Lima Huruf Ajaib; Mimpi!
Arif Lukman Hakim 15 September 2011Hari Kamis, pelajaran pertama adalah Bahasa Indonesia, untuk tiga kelas dalam satu ruangan yang kuajar. Materi kali ini adalah bercerita, kuambil tema cerita tentang sekolah, keadaan kampung, ataupun tentang kegiatan sehari-hari mereka. Sambil komat-kamit mulai membaca cerita yang mereka tulis sendiri, anak-anakku mulai deg-degan menunggu giliran bercerita di depan kelas.
“Baik, untuk memancing keberanian kalian, Pak Guru mulai dengan cerita dari Pak Guru sendiri”, aku sedikit memberi stimulus di balik tatapan mereka. Aku mengawali cerita tentang sebagian perjalanan hidupku. Cerita yang kusingkat dari awal masa kanak-kanakku sampai setibanya aku di Papua.
“Jika kalian cermati, Pak Guru ini sama seperti kalian, sama-sama hitam, dan sama-sama anak kampung. Tetapi apa yang membawa pak guru ke sini? Mimpi! Pak guru ada di Papua ini karena pak guru berani bermimpi. Maka kalian ingat-ingat lima huruf ini, M-I-M-P-I.”
Tingkah mereka mulai bervariasi mendengarkan orasiku. Mungkin orasi adalah salah satu bakatku. Jadi selama menjadi guru ini, kebutuhan untuk mengajar dengan metode ceramah, membacakan cerita, atau memberi petunjuk tentang materi, cukup asik kurasakan dengan orasi. Aku teringat salah satu idola dalam hidupku, Soekarno. Proklamator Indonesia itu yang menginspirasiku berorasi.
“Kalian punya mimpi? Kalau boleh tahu, apa mimpi kalian?”, tanyaku menggema. Krik krik kriiik, seisi ruangan hanya diam.
“Mulai sekarang kalian tulis, apa mimpi kalian. Yang mau jadi tentara atau jendral, silahkan!” kataku sambil menunjuk Muhammad, siswa kelas 6. “Kartini, silahkan tulis kalau kau mau jadi dokter”. “Atau yang lain, mau jadi bos pertanian pala, mau pergi ke Perancis, atau ingin mengunjungi Ka’bah di Arab Saudi saat pergi haji, silahkan”, kali ini aku menunjuk poster kerajaiban dunia yang kubawa dari Jawa.
“Suatu hari pak guru ingin mendengar Kabar, umpamanya Jusman, dulu itu murid pak guru, sekarang menjadi orang besar. Kalianlah yang akan menjadi pemimpin kampung ini. Bukan hanya itu, pak guru ingin kalian jadi orang besar di Papua, atau memimpin Indonesia, atau bahkan menjadi pemimpin dunia, seperti Soekarno!”
Saat aku berorasi, kulihat Supri Patur mulai menurunkan mata pena ke balik sampul bukunya. Ini dia yang kukejar setahun ini. Mengajar, bisa kulakukan dengan sepenuhnya mempelajari materi dan menggunakan berbagai metode yang kumodifikasi. Tetapi ini yang akan kutempuh selama 12 lipatan bulan, aku ingin menanamkan bahwa anak-anak Papua harus berani bermimpi, dan berjuang untuk mewujudkannya.
“Kalau kalian punya mimpi dan berusaha keras, pasti mimpi kalian akan terwujud. Jadi kalau kalian ke hutan, ke laut, pikirkan betul-betul apa mimpi kalian!”,
“Mulai sekarang tanamkan dalam pikiran dan dada kalian, bahwa ada sesuatu yang dikejar, namanya tadi apa lima huruf?”, aku bertanya penuh tekanan. “MIMPI!!!”, semua penghuni kelas menyahut kencang. “Itu sudah”, aku mengakhiri orasiku.
Kampung Tarak, Akhir Agustus 2011.
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda