pulau Tarak.

Kulihat langit mulai memberi celah untuk cahaya. Mendung sudah mulai luntur dan terhempas ke angkasa. Kita bertiga kembali duduk sambil bercerita, berpikir dan tertawa, di bawah cahaya pelita.

Ketika asik bercerita, sayup-sayup terdengar suara ketuk-ketuk. Sejurus kemudian bunyi ting-ting-ting menyusul.

“Bapak, sudah jam 12 kah?”, saya bertanya kepada Bapak.

Sambil mengarahkan korek api bapak mengintip jam dinding di tengah kegelapan.

“Iyo Pak guru. Su kunci tahun ini.” kata bapak.

Aku terpancing suara ketuk-ketuk dan ting-ting-ting tadi. Aku langsung lari ke dalam kamar dan mengeluarkan jimbe, kemudian secara reflek bapak mengangkat gitar.

Di tempat yang sama sewaktu kita duduk dan bercerita, aku, bapak, dan subkhi mulai bernyanyi, dan menari. Lagu yang kami mainkan tak karuan. Sampai akhirnya bapak mendendangkan lagu adat.

Yaum binato yaum binato

Patipi weri sonak jimboro yainggaro…

Inggaro… inggaro… jimboro yainggaro…

Aku main jimbe, bapak main gitar

Jimbe semakin kupukul kencang, dengan ritme yang sesuai dengan tarian perang. Saat pertunjukkan kecil ini sedang klimaks kulihat cahaya senter mulai mendekat. Ah, ternyata segerombol pemuda mendatangi kami. Sambil geleng-geleng kepala mereka bilang, “Memang… bapak dan anak bisa saja…”.

Selesai membuat pertunjukkan kecil ini, para pemuda menyampaikan bahwa kami diundang minum teh sambil cerita-cerita di rumah Sekretaris Kampung.

Sambil melangkah menuju rumah yang dituju, kembali kupukul jimbeku.

Kali ini lagu yang kunyanyikan bercerita tentang tahun baru.

Selamat tahun baru, kami ucapkan

Selamat panjang umur, kita kan doakan

Selamat sejahtera, sehat, sentausa

Selamat tahun baru, kita kan bahagia

Lagu yang kumodifikasi dari lagu ulang tahun itu membuat para pemuda tertawa, namun akhirnya mengikutiku juga untuk menyanyikannya.

bernyanyi lagu tahun baru

masyarakat mulai berkumpul

 

Akhirnya sambil duduk minum teh dan hidangan yang tersedia, kami berkumpul bersama warga lainnya sampai jarum jam menunjuk angka dua.

“Inilah tahun baru pertama saya yang paling berbeda. Perayaan tahun baru yang hidmat, meriah, namun sederhana. Seumur hidup, saya mengalami tahun baru di Jawa, baru kali ini di Papua. Dari dulu, tahun baru selalu dirayakan dengan cahaya kembang api di tengah kota, tetapi kali ini saya nikmati di sebuah pulau kecil dengan pelita, dan keakraban dengan warga.”, kataku saat disuruh membuka kata di tengah mereka.

______________________________________________

1 Januari 2012. Di Pulau Tarak, Distrik Karas, Kabupaten Fakfak, Papua Barat.


Cerita Lainnya

Lihat Semua