Kitorang Su Siap Ujian!

Arif Lukman Hakim 4 Mei 2012

 

Keceriaan Siswa Kelas VI SDN Tarak, Distrik Karas, Fakfak, Papua Barat

Memang, ujian nasional mungkin digunakan oleh departemen pendidikan sebagai parameter keterdidikan bangsa ini. Dengan model ujian nasional yang sudah di-standarisasi-kan nilai capaian minimalnya, dengan mudah kita akan melihat bagaimana kinerja guru, perkembangan kualitas pendidikan, dan kemampuan siswa baik di daerah kecil, maupun di kota-kota besar.

Menurutku, fenomena ujian nasional cenderung mengalami ketidaksesuaian dengan tujuan dasarnya jika memang tujuannya seperti yang aku tuliskan di paragraf di atas. Ujian nasional sekarang dianggap sebagai pertaruhan harga diri sebuah sekolah, sebuah gugus, dan sebuah daerah. Seorang bupati atau gubernur akan merasa sangat tercoreng jika daerahnya banyak yang tidak lulus. Sehingga, dengan harapan ingin menunjukkan prestasi pendidikan di daerahnya, segala cara dapat ditempuh.

Menurut sudut pandang yang kulihat, selama berlangsungnya prosesi ujian nasional yang paling menyedihkan sebenarnya ada di level terbawah, yaitu siswa. Ujian nasional adalah momok paling menakutkan bagi anak-anak. Ibaratnya, sudah gemetar sebelum memegang senapan, apalagi saat maju berperang. Perasaan was-was dan cemas, ketakutan akan buruknya nilai yang didapat, apalagi sampai tidak lulus, betul-betul mengekang pikiran siswa, entah di pusat kota besar, maupun di pelosok negeri ini.

Inilah fenomena yang kualami sekarang. Aku, yang hanya guru bantu, dan mengikat kontrak hanya setahun saja, dengan serta merta dipasrahi mengampu kelas 6 oleh kepala sekolah tempatku bertugas. Entah ini cobaan atau tantangan, tapi ya sudah, aku sanggupi.

Di awal-awal kesadaranku bahwa sekarang aku berhadapan dengan pertaruhan harga diri seorang anak, sebuah sekolah, dan sebuah daerah, aku cukup getir menghadapi kenyataan ini. Aku seolah bertanggungjawab atas “kinerja” sekolah anak-anak selama 6 tahun. Maka semboyan yang aku tanamkan adalah setahun mengajar, bertanggungjawab atas 6 tahun sekolahnya anak-anak.

Kelas 6 yang aku tangani termasuk kelas yang cukup cerdas. Namun, kemampuan pasukan kecilku ini belum sepenuhnya merata, masih ada beberapa anak yang perlu dipacu kompetensinya agar bisa memahami nateri yang disampaikan, dan tentunya mengejar kelulusan.

Contohnya adalah materi pembagian, materi inilah yang mungkin paling susah dipahami anak-anakku, padahal bagian dari pelajaran kelas 4. Baiklah, ungkapan kepsek yang menyanjung bahwa anak-anak kelas 5 dan 6 yang kemampuannya lebih bagus karena hasil didikannya ternyata hanya isapan jempol saat aku menghadapi 1-2 anak kelas 6 yang tak bisa membagi bilangan.

Belajar Matematika

Putus asa adalah kata yang tidak ada di kamusku. Untuk memantapkan persiapan menghadapi ujian, aku sudah merancang aneka amunisi untuk anak-anakku.

Program pengayaan yang kudesain tidak hanya mengulang materi-materi yang sudah diajarkan, melainkan melatih dengan aneka soal, dan yang tak kalah penting adalah mempraktekkan beberapa materi langsung di alam.

Memang, aku kurang tahu alasan kepala sekolah kenapa program-program yang aku inisiasi selalu mendapat cibiran di belakang. Tapi sudahlah, ini perkara nyali untuk berjuang, jadi aku anggap ini tantangan yang harus dilewati sebelum mencapai kemenangan.

Terhitung sudah tiga bulan aku melakukan pengayaan, sekalipun saat semester satu aku juga sudah aktif memberikan jam tambahan belajar untuk “melunasi hutang” beberapa materi untuk anak-anak. Namun, aku merasa masih belum yakin atas kemampuan anak-anak menghadapi ujian.

26-28 Maret 2012, ujian fase pertama pun dimulai, kali ini ujian praktek sebagai “pemanasan” sebelum ujian yang sesungguhnya. Saat aku mendampingi anak-anak hebat calon penerus bangsa ini melangsungkan ujian, aku merasa kecakapan mereka untuk memahami materi selama ini masih belum maksimal. Ilmu yang mereka serap dari buku selama bersekolah seolah masih di awang-awang. Apa jadinya kalau akan tetap begini saat ujian nasional sesungguhnya nanti?

Akhirnya, setelah selesai rangkaian ujian praktek ini berlangsung, aku kembali menanyai mereka untuk belajar di luar kebiasaan anak sekolah pada umumnya.

“Bagaimana kalau selesai ujian praktek ini, kitorang jalan lagi? Ke pantai? Atau ke hutan? Atau, berlari ke hutan, lalu ke pantai?”, tanyaku kepada anak-anak hebatku.

“Ke pantai saja Pak guru, pak guru belum pernah ke Kapartemin to?”, Muhamad Patur merayuku. “Kitorang molo-molo (menyelam) sambil belajar lagi pak guru.”, Ridwan sudah sangat terlihat antusias.

Yah, siang itu selesai ujian praktek terakhir akhirnya kita menuju lokasi yang dijanjikan anak-anak. Hujan mengguyur perjalanan kami menuju hiden beach di Pulau Tarak ini.

Di bawah sebuah pohon ketapang, kita duduk melingkar. “Aturan mainnya begini, anak yang memegang kaca-molo (masker snorkeling) pak guru ini berarti dia yang dapat giliran menjawab pertanyaan seputar pelajaran IPA. Setuju?”, kataku.

Kami bertahan di bawah guyuran hujan siang itu sambil membahas rangka manusia, sistem pernapasan, cirri khusus makhluk hidup, dan materi-materi pokok yang kemungkinan akan keluar saat ujian nasional nanti.

Setelah semua anak mendapat giliran, keinginan anak-anak untuk bermain air di air laut sudah tak tertahankan. Mungkin mereka penat dengan segala kegiatan persiapan ujian, tibalah mereka melampiaskan kepenatan. “Pak guru, kitorang su boleh molo kah tara da?”, tanya Ruslan, pertanyaan retoris, karena saat dia bertanya separuh badannya sudah ada di laut.

Ruslan dan dunianya di Kampung Tarak, Fakfak

“Eh… hati-hati. Berenang jangan terlalu jauh. Ko lihat itu e… barang apa yang bergerak itu?”, kataku sambil menunjuk ke laut.

“Ruslaaaan! Ada manggiwang (hiu) itu!!!”, Supri berteriak kea rah Ruslan.

Manggiwang, atau ikan hiu masih menggerak-gerakkan sirip atasnya. Cemas luar biasa melihat anak-anak bermain di tengah laut kali ini.

Di sisi lain Si Jufri dengan santainya ikut mencebur ke laut.

Aduh….

Bersiaplah aku mempertanggungjawabkan kegiatan ini jika ada satu anak saja yang terluka gara-gara kelakuan manggiwang. Akan seperti apa nanti kejadiannya jika anak-anak dikejar, digigit, dianiaya, dan disikat oleh ikan buas ini?

Cemas….

Beberapa detik kemudian, hampir semua murid laki-laki sudah berada di dalam air. Apa yang akan mereka lakukan?

Ternyata mereka menggiring seekor ikan bergigi tajam itu agar menjauh dari pantai, mereka membentuk formasi seperti setengah lingkaran kemudian berenang dengan pelan sambil mengarahkan ikan hiu yang tersesat ini kembali ke tengah lautan.

Anak-anak perempuan yang masih tegang di pasir pantai seketika itu melompat-lompat dan berteriak-teriak penuh kegembiraan.

Di tengah laut terlihat Ruslan dengan santai berenang dan berusaha memanah ikan dengan besi andalannya.

Cemasku sudah hilang sekarang, bersama dengan Farida, Ridwan, Jufri, Hermanus, Ruslan, Andi, dan anak-anak kelas 6 yang lain aku mengikuti kegiatan bermain dan berpetualang mereka. Dan memang kuakui bahwa kedekatan mereka dengan alam bak sepenggal surga ini tak dapat dipisahkan.

Farida, mengembalikan bintang laut yang terdampar di pantai

Hujan kembali mengguyur bumi kepulauan di ujung Fakfak ini. Sambil beristirahat, Jufri dan Hermanus menyalakan api dari kayu-kayu yang tertimbun di balik rimbunnya hutan, dan daun-daun kering di sekeliling pantai.

Sembari menunggu ikan dan kelapa bakar matang terpanggang, aku mulai meyakinkan anak-anakku menghadapi ujian.

“Pak guru yakin, kalian pasti bisa melewati masa-masa ujian nanti. Ombak Laut Seram saja bisa kalian lalui saat menyeberang, apalagi melewati ujian. Kemudian, kalian tadi juga sudah membuktikan bahwa ikan manggiwang yang menakutkan saja sudah kalian taklukkan, kenapa harus takut dengan ujian? Jadi, sekarang pak guru tanya, berani atau tidak menghadapi ujian?”

“Beraniiiiiiiiiiiii!”, seru pasukanku.

“Ya, itu jawaban anak-anak Papua yang hebat. Sekarang siapkan diri, belajar lebih keras lagi, jangan malu bertanya, dan tetap rajin berdoa. Mantapkan diri kalian sebelum ujian!”.

Kitorang siap menghadapi ujian nasional!

Foto-foto saat belajar, bermain, dan berpetualang bersama anak-anak hebat ini ada di sini.

_______________________

3 hari menjelang ujian nasional.

Kampung Tarak, Distrik Karas, Fakfak, Papua Barat.


Cerita Lainnya

Lihat Semua