Aku Dicium!

Arif Lukman Hakim 23 September 2011

Lukman Baruan, sudah enam hari tidak ada di tempat duduknya. Biasanya dia duduk paling depan dengan Upang, tetapi raga kecil itu urung kelihatan sampai hari ini.

“Ada yang tahu Lukman kemana?”, tanyaku kepada anak-anak. “Dia pergi sama dia pu mama turun ke kota pak guru”, Moksen sang ketua kelas menjawab pertanyaanku. “Dia su pulang pak guru, tapi tara tau kenapa tara masuk sekolah”, beberapa suara anak kelas 4 menimpali. “Baik, nanti pulang sekolah kita sama-sama berkunjung ke rumahnya ya?”, ajakanku langsung diiyakan oleh penghuni kelas.

Lukman adalah salah satu personel kelas 4 yang perlu pendekatan personal lebih banyak. Kemampuannya masih belum maksimal memahami materi kelas 4. Dengan alasan itulah aku menariknya dari deretan bangku belakang ke meja terdepan. Setelah diusut informasi dari ibu guru, Lukman itu naik kelas dengan syarat. Syaratnya sederhana, rajin berangkat sekolah. Saat kelas 3 dulu dia absen lebih dari 20 hari tanpa keterangan. Katanya dia sering diajak orang tuanya ke tempat “mencari”—ke laut atau ke hutan, mencari ikan, teripang, atau buah pala. Maka, syarat saat dia naik kelas 4 adalah tidak boleh sering absen, kalau syarat itu dilanggar dia akan diturunkan kembali ke kelas 3. Begitu yang tertulis di buku raportnya.

Sore itu seperti biasa aku dan anak-anak berkumpul di masjid untuk melaksanakan sholat ashar berjamaah kemudian mengaji. Setelah kuabsen satu persatu, kembali terbesit nama Lukman dengan sederet tanda absen. “Setelah mengaji, kita sama-sama pergi ke rumah Lukman ya. Kalau boleh tahu rumah Lukman di mana?”, tanyaku ke anak-anak. “Itu dia pu rumah pak guru”, hampir semua anak menunjuk sebuah rumah tepat di sebelah masjid.

Akhirnya aku melangkah ke rumah Lukman didampingi Saban, Rahim, Darwin, Nazar, dan beberapa anak lainnya. Rumahnya sederhana. Terlihat seorang ibu sedang membersihkan beberapa perabot rumah, rupanya memang rumah ini sudah beberapa hari ditinggal pemiliknya. “Assalamualaikum Ibu, saya mau tanya-tanya sedikit tentang Lukman. Sudah beberapa hari ini Lukman tidak hadir di sekolah”, aku mencoba melakukan assessment awal dengan ibunya.

“Itulah pak guru, beta su bingung dengan beta pu anak itu. Memang kemarin dulu dorang minta ikut beta ke Tanah Besar, jadi beta ajak dorang. Tapi setelah pulang ke kampung, tara mau masuk sekolah lai. Tadi pagi katanya dorang berangkat sekolah, ternyata tara masuk to? Beta su bingung pak guru. Kalau memang dorang tara berangkat terus, kasih coret sudah dari sekolah biar dorang tidak membuat kotor pak guru pu buku*)”, kata ibu yang kelihatan sudah lelah mengurus anaknya itu.

“Tidak apa-apa ibu. Saya datang ke sini dengan teman-teman Lukman ingin mengajak dorang agar mau berangkat ke sekolah lagi. Mulai hari ini ingatkan Lukman agar mau masuk sekolah lagi. Ini teman-temannya saja semuanya masuk, kurang Lukman saja di sekolah. Jangan kasih marah dorang, Ibu”, kataku sebelum mengakhiri percakapan penuh curhat tersebut.

“Baik ibu, saya pamit dulu. Jangan lupa besok Lukman diingatkan supaya masuk sekolah. Wassalamualaikum”, aku berpamitan sambil menyodorkan tangan untuk bersalaman.

“Walaaikumsalam, pak guru”, jawab ibu seraya tersenyum sambil menyodorkan tangan juga.

Sepersekian detik kemudian kepalanya diturunkan,

dan tak disangka tak dikira,

 

tanganku dicium!

 

Oke, ini bukan cerita yang mengada-ada. Kalau tangan dicium oleh anak-anak sudah sering kurasakan, bahkan jauh hari sebelum aku berangkat ke Papua. But, this is special. Ya, aku hanya terenyuh saja dengan perlakuan ibu itu. Adat di Papua memang sangat menghormati tiga profesi; tokoh agama (ulama atau pendeta), dokter, dan guru. Tetapi mungkin ini jauh dari bayanganku, dan baru saja kualami.

Iyo, ini beta pu pengalaman pertama dicium tangannya oleh orang tua. Dan ini kualami di Papua.

25 Agustus 2011, di sebelah masjid Kampung Tarak.

_____________________________

*)

beta = saya, di Papua hanya Fakfak yang masih menggunakan kata beta, selain “torang”, “katong”, atau “kitong”.

dorang = dia orang = dia, kadang juga disingkat lagi menjadi “dong”.

su = sudah

pu= punya

lai= lagi

 

Foto-foto kegiatan selama puasa ada di sini.


Cerita Lainnya

Lihat Semua