Bang Haji Pernah ke Kampung Tarak?

Arif Lukman Hakim 20 September 2011

Adat di kampungku, orang-orang akan menggelar tahlilan ketika memasuki sepuluh hari terakhir Ramadhan. Tahlilan yang berisi kiriman doa dan mengenang 1 tahun meninggalnya orang tua, adat ini akan terus berlangsung selama bulan puasa, setahun sekali sampai hitungan 3 tahun kematian.

Tahlilan dilaksanakan ba’da maghrib, sampai selesai. Kalau hanya ada satu tahlilan berarti jam 9 malam sudah selesai. Kalau dua tahlilan bisa selesai sampai jam 10 malam, dan jika tahlilan sampai tiga sampai empat kali selesainya pun lebih malam.

Jam berapapun tahlilan selesai, tarawih akan dimulai. Dan kejadian malam ini ada empat tahlilan, mantap sudah. Setiap kita datang di tempat tahlilan, hukumnya wajib untuk makan nasi dan hidangan yang disuguhkan. Setelah selesai, wajib juga untuk membawa pulang aneka makanan yang didominasi kue untuk dibawa pulang, lengkap dengan piringnya. Jadi, malam ini di rumahku akan hadir delapan piring baru karena aku dan bapak angkatku masing-masing membawa satu piring.

Empat kali tahlilan, empat kali makan, empat kali membawa piring dan makanan, selesainya adalah jam 12 malam! Uhhh, perut kenyang, kaki agak penat karena duduk menyilang. Tapi tarawih tetap dilaksanakan! Tifa (bedug) sudah dikunci (dibunyikan) sebagai tanda mengawali adzan.  Markitar alias mari kita tarawih!

Selesai tarawih dan pengajian, jarum jam sudah memukul angka 01.25. Akhirnya kaki ini melangkah pulang, dan badan siap berganti kostum menuju peraduan. Sama seperti malam-malam sebelumnya, waktu tidurku telah melewati separuh malam. Sudah kubolak-balik posisi tidur, tetapi pikiran terbombardir oleh rentetan peristiwa.

Jam 02.00! aku belum tidur, padahal pagi nanti aku mengajar!

Sudah kucoba cara Shincan sebelum tidur dengan menghitung domba, bahkan rusa, gajah, macan, tetap saja tak mau tertidur.

Jam 03.00, masih terus terdengar suara ombak, suara jarum jam, dan temaram suara serangga malam. Ah, kejadian ini mengingatkanku pada petuah Bang Haji, “Begadang jangan begadang, kalau tiada artinya”. Tapi Bang Haji sepertinya belum pernah ke Kampung Tarak, belum pernah merasakan tahlilan berderet-deret rumah, dan melaksanakan tarawih memasuki waktu dini hari.

Akhirnya tiba waktu Sahur, aku sepenuhnya belum tidur.

Bang haji, ke sini dong! Jadi lagu begadangnya bisa diaransemen ulang!

21 Agustus 2011. Di bawah temaram pelita, di Papua.


Cerita Lainnya

Lihat Semua