Salah Siapa Menjadi Pengajar Muda?

Arif Lukman Hakim 28 November 2011

Indonesia Mengajar, mungkin sekarang bisa dikatakan membuat gempar. Pengiriman 51 Pengajar Muda angkatan pertama 10 November 2010 silam membuat bangsa ini membuka mata, betapa beratnya janji kemerdekaan “mencerdaskan kehidupan bangsa” harus dilunasi.

Beberapa sorotan pada gerakan ini kemudian membuat Indonesia Mengajar mulai bersinar. Lalu berduyun-duyun anak muda yang mencoba untuk mengikuti tahapan seleksi agar menyandang kata “pengajar muda”, termasuk saya.

Baik, saya tidak usah bercerita barang yang tidak tahu kejelasannya, lebih baik saya bercerita setahu saya. Maka kali ini akan kuceritakan tentang saya saja.

Saya mulai mendengar kalimat “Indonesia Mengajar; setahun mengajar, seumur hidup menginspirasi” saat pertengahan 2010, kala itu mahasiswa seangkatanku di UGM sedang musim wisuda. Indonesia Mengajar menjadi salah satu pilihan beberapa orang sarjana sebagai batu loncatan untuk berkarya.

Saya masih ingat betul, waktu saya membagikan makanan dari donatur untuk korban erupsi merapi yang mengungsi di bawah tenda, adik kelas dari kampus sebelah bertanya, “Mas dari kampus mana?”, saya jawab, “Saya baru saja lulus dari Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM, sambil bekerja di lembaga penelitian saya ikut bergabung bersama tim relawan, ada apa ya?”. “Mas kalau suka kegiatan kemanusiaan atau program-program masyarakat paling pas ikut Indonesia Mengajar”, katanya. “Oh ya, nanti coba saya baca-baca keterangan lebih lanjutnya”, kata saya singkat sambil kembali memanggul kardus dan berpindah ke tenda sebelah.

Ingatanku masih kuat, waktu itu di Balai Desa Sariharjo, Sleman, yang menjadi lokasi pengungsian setelah pindah sampai empat kali, saya menyempatkan diri ke pojok warnet kecil di Jalan Palagan. Di bilik warnet itu sambil mengirim data saya membuka beberapa berita. Dan tak sengaja kulihat sepotong berita tentang Indonesia Mengajar. Saat kubuka website-nya dan pelan-pelan kubaca, saya langsung tekan panel share dan menulis “Rasanya ada yang bergerak di dada saya saat membaca gerakan ini”. Beberapa adik kelas yang kuliah di beberapa kota besar langsung berkomentar, “Mas, mau ikut Indonesia Mengajar? Orang seperti mas pasti lolos”. Ada lagi yang berkomentar, “Sudah mas, daripada kerja cuma mengejar gaji, lebih baik ikut ini”. Beberapa teman saat kumintai saran juga menuturkan, “Saya tahu duniamu. Bekerja, beramal, dan berpetualang adalah yang kamu mau. Dengan ikut Indonesia Mengajar akan kamu dapatkan ketiganya itu”.

Oke. Keputusan cepat telah kubuat. Saya langsung mengisi lembaran-lembaran yang tersedia di kolom pendaftaran Indonesia Mengajar. Segala macam pertanyaan dan perintah menulis esai kuhajar. Semua informasi kuiisi di bilik warnet itu sambil membaca visi misi maupun segala keterangan tentang Indonesia Mengajar.

 

Saat hari pengumuman tiba, akhirnya potongan email masuk, dan saya lolos ke tahapan berikutnya. Dengan mengenakan kemeja hitam-biru saya datang ke gedung University Club UGM untuk melakukan direct assessment. Kulihat beberapa peserta seleksi dari berbagai universitas yang beradu kompetensi dan kreatifitas saat melakukan indeepth interview, focus group discussion, ataupun saat sesi micro teaching.

Sampai akhirnya tersisa satu tes terakhir, yaitu tes kesehatan kuikuti, aku akhirnya dinyatakan lolos! Dan bersiap menjadi calon pengajar muda.  Di saat bahagia itu tiba, masih saja ada kendala. Beberapa tawaran kerja dari beberapa lembaga tiba-tiba menjemputku untuk berbagai posisi. Pikiran kembali menimbang-nimbang, demi keputusan matang.

Selain itu, negosiasi dengan orang tua juga cukup alot kulakukan. “Indonesia Mengajar itu program apa? Lebih baik ikut perusahaan otomotif itu, sudah pasti sejahtera. Kalau tidak, kenapa kamu tidak berkarya di kota kecil ini saja, kalau sarjana sepertimu semuanya ke kota besar, kapan daerah kita akan maju?”, ibuku bergumam di dapur rumah. Dengan segala daya kubujuk kedua orang tua, yang akhirnya secara lega mengijinkanku untuk berangkat ke pelatihan intensif pengajar muda. Sekali lagi kendala untuk mengabdi telah terlewati. Fyuuuh!

Sesuai prediksi, sosok pengajar muda lain yang kutemui mayoritas adalah anak pintar dan “berpenampilan”. Melihat sosok-sosok bintang muda seperti mereka mungkin saya yang hitam dan terlihat kampungan akan menjadi bahan tertawaan bulan-bulanan selama masa pelatihan. Tetapi dugaan itu salah total. Selama hampir dua bulan dimampatkan baik fisik dan mental yang dihantam oleh segala materi dari berbagai ahli, saya merasakan unsur egality dari semua calon pengajar muda. Mereka sangat kooperatif, mudah diajak bercanda, dan cukup kreatif untuk memecahkan segala macam materi yang disampaikan.  

Dan, saat keputusan penempatan telah diumumkan, sesuai perkiraan teman-teman, saya di tempatkan di ujung timur republik ini, di pulau besar bernama Papua! Ya, ini dia! Sesuatu yang kuimpikan juga! Mungkin ini juga risiko yang harus kuterima saat menjadi pengajar muda, siap ditempatkan di mana saja, apalagi Papua.

Pelatihan ditutup dengan materi survival di hutan selama 3 hari bersama sekelompok aparat TNI. Sebelum hari deployment tiba, kami dibawa ke beberapa tokoh inspiratif untuk menggenapi amunisi. Sebagai penghujung sesi, kami dipertemukan dengan orang besar republik ini, wakil presiden. Sekalipun Pak Boediono adalah sosok yang sering kutemui saat kuliah dulu, tetapi kali ini rasanya berbeda. Dulu, aku datang dengan baju lusuh sebagai mahasiswa yang terkadang menghiraukan penyampaian materinya di kelas Perekonomian Indonesia. Tetapi sekarang beliau semakin menjadi “orang”.

Saat bersalaman, Pak Anies mendampingiku dan berujar santun kepada Pak Boed, “Kalau Bapak ingat, Arif ini alumni FE UGM juga, asistennya Pak Tony, jadi sama-sama satu sekolah dengan kita”. “Oh ya? Terus ditempatkan di mana?” Pak Boed langsung menyela. “Ibunya berharap Arif bisa berkarya di kampung halamannya di Brebes, tetapi kami menempatkannya di Fakfak, lokasi penempatan kita yang paling timur”, kata Pak Anies. Lalu Pak Boed dengan bijak menyampaikan pesan padaku “Tidak apa-apa rif, satu tahun ke depan akan menyenangkan, nikmati pengabdianmu. Selamat bertugas ya”.  

 

bertemu tokoh "satu guru satu ilmu".

Pasca pertemuan dengan dua tokoh inspiratif sekaligus yang “satu guru satu ilmu” itu seolah semangatku terpompa kencang. Siap tidak siap harus berangkat. Jadi, bisa tidak bisa saya harus katakan “Saya siap menjelajah Papua!”.

Sudah, cerita kronologisku kuhentikan, barangkali tulisanku terlalu panjang.

Sekarang saya akan membuka cerita singkat sejak pertama kali datang sampai memasuki bulan kelima di lokasi penempatan.

Yang saya rasakan, menjadi pengajar muda adalah menjadi jembatan masa depan anak-anak, pendengar cerita ibu-ibu dan bapak-bapak, dan sebagai rekan siapapun yang ada di masyarakat. Ibarat dokter di UGD, pengajar muda harus siap menerima pasien 24 jam.

Anak-anak punya kemauan apa, ibu-ibu bercerita apa, masyarakat punya keluhan apa, semuanya harus ditanggapi. Mau tidak mau, keterampilan menginisiasi, memfasilitasi, dan memotivasi harus bersinergi.

 

Keceriaan bersama anak-anak Papua

Pernah suatu hari, saya kewalahan menjalankan berbagai program sampai setengah hari saya tumbang di peraduan. Namun, apapun yang terjadi, keadaan fisik dan mental harus tetap tegar. Saya percaya, pikiran positif, keoptimisan, dan semangat yang tinggi akan menular. Jadi sekalipun saya setengah hari itu tepar, saya seolah tersuntik oleh perasaan abstrak tadi.  

Kadang saya berpikir, kenapa ya dulu saya memilih menjadi pengajar muda? Kenapa harus repot urus ini dan itu untuk masyarakat di pelosok negeri? Kenapa dulu tidak bertahan kerja di lembaga penelitian? Atau setidaknya pindah kerja di salah satu dari empat perusahaan yang jelas-jelas menerima saya?

Ummmm, hapus bayangan itu sudah. Seperti saat pertama datang menginjak pulau ini, ibaratnya kapal sudah kubakar di bibir pantai. Jadi sekarang hanya ada satu pilihan, maju berperang, dan menang!

Entah bermandi keringat ataupun sampai sakit karena kurang istirahat, ini sudah risiko dari pilihanku. Ini jalanku. Ini duniaku. Ini hidupku!

Di sisi lain, kadang saya juga berpikir, iya juga ya, kalau saya tidak menjadi pengajar muda, mungkin saya belum bisa ketemu sosok-sosok inspiratif seperti tokoh-tokoh yang didatangkan saat pelatihan.

Apalagi di lokasi penempatan, saya betul-betul beruntung mengalami semua ini, menatap sendiri betapa kayanya alam dan betapa ramahnya negeri ini di balik berita miring Papua, melihat secara nyata pasir putih dan laut biru tanpa polusi. Bercengkerama dalam keluguan anak-anak yang hidup di wilayah kepulauan. Dan berinteraksi dengan masyarakat yang masih kuat mempertahankan adat dan aturan nenek moyang.

 

Pasukan penari noinoi dari SDN Tarak, kabupaten Fakfak, Papua Barat, bersama kepala sukunya

Saya bisa menikmati setiap jengkal hidup di sini, saya bisa benar-benar bersyukur karena diberi kehormatan untuk melaksanakan tugas pengabdian ini. Ini bagian dari risiko pengajar muda, ini garis Tuhan yang mempertemukanku dengan Indonesia Mengajar yang menempatkanku di ujung timur lokasi penempatan pengajar muda di pulau kecil Papua.

____________________

02.03. 20 November 2011.  Sambil mendengarkan suara binatang malam dan menatap bintang, ditemani suara ombak Pulau tarak, Kabupaten Fakfak.


Cerita Lainnya

Lihat Semua