info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Pekerjaanku Adalah Liburan

Arif Lukman Hakim 10 Februari 2012

Lompat ke kiri dan ke kanan, berlari ke kantor, ke pasar, ke warnet, ke rumah aparat, ke ATM, dorong motor, menunggu hujan reda, dan segala kompleksitasnya adalah pekerjaanku saat berada di pusat Kabupaten Fakfak.

Segala agenda harus dicatat sebelum menyeberang dari Pulau Tarak, lokasi penempatan mengajarku, menuju ke pusat kota. Aku betul-betul merasakan hidup yang dinamis, bukan statis. Di saat itulah, aku dituntut untuk menyelesaikan urusan dalam hitungan jam, karena maksimal hanya 3-4 hari saja berada di kota, setiap bulan. Selanjutnya kembali mengajar di SDN Tarak, Distrik Karas, Kabupaten Fakfak.

Subkhi, pengajar muda yang ditempatkan di Distrik Bomberay, masih satu kabupaten, pernah menyatakan padaku, “kita ini tidak pernah libur ya Rif? Hari lebaran saja bertemu Kepala Dinas Pendidikan untuk advokasi pendidikan”. Begitu celetuknya sekembali dari rumah Kadis, bersiap untuk bertemu Bupati keesokan harinya.

Memang, kejadian yang kualami bersama 7 orang Pengajar Muda Fakfak, atau mungkin teman-teman pengajar muda lainnya di seluruh Indonesia hampir sama. Setiap pertemuan, biar itu tidak sengaja, selalu dimanfaatkan untuk membahas hal-hal yang berkaitan dengan lingkup tugas kita: kurikuler, ekstrakurikuler, advokasi pendidikan, dan pembelajaran masyarakat. Setiap kesempatan harus dimanfaatkan dengan baik, karena kita tak pernah tahu kapan ada kesempatan seperti itu lagi. Kami bertugas di kampung-kampung terpencil, di pulau-pulau kecil, di tempat yang jarang dikunjungi para pemangku kebijakan.

Advokasi dengan Bupati

Bahkan saat masih di atas lautan, ketika sinyal telekomunikasi sudah masuk di handphone, aku langsung memainkan jari di atas keypad untuk berkoordinasi. Kemudian saat melangkahkan kaki dari perahu ke daratan, aku selalu mengingat sederet agenda yang sudah kucatat yang harus kulakukan di pusat kota.

Inilah ritme tugas yang kunikmati. Dan ternyata dengan begini aku benar-benar menghargai waktu, bahkan satu jam saja harus diestimasi apa dampak yang diperoleh dengan kegiatan yang kulakukan.

Saat libur semester pertama, pikiran mulai kembali diracuni naluri jalan-jalan. Suasana traveling menyelinap saat melihat backpack, sepatu gunung, sleeping bag, maupun botol air dan kompor parafin yang tergeletak di sudut kamarku. Tapi, entah, semacam ada yang mengganjal saat kaki mau melangkah. Hingga betul-betul datang kesibukan baru lagi, untuk mengurus program pembelajaran masyarakat di kampung penempatan. Sampai tak terasa, dua minggu liburan telah selesai.

Saat akhir minggu yang bertepatan hari libur saat perayaan imlek, otak berputar lagi untuk sekedar rehat. Namun, rencana untuk hibernasi di rumah papan warga yang tergantung di salah satu pulau pun gagal karena harus menyelenggarakan rapat pembentukan komite sekolah.

Seorang teman bertanya kepadaku kala itu, “Menjelajah ke mana long-weekend kali ini?”. Dan segera kujawab, “Ke sekolah, ada rapat pembentukan komite”.

Seorang tamu bapak angkat yang berkunjung ke Pulau Tarak juga pernah bertanya kepadaku, “Pak guru, hidup di sini betah? Lalu kapan dan bagaimana liburannya?”. Jawabanku adalah, “Di sini bisa liburan setiap hari Pak. Kalau cuaca cerah, sambil mengajar di sekolah saya bisa melangkah ke depan sekolah, memotret pantai dan laut. Kalau cuaca teduh bisa memancing sama bapak angkat, atau berenang sambil lihat karang”.

Mungkin itu sepotong hidup yang kulalui setahun ini. kerjaku seolah tak pernah libur, tapi memang pekerjaan ini benar-benar kunikmati layaknya aku menikmati liburan. Karena ditempatkan di pulau kecil di Papua Barat ini aku juga bisa bekerja sambil liburan. Sampai pernah teman kecilku bertanya, “Kau ini bukan bekerja, tetapi liburan dengan anak-anak Papua”.

Entahlah kawan-kawanku mau bilang apa. Bagiku hidup itu singkat, bagi mereka yang berbuat banyak. Maka nikmati semua irama, senyumlah untuk segala kendala, dan teriakkan kemenangan saat waktunya tiba!


Cerita Lainnya

Lihat Semua