Mereka yang Mungkin Batal Jadi Sarjana

Agung Firmansyah 10 Februari 2012

Dulu, waktu kuliah, saya termasuk seorang scholarship hunter. Ga dapat beasiswa, ga kuliah. Tapi, saya sangat bersyukur punya banyak teman yang membantu, mulai dari teman seangkatan, senior, hingga dosen. Endingnya kamu pasti tahu lah. Saya seorang sarjana komputer sekarang. Kalau kata teman saya, Fatia, "Ga punya duit masih bisa kuliah. Cari beasiswa itu lebih gampang kalau kita sudah jadi mahasiswa. Jadi yang harus dilakukan adalah bekerja keras agar ketrima di kampus yang diharapkan."

Seperti kata Fatia, saya pun bekerja keras agar bisa diterima di kampus tujuan saya, UI.

Jadi mahasiswa UI merupakan cita-cita jangka pendek saya waktu itu. Jalan menuju kesana tidak mudah. Saya harus beradu nilai SPMB (sekarang jadi SNMPTN Jalur Ujian Tulis) dengan ribuan anak-anak lain yang bermimpi masuk UI. Kami  beradu otak dalam seleksi. Siapa yang paling pintar, dialah yang berhak masuk UI.

Sepertinya, sistem adu pintar juga berlaku buat teman-teman lain yang bercita-cita masuk ITB, UGM, Unpad, ITS, Unair, Unhas, Unsri, dan kampus-kampus lainnya. Ya, itu yang saya pikir. Kalau Inggriskan jadi 'that was what I thought'. Mengapa 'thought'? Because what I think is different now. Setelah saya ke Majene, saya mendapat perspektif baru.

Bagi siswa SMA/sederajat yang berasal dari keluarga kurang mampu, termasuk di dalamnya siswa-siswa di daerah, adu pintar bukanlah seleksi pertama masuk PTN. Seleksi pertamanya, mereka harus tahu cara masuk PTN: harus tahu daftar di mana, apa saja yang dikumpulkan, dan kapan batas akhirnya. Seleksi kedua, mereka harus menghadapi ketakutan akan mahalnya biaya kuliah. Kan ada beasiswa? Bro, mereka tidak tahu bahwa beasiswa itu ada.

Buat kita, dengan adanya internet, kita bisa cari informasi mengenai cara mendaftar PTN maupun link-link beasiswa. Kalau bingung, tinggal tanya Mbah Google. Buat mereka? Jangankan Google, mengetik saja belum tentu mereka bisa. Teman saya Rangga yang mengajar di Bengkalis, Riau, pernah bilang begini, "Daftar beasiswa dan snmptn mesti online. Gak semua ngerti internet, gak semua gampang nemuin warnet. Terus, gimana dia mau daftar?"

Ini ada pengalaman lain dari teman saya, Tika namanya, "Waktu itu ada anak MAN 1 Bengkalis yang mendaftar di geografi UGM, sudah diterima. Sekaligus mendaftar bidik misi. Kondisinya anak ini berat melanjutkan kuliah jika tidak mendapatkan beasiswa, sementara belum ada kabar lagi tentang follow up bidik misi tersebut. Setelah dikonfirmasi ke pihak kampus, pihak kampus jg blm dpt memutuskan dlm wkt dekat, karena menunggu SK dan keputusan2 yg sifatnya dari atas (dikti). Padahal tanggal registrasi ke UGM semakin dekat..

Jadi kesimpulan permasalahannya adalah: sulitnya akses follow up beasiswa, sdkit ngambang.. Jd memungkinkan untuk calon mahasiswa tsb tdk jd kuliah karena kendala tsb..".

Kasihan mereka. Banyak yang batal kuliah karena tidak bisa mengakses beasiswa. Padahal, coba bayangkan, kalau mereka bisa kuliah, mungkin mereka akan jadi sarjana pertama di keluarganya. Yang putra daerah, mungkin jadi sarjana pertama di desanya. Mungkin merekalah orang yang akan mengangkat kesejahteraan masyarakatnya. Bahkan mungkin ada yang jadi BJ Habibie berikutnya.

Tapi, ya seperti kalian semua setuju. Berkeluh-kesah tidak akan menyelesaikan banyak masalah. Teman saya yang lain punya cerita bagaimana kita bisa menolong adik-adik kita tersebut. Baca saja ceritanya di sini.

Ok, bagaimana dengan kita sendiri? Kita di sini bergelimpangan informasi. Mereka di sana kekurangan informasi. Sebagai sesama anak bangsa, kayaknya cukup adil kalau kita bantu menyalurkan informasi beasiswa ini ke mereka. Coba buka link di bawah. Isinya alur pendaftaran SNMPTN Jalur Undangan dan beasiswa Bidik Misi yang sudah disederhanakan. Mungkin kamu bisa bantu mereka.

Mari Bantu Mereka Kuliah - Fasilitasi Bidik Misi.


Cerita Lainnya

Lihat Semua