Angin, Aku Rindu

Arif Lukman Hakim 5 September 2011

Sudah satu minggu aku berada di pusat Kota Fakfak. Urusan koordinasi dengan pengajar muda dan Indonesia Mengajar sudah beres, kegiatan advokasi pendidikan dengan pihak Dinas Pendidikan sudah digelar. Proses melengkapi kebutuhan barang-barang yang harus dibeli dan sambung rasa dengan orang-orang yang perlu dihubungi sudah terlewati. Lalu mau apa lagi?

Aku ingin pulang, aku rindu. Aku ingin kembali ke Kampung Tarak, menemui jendral-jendral kecilku di sekolah. Aku ingin segera menginjak pasir putih di Kepulauan Karas, memandang rentetan pohon kelapa dan rimbunan hutan yang mengelilingi bukit di atas pulauku.

Gelisah tanpa arah, kurasakan perasaanku penuh riuh rasa rindu. Kapan aku bisa pulang?

“Sudah, tara usah dipikir. Masyarakat mungkin tara ada yang turun ke kota karena gelombang cukup tinggi. Nanti pasti ada longboat yang akan ke kampungmu, mama tadi su bilang ke mama pu teman. Kamu singgah saja di sini dulu”, suara Mama Imah—orang yang sangat baik yang menyediakan tempat singgah untuk pengajar muda saat berkumpul di Kota Fakfak—berkali-kali menenangkanku yang sudah tak bisa lagi menyembunyikan kecamuknya pikiranku.

Aku pergi ke kota memang sebulan sekali, kali ini kebetulan adat di kampungku tiga hari menjelang bulan puasa hampir semua masyarakat akan super sibuk menyambut datangnya bulan suci ini. Beberapa dari mereka biasanya turun (pergi) ke kota untuk membeli kebutuhan untuk sebulan ke depan. Saat aku berangkat ke kota, alhamdulillah aku bisa ikut salah satu keluarga nelayan yang akan membelanjakan uangnya di kota, yang ternyata rombongan terakhir yang turun ke kota.

Saat masuk kepala puasa—istilah untuk hari-hari awal puasa—hampir semua masyarakat akan berada di dalam kampung. Maka di kampungku, kegiatan apapun termasuk belajar mengajar di sekolah, harus menyesuaikan adat tersebut, seminggu ini adalah hari libur “kepala puasa”. Maka bertepatan dengan libur tersebut aku sempatkan untuk pergi ke kota, mumpung libur.

Tapi sekarang sudah masuk hari keempat puasa, tetapi kenapa tidak ada warga Tarak yang turun ke kota? Something happened, pasti ada sesuatu di sana. Lalu ada apa? Kenapa aku tak menemukan satupun warga yang bisa kutumpangi longboat-nya untuk kembali ke pulau pengabdianku?

Betul, mungkin karena faktor gelombang tinggi. Sebagian masyarakat Fakfak sudah hafal kalender alam selain kalender masehi dan hijriyah. Sekaranglah bulan-bulan puncak musim timur. Angin akan berhembus kencang dari laut ke darat. Inilah yang mengakibatkan ombak cukup tinggi dan memang tidak disarankan untuk menyeberang saat-saat seperti ini.

Lalu sampai kapan seperti ini? Sampai kapan angin akan berbaik hati dan mengijinkan mereka pergi mengarungi lautan dengan longboat-nya? Tuhan, kumohon jinakkan angin musim timur ini sebentar, satu dua hari saja, agar mereka bisa menyeberang, agar aku bisa ikut menumpang pulang. Aku rindu kampungku, jangan sampai pasukan kecilku di tiga kelas yang kuajar terlantar. Aku juga ingin menemui warga Kampung Tarak di balik laut sana, merasakan keramahan dan kehangatan sapaan mereka. Tuhan, kalau sekolah saja ada libur kepala puasa, sudikah angin juga ikut libur juga?

 

4 Agustus 2011. Di tepi pantai Wagom, menerawang ke Pulau Panjang, pulauku memang tidak kelihatan karena gelombang.


Cerita Lainnya

Lihat Semua