info@indonesiamengajar.org (021) 7221570 ID | EN

Papua Menunggumu

Arif Lukman Hakim 7 November 2011

 

Matahari perlahan mulai condong ke ufuk barat. Sinarnya masih terpantul di barisan bukit hijau yang beralas pantai pasir putih. Sore ini akhirnya aku akan pulang ke pulau pengabdian. Entah, aku serasa enggan diberi sekat barang sehari saja untuk meninggalkan tanah ini. Kalau saja tidak harus turun (pergi) ke kota untuk berkoordinasi, bernegosiasi, melakukan lobi, ataupun mengambil gaji, mungkin aku hanya akan melihat pusat Kabupaten Fakfak dua kali, saat aku datang dan pergi.

Kepulanganku ke Pulau Tarak tidak seperti biasanya, membawa aneka bawaan di tangan, kali ini hanya menggendong backpack-ku saja. Anak-anak mulai berlari ke ujung jembatan (semacam dermaga terbuat dari kayu untuk menyandarkan perahu), mereka mendekat, menyapaku, dan mulai merayu untuk membawakan barang bawaanku. “Pak guru tara bawa apa-apa dari kota, kemarin Rahim pu bapa su bawa pak guru pu barang. Jadi sekarang hanya tas ini saja. Sudah, pak guru bisa bawa”, kataku sambil mengelus kepala mereka satu persatu. “Bagaimana sekolahnya? Siapa yang tidak pi masjid?”, sambil ramai-ramai berjalan mengiringku aku menanyai mereka.

Anak-anak menyambutku. Selalu begitu. Butuh seribu satu bahasa untuk menjelaskan kealpaanku di sekolah, di masjid, di kampung. Dan ketika sosok berkulit legam ini muncul, mereka mulai mengelilingiku sambil malu-malu terlihat ingin mengucap sesuatu. Mungkin mereka rindu, pikirku. Mungkin juga mereka menungguku. Atau mungkin itu hanya perasaanku. Ah, kitong tara tau.

Sesampai di rumah, aku langsung mencari orang nomor satu di kampung ini, Bapak Desa atau Kepala Kampung, yang selama satu tahun pengabdian dipercaya menjadi bapak angkatku. Rupanya bukan hanya anak-anak, aku juga sudah ditunggu bapak.

Tak lain, bapak menanyakan bagaimana hasil lobiku mengenai berbagai urusan. Mulai dari permintaan tambahan guru, hasil pertemuan untuk membuka peluang listrik masuk kampung dan lobi pertama dengan dinas pertanian, sampai perkembangan proses perjuangan agar di kampung ini juga dapat menikmati sarana komunikasi.

Bapak yang langsung mengajakku memancing, terus meronta ingin mendapatkan informasi terbaru yang didapat dari anak angkatnya. Di atas perahu ketinting yang sedang bergoyang di lautan seram, kami berdua baku tanya jawab, terkadang juga dibumbui canda tawa, sambil menunggu sunset tiba. Atau mungkin hari ini bisa jadi sunset yang menungguku di Papua?

Ya, bermacam ide dan gagasan sebenarnya sudah lama mencuat. Tetapi kembali masyarakat di hadapkan pada jalur birokrasi dan minimnya kemampuan fasilitasi dan melobi. Jadi, selama aku bertugas mengajar di sini, aku juga melengkapi diri dengan dua hal tadi. Ketika ada kesempatan, entah saat turun kota, saat bertemu pejabat di acara kunjungan kerja, aku selalu muncul di hadapan para birokrat untuk bertutur sapa dan mengajukan berbagai aspirasi warga.

Ketika senja sudah berputar haluan menjadi malam yang temaram, aku langsung menuju rumah ibu guru, beliau juga harus kutemui untuk mempertanyakan keadaan sekolah selama aku tidak ada di sekolah. Saat aku tanya, ibu menjawab semangat, “Pak guru, dari kemarin Erna, Kartini, Onah, Rahim, dan anak-anak kelas 4,5, dan 6 terus-terusan bertanya, kapan pak guru naik? Saya bilang, pak guru pasti banyak urusan, kalau tidak hari ini pasti besok pak guru pulang. Eh betul, tadi saya suruh anak-anak lari siapa tahu pak guru su kembali, ternyata benar”.

Apakah bahasaku berlebihan di atas? Semoga tidak.

Begini kawan, aku merasakan hawa yang berbeda saat aku mulai melebur bersama anak-anak dan warga Pulau Tarak. Entah bagaimana cara mengiaskannya, berkali-kali kucoba, tapi aku belum puas dengan kiasan-kiasan yang sudah kubuat itu.

Seolah, aku merasa bahwa aku sudah diharapkan oleh bumi, udara, maupun laut, apalagi manusia yang menghuni pulau mungil di Distrik Karas, Kabupaten Fakfak ini. Bukan akunya, tetapi perubahan yang akan kuperbuat.

Dari dulu, aku bisa mengira bahwa pemerintah daerah sepertinya kurang perhatian dengan segala segi kehidupan yang ada di kepulauan ini, apalagi pemerintah pusat. Mereka sudah bosan mengeluh, dan ujung dari bermacam keluhan adalah tindakan nyata untuk mau bergerak maju. Akan tetapi, kembali dihadapkan pada berbagai tantangan yang seolah menekan lajunya program ataupun inisiatif yang mereka ajukan.

Boleh kita buktikan dari usulan masyarakat untuk pembangunan di data musrenbang, sejak berapa lama mereka mengajukan penambahan ruang kelas di SDN Tarak? Sampai sekarang muridnya berjumlah 100 anak pun belum ada tanggapan. Sampai kapan lagi mereka terus berembug dan meminta kesediaan untuk menikmati listrik yang diatur instansi negara? Tak pernah ada kejelasan. Mereka mencari alternatif solusi dengan menyediakan sarana angkutan reguler untuk memangkas biaya penjualan hasil bumi, tak pernah digubris dan terlontar jawaban.

Ironisnya, di haluan Fakfak sebelah barat sana, masih satu kabupaten, beberapa sekolah akan dibangun perpustakaan. Warga bahkan bisa menikmati terangnya cahaya lampu karena lembaga listrik negara telah menjamah kampung, bahkan di daerah kepulauan. Sekalipun sama-sama belum  ada angkutan reguler, tetapi bantuan perahu per orang hampir merata sampai di kampung-kampung.

Itulah, kenapa kubilang, Papua menunggumu, bukan aku atau orang lain yang ditunggu, tetapi kamu, anda, saudara, dan tuan-tuan sekalian. Kami bukan menunggu dan diam seperti menengadahkan tangan, kami menunggu usulan dan inisiatif kami diperhatikan, mendapat tanggapan, kemudian ada tindakan.

Aku tak ingin jadi pahlawan dengan seribu pangkat yang seolah dielu-elukan karena bergelimang jasa yang dilakukan. Aku hanya pion kecil, yang bersiap maju berperang melindungi serta memperjuangkan daratan dan lautan warisan para leluhur di pulau agung bernama Papua.


Cerita Lainnya

Lihat Semua