Prosesi Pengibaran Merah Putih di Langit Papua

Arif Lukman Hakim 1 Desember 2011

Kesibukan di bulan November bagi Pengajar Muda Fakfak terfokus pada sebuah event besar. Kegiatan yang sudah diagendakan bahkan saat sebelum kita menginjak Papua adalah menggelar festival seni dan budaya.

Perjalanan menuju target yang dimaksud ibarat mendaki gunung. Awalnya boleh kita hiking, berjalan beriringan dan tetap bergandengan. Negosiasi dengan pihak Bupati lancar. Maksud dan tujuan kita ternyata searah dengan Pemda, tinggal diatur jadwalnya saja.

Selanjutnya memasuki tahapan tracking, mendaki beberapa lereng yang mulai menanjak. Ternyata pihak panitia cukup susah untuk diajak bekerja sama dan belum sepaham dengan kita. Proses pengaturan acara dengan panitia harus kita lalui di kota, padahal delapan orang pengajar muda semua hidup di desa-desa yang cukup jauh di jangkauannya.

Sampai kita seolah menjumpai tebing, cukup curam dilalui, yang membutuhkan ketelitian dan kesabaran untuk melewatinya. Kesepakatan dengan semua aparat distrik (kecamatan), tokoh adat ataupun pihak petuanan, semua harus dijalani dengan berbagai strategi.

Keinginan kita untuk memberi kesempatan kepada anak-anak negeri sendiri yang hidup di kampung-kampung, di pulau-pulau kecil yang selama ini tak terjamah program dari kota, seakan mendapat cobaan dan tantangan yang tak terhenti. Kegembiraan mulai muncul saat melihat anak-anak mungil datang bersama rombongannya. Sekalipun BBM untuk perahu sulit dicari, ombak dan angin selama perjalanan agak membuat ngeri, tetapi tahapan proses perumusan membawa anak-anak murid ke kota telah terlewati.

Anak-anak sudah lengkap dengan kostum dan atributnya. Muka mereka sangat sumringah ingin unjuk kebolehan. Sementara itu, lobi yang cukup alot dengan pembawa acara yang tiba-tiba marah-marah karena tim kami dianggap terlalu banyak memakan waktu terjadi di atas panggung. Ah! Mau apa lagi ini? Kita sudah benar-benar terperosok untuk mematuhi segala aturan main, kenapa tetap saja mau tersingkir?

Keputusan akhirnya diberikan, kami tetap bisa naik ke panggung membawa tarian adat daerah tetapi diselang-seling. Baik, kami menerima.

Setelah rombongan SD YPK Siboru selesai memeragakan tari yospan, SD Inpres Kampung Baru beranjak ke atas panggung untuk menunjukan tari henggi. Selesai dua tari itu, tarian dari penampil-penampil lain kembali menyelingi kami. Selanjutnya giliran anak buah Subkhi dari SDN 3 Onimsari Bomberay unjuk kebolehan dengan membawa tari tani. Disusul SD Inpres Urat yang secara aduhai menari lakadinding di hadapan setiap pasang mata. SD Inpres Offie menyusul dengan tariannya. Dan sesuai urutan, sekarang vocal group SDN Arguni mengumandangkan lagu air mata Tefar. Suara tepuk tangan semakin riuh dari barisan penonton.

 

Tiba-tiba lampu mati.

 

Grrrrrrrrrrr....

Apakah sesuatu terjadi di luar sana? Apakah ada hal-hal yang memang terskenario menghalangi hajat anak-anak ini? Apakah kami memang telah lancang melanggar aturan? Apakah kami harus turun sebelum menggapai puncak gunung impian?

Semua kepala tertunduk, sambil menunggu kepastian dan bimbang apa yang harus dilakukan kami tetap waspada dan berdoa, berharap ada setitik mukjizat yang dapat menyalakan semangat anak-anak lugu di Kepulauan Papua.

Lampu akhirnya menyala, dan lihat, semangat anak-anak tak terbendung bahkan semakin meninggi. Suara Maria yang menerjemahkan cerita tentang lagu air mata Tefar dalam bahasa inggris memukau penonton.

Sekarang waktunya pasukanku tampil. Dengan badan yang dilumat arang hitam, kami maju bergada parang. Hentakan kaki mengiringi suara Pak Ibrahim yang membawakan tarian noinoi. Tarian yang bercerita tentang perang hongi jaman nenek moyang dulu cukup membuat orang berdecak. Selama ini tarian yang kami tunjukan dianggap “tabu” karena meninggalkan luka yang dalam. Narasi tarian yang menceritakan perang saudara terbesar di Papua ini semakin memasuki klimaksnya. Suara parang buatan anak-anak membuncah. Ayunan tangan, kaki, dan sekujur badan membuat panitia terperangah.

Tibalah gerakan formasi ketiga. Kali ini aku yang diibaratkan kepala suku memasuki lingkaran rombonganku. Aku berteriak, berlari, dan melolong seperti orang Papua sesungguhnya. Kemudian mengayunkan tombak ke segala penjuru dan mengatur pasukan perang agar lingkaran semakin rapat. Ketika tanganku diregangkan, semua anak duduk melingkar, pertanda kepala suku sedang memberikan pengumuman. Aku memodifikasi tarian sesuai kesepakatan. Dengan suara parauku aku berteriak, “Kami dari Tarak, untuk Fakfak, untuk INDONESIAAAAAAAAA!!!!!!”.

Seolah semua perasaan meledak saat bendera merah putih berkibar di panggung. Hampir seluruh pikiran terbang ke langit yang dihinggapi senyum ibu pertiwi. Aku mengibaskan tombak yang telah dililit dwi warna kebanggaan ke sekeliling pasukan perangku.

Dan tepuk tangan pun tak tertahankan.

Bunyi debam tombakkku di atas papan panggung langsung disahut oleh Eky yang ditunjuk menjadi leading vocal. Sayup-sayup mulai terdengar lantunan indah lagu kebangsaan....

“Indonesia tanah air beta, pusaka abadi nan jaya...

Indonesia sejak dulu kala, slalu dipuja-puja bangsa...

Di sana... tempat lahir beta. Dibuai dibesarkan bunda...

Tempat berlindung di hari tua. Sampai akhir menutup mata...”

Seraya diiringi lagu karangan Ismail Marzuki tersebut, Maria membacakan sebait puisi tentang janji kemerdekaan, kemudian Adhiti, Wulan, dan Ika memandu anak-anaknya untuk bersatu di atas panggung. Subkhi sekarang menempati posisi sebagai pengibas bendera. Langit Papua diliputi merah putih, bukan di langit dunia, tetapi di langit hati kita dan anak-anak kita, generasi penerus Papua. Jimbe yang kupukul semakin kunaikkan temponya. Yoooo!!! This is Papua! This is Indonesia!!! Kami bergandeng satu sama lain, dan memecah segala perbedaan, demi persatuan dan kesatuan Republik yang dipenuhi keanekaragaman.

Video penampilan mereka saat di atas panggung ada di sini. _____________________________

14 November 2011. Meramaikan HUT Fakfak ke-111, road to Fakfak International Festival 2012.


Cerita Lainnya

Lihat Semua