Matahari, Bulan, dan Bintang

Arif Lukman Hakim 26 September 2011

Ada beberapa alasan kenapa aku menyusun foto-foto berjudul “matahari, bulan, dan bintang”. Sederhana saja, itu salah satu bentuk syukurku kepada karunia Sang Pengendali Waktu atas makhluknya. Mereka makhluk langit yang ditundukkan untuk manusia dan memberi petunjuk masa dan tempat. Matahari, menuntun kita mengeja kalender masehi selama 365 hari. Sementara bulan, tempat bersendernya hitungan hijriyah bagi kita. Dan bintang, kompas alam yang menunjukkan ke mana kita akan menentukan arah.

Sebelum aku ke Papua, sering aku menembus dingin udara subuh memacu sepeda motorku hanya untuk memburu matahari terbit. Sunrise, tak cukup alasan kenapa aku menyukai momen munculnya cahaya keemasan di ufuk timur. Aku juga kadang rela menyisakan waktu soreku hanya untuk duduk menikmati temaramnya matahari ketika sunset. Memang, dua sesi pulang dan perginya matahari itu sangat menggelayut di dadaku. Tak jarang aku tersenyum tanpa sebab, atau bahkan berkaca-kaca ketika melihat kedua tingkah sang surya itu.

 

Kemudian bulan, aku sempat tertarik mencermati kalender hijriyah agar bisa menjadi saksi hadirnya bulan sabit dan merasakan pancaran purnama. Sedangkan tentang bintang, yang kulakukan hanya sederhana, aku hanya berbaring di atas rumput, pasir pantai, atau alas berbahan alami lainnya hanya untuk menikmati bintang. Cukup aneh memang. Tapi memang aku masih belum cukup untuk mengutarakan alasan kepadamu kawan.

Alhamdulillah, di Papua ini aku masih bisa bertafakkur atas karunia-Nya. Setiap hari, setiap waktu, lukisan langit yang dihiasi makhluk-Nya menyegarkan pikiranku, menemani iringan kakiku, dan terus menyahuti senyumku. Kadang aku mencermatinya, memikirkan apa yang ada dan terjadi di atas sana. Sering juga aku tersenyum dan berujar hati kepada mereka, seolah merekalah sandaran yang bisa menyangga atas apa yang aku rasa.

 

Aku pernah bercerita kepada bapak angkatku tentang hobi anehku itu. Kukira responnya hampir sama dengan beberapa kaum lainnya, menganggapnya sepele dan mengada-ada. Tetapi bapak angkatku malah berujar, “Memang alam ini kalau kita perhatikan betul-betul bisa membuat kita berpikir banyak tentang kehidupan. Bapak juga pernah tanpa terasa menitikkan air mata karena melihat kejadian-kejadian seperti yang pak guru sebutkan. Nanti bapak kasih tunjuk ke belakang pulau sana, kalau senja sore… Uhhh, mamaaa.. Iyo, matahari terbenam pas di tengah dua pulau, jatuh ke bawah laut”.

Nelayan yang berjiwa petualang, itulah bapak angkatku. Atau mungkin hampir semua nelayan seperti itu. Karena alam adalah dunia mereka, segala fenomena sering dijamah langsung tanpa banyak perantara. Bapak juga menambahkan, “Kalau bulan purnama, atau langit cerah, bapak panggil pak guru sudah, keluar sebentar untuk melihat langit bersama-sama”.

Ternyata janji kepala desa berdarah Maluku itu bukan di mulut saja. Belum genap satu minggu dia katakan, dia sudah memanggilku keluar kamar saat langit terang. Kemudian kita melangkah bersama ke bibir pantai, tak lain tak bukan untuk menikmati cahaya bulan dan kerlip bintang.

“Pak guru suka seperti ini to? Saya juga”, itu katanya. Dan mulai detik itu, setiap kali langit terang atau cahaya bulan sedang tanpa halangan awan, bapak selalu mengajakku keluar rumah dan menatap langit bersama.

Adegan serupa kita lakukan di malam 27 puasa. Sekitar pukul 03.00 kita masih terjaga dan berbincang di teras rumah, kemudian bapak menatapkan mukanya ke atas sana. “Kita memang harus banyak bersyukur yo, masih bisa menikmati alam seperti ini”, katanya sambil mengikatkan kedua tangan di belakang badan. “Iyo bapak, kalau di tempat lain mungkin tidak akan sama. Apalagi di kota besar, susah sekali membedakan kapan langit gelap atau terang. Di sana terlalu banyak cahaya, kalau di kampung ini masih banyak pakai pelita jadi langit terang akan terlihat istimewa”, aku mulai mengangkat lensa kamera.


Cerita Lainnya

Lihat Semua