info@indonesiamengajar.org (021) 7221570 ID | EN

Papua Menyala

Arif Lukman Hakim 29 November 2011

 

Mulai tahun ajaran ini, kebiasaan murid SDN Tarak agak berbeda. Hampir setiap hari mereka disibukkan oleh pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Memang, kedatanganku sebagai guru yang membantu satu-satunya guru yang ada di sekolah ini cukup berat kurasakan jika harus berdiri di depan kelas sendirian, untuk itulah aku selalu memacu mereka dengan pekerjaan rumah. Semasa pelatihan, praktek pengalaman mengajar yang kulakukan hanya menangani satu kelas, itupun bergantian. Tetapi dari berbagai ahli dan staf Indonesia Mengajar berkali-kali menyatakan, bahwa tidak menutup kemungkinan kami akan menangani lebih dari satu kelas, bahkan mungkin satu sekolah.

Kenyataan itu kualami sekarang, aku mengampu 3 rombongan belajar, dalam 1 ruang kelas. Dari pada mengeluh atas ketimpangan kebijakan yang dilakukan pemerintah di bidang pendidikan, memang sebaiknya kita mengeluarkan daya sekecil apapun untuk berkarya, termasuk mengajar anak-anak di Papua.  

Kawan, pasukan kecilku di Pulau Tarak sangat antusias dalam belajar. Walaupun diliputi keterbatasan, rasanya semangatku terpompa untuk terus larut bersama mereka saat kegiatan belajar dan mengajar.

“Pak guru kasih tugas Bahasa Indonesia, tulislah surat ucapan terima kasih kepada kakak-kakak yang mengirimkan buku untuk kalian. Malam ini juga PR harus dikumpulkan. Bisa?”, aku mulai memberi komando ke mereka.

“Bisaaaaaaaaaaaaaaaaaa!”, sahut pasukanku.

PR yang kuberikan kepada anak-anak tak lain karena kami telah menerima beberapa buku yang telah dikirim oleh beberapa rekan. Dengan hadirnya buku-buku penunjang pengetahuan, aku ingin memangkas ketidakadilan karena di sekolah yang beranggotakan 107 murid ini tidak mendapat guru tambahan.

Jiwa-jiwa kecil para pelaut ini pasti bisa! Aku yakin mereka bisa! Mereka pasti bisa melawan segala ombak atau tantangan yang menghalangi cita-cita mereka! Aku yakin dengan suntikan aneka buku akan memompa semangat untuk belajar dan terus optimis untuk mengejar mimpi-mimpi mereka. Buku-buku yang datang akan membawa angin segar untuk mengembangkan layar pengetahuan para calon punggawa Papua seperti mereka.

Malam itu, bulan cukup terang di angkasa. Seperti biasa aku beranjak ke pantai untuk menatap langit dan mengabadikannya. Tetapi tiba-tiba suara-suara kecil mulai terdengar di belakangku. “Pak guru, katong di foto juga kah, jangan bulan dan bintang saja”, celetuk Farida yang ternyata membawa Saban, Diana, Kartini, Rahim, Muhamad, dan beberapa teman lainnya.

Weh, anak-anak karibia ini bikin apa? Siapa yang kasih tahu pak guru ada di sini?” tanyaku sambil mengelus kepala mereka. “Katong pigi ke rumah pak guru, tapi tara da, baru mama bilang pak guru di laut, jadi katong  pi ke sini”, seru Rahim.

“Kalian mau difoto?”, tanyaku penasaran. “Iyaaaaaaaaaaaaa....” jawab pasukanku. “Berdiri sudah, sambil melihat bulan e ?” aku mulai mengatur formasi.

Sambil berfoto, anak-anak ini kudengar bercakap-cakap. “Eh, bintang di langit itu bagus e?”, Farida membuka percakapan. “Kitong besok mau ke sana!”, suara Rahim mulai mencuat. Sekali lagi aku tak tahan ingin memasuki dunia mereka, “Kamu orang lihat e, bintang itu sebenarnya jauh... tapi bisa kelihatan sinarnya. Orang yang punya banyak ilmu juga begitu, sekalipun jauh bahkan orangnya sudah tidak ada, jasanya akan tetap adal. Nah, kalian tahu tidak, ada orang yang pernah pergi ke bulan?” Aku mulai memancing pikiran mereka.

“Ada pak guru, dong kibar bendera Amerika”, kata Muhammad Patur.

“Tepat! Namanya Neil Amstrong. Dorang itu memang orang Amerika. Lalu, kalau kalian ada yang pergi ke bulan, mau kibar bendera apa?”, tanyaku. “Merah putiiiih!”, hampir semua anak menjawab.

 

 

 

  •  

     

     

     

  • memacu mimpi anak-anak setinggi bintang
  •  

     

    “Mantap. Baik, kalau kalian ingin pergi ke bulan, kalian harus jadi astronot. Nah, kalau mau jadi astronot, harus banyak be.....”

    “Belajaaaaaaaaar!”.

    “Sip. Sekarang katong belajar dulu e? Ayo, ke rumah pak guru sudah”, aku mulai menggiring mereka.  

    Eeeiiiy, ko ambil pelita itu!”, seru Rahim.

    “Pak guru, katong tulis bagaimana dulu untuk surat terima kasih ini?”, tanya Supri.

    “Kalian ingat-ingat, kalau menulis surat itu apa dulu yang ditulis?”, aku membuka ingatan mereka.

    “Tanggal!”

    “Terus, apalagi?” tanyaku memprovokasi.

    “Kepada! Salam pembuka!”

    “Itu sudah, setelah itu kalian ucapkan baik-baik bagaimana perasaan kalian saat menerima buku-buku itu. Lalu jangan lupa sampaikan ucapan apa?”

    “Terima kasiiih!”, suara mereka telah berpadu menjadi satu.

    Satu-persatu anak-anakku mulai mengayunkan pena dan spidol di atas kertas. Mereka memilih barisan kata yang ada di pikiran untuk ditulis. Di bawah temaram pelita, mereka kembali melingkar dan memulai petualangan pengetahuan.

     

     

     

  •  

     

     

     

  • di antara temaram pelita kami belajar melingkar
  •  

     

    “Habiiiis!”, Kartini mendekatiku dan memberi selembar kertas suratnya.

    “Baik, yang sudah selesai jangan pulang dulu, kalian mau baca buku-buku kah tara da?”, tanyaku. “Maaauuuu!”, seru mereka.

    Aku langsung mengambil kardus yang berisikan buku-buku dan kembali kuhampiri mereka.

    Mamaaaa... buku bagus-bagus e!”, seru Rahim. “Kalian baca baik-baik e, buku-buku ini dirawat supaya adik-adik kalian juga ikut membaca. Dan tetap belajar sungguh-sungguh, pak guru akan carikan buku-buku lagi untuk kalian”, aku berpesan sederhana.  

    Antusiasme pasukanku tak terbendung, anak-anak kembali menyemut mengerubungi pelita. Mereka membuka satu persatu buku yang dikirim dari Indonesia Menyala dan beberapa buku dari Mbak Lailly (sahabat pena anak-anak) dari Jakarta.

    Mereka mulai membuka suara dan membacakan apa yang ada di dalam buku. Ada juga yang memanggil-manggil teman lainnya untuk menunjukkan gambar, mencocokkan ilustrasi, dan membuka buku tulis untuk mencatat.

     

     

     

  •  

     

     

     

  • Farida bersama buku-buku barunya
  •  

     

    Malam itu, di antara kerlip bintang dan gerakan cahaya pelita kami tertawa, mengeja, membaca, dan menuliskan kata-kata. Di Pulau Tarak yang mungil dan gelap ini, seolah seluruh isi langit dan bumi memberkati, bahwa anak-anak polos ini akan menembus gelombang hidup dalam rangka memperjuangkan mimpi. Dan malam itu, aku semakin optimis, generasi pelaut seperti mereka mulai membuka cakrawala pengetahuan lewat buku-buku yang seolah datang membawa obor untuk menyalakan pelita pengetahuan di Papua.

    ________________________

    Hari Pahlawan. Bersama anak-anak lugu SDN Tarak, Kabupaten Fakfak.Di hiasi cahaya bintang dan romantisme pelita Papua.

     Foto-foto kegiatan mereka ada di sini.


    Cerita Lainnya

    Lihat Semua