Kitorang Su Dapat Sinyal, Jendral! (4)

Arif Lukman Hakim 28 Mei 2012

Anak-anakku menyambut di dermaga

Lanjutan dari Kitorang Su Dapat Sinyal, Jendral! (3)

Setahap Menuju Sinyal

2 Desember 2012

Pagi itu aku, Bapak Tua, Om Syarif, berangkat ke kota mengantarkan saudara yang akan pulang menyeberang ke Pulau Gorom, Maluku. Kesempatan ini kugunakan juga untuk membeli perlengkapan dan kebutuhan sekolah karena tiga hari berikutnya akan dilaksanakan ulangan semester ganjil.

Seperti biasa, aku mulai mengecek sinyal saat Pulau Semai sudah terlewati, seperempat jarak laut tersisa menuju pusat Kabupaten Fakfak. Saat sinyal sudah masuk, kuhubungi nomor rekanan Indosat yang dikabarkan bertanggungjawab untuk memasang material BTS.

Setelah melintas di depan Pulau Tubi Seram, handphone-ku berdering, sebuah panggilan dari nomor baru. Setelah berkenalan via handphone, kuketahui bahwa tim teknisi ternyata sudah berada di Fakfak sejak sehari yang lalu, dan bersiap menyeberang untuk survei pembangunan BTS.

Dua hari kita habiskan untuk berkoordinasi tentang bagaimana menyeberang, kondisi kontur pulau Tarak yang akan dibangun BTS, dan bagaimana cara mengangkut materialnya nanti.

4 Desember 2012

Aku kembali ke kampung, sambil membawa tim teknisi yang akan mengerjakan proses pembangunan BTS. Sesampai di kampung, tim teknisi dan Bapak Desa langsung berjalan sepanjang jalan kampung, mencari titik yang tepat untuk meletakkan BTS.

Karena jalan kampung yang kami langkahi hanya sepanjang 750 meter, dan jarak rumah warga berdekatan, sehingga seluruh penduduk bertanya-tanya, ada apa?

Satu persatu tokoh masyarakat mulai muncul ke jalan kampung, menyapaku seperti biasa, kemudian bertanya penasaran kepada Bapak Desa. Hampir sepuluh orang akhirnya tergabung dalam rombongan tak terencana ini. Dan semuanya menyimpan senyum bahagia karena sebentar lagi mimpi akan menjadi nyata.

Keesokan harinya akhirnya survei dilanjutkan, namun aku tidak bisa ikut mendampingi karena kewajiban untuk mengawasi anak-anak yang sedang ulangan semester tak bisa kutinggalkan. Aku berdiri di sekolah sendirian kala itu, karena kepala sekolah sedang berada di kota.

Lokasi yang sebelumnya disediakan di sebelah sekolah sudah tersurvei, aku ikut mengamati teknisi dan aparat kampung yang sedang beranjak dari depan sekolah. Namun setelah aku pulang dari sekolah, teknisi menyatakan akan melakukan survei di titik lain, karena posisi sekolah yang di ujung kampung dikhawatirkan akan mengganggu jangkauan tower.

Akhirnya disepakatilah sebidang tanah di belakang rumah Om Syarif, yang hak ulayatnya dimiliki oleh Bapak Umar Bauw. Ketika kutanya, alasan pemilihan lokasi tersebut adalah karena posisinya di tengah-tengah kampung, jadi kemungkinan seluruh wilayah kampung akan merasakan sinyal dengan maksimal.

12 Desember 2011

Menjadi salah 1 dari 2 guru di SDN Tarak memaksaku harus menunda pembagian raport dan rapat wali murid karena kepala sekolah mengajakku untuk pertemuan dengan Dinas Pendidikan dalam rangka pelatihan Dana BOS.

Tiga hari pelatihan kuikuti. Perasaan sudah tidak bisa ditipu bahwa aku rindu dengan anak-anakku di pulau nun jauh di ujung Fakfak sana. Namun, di saat aku mencari perahu tumpangan untuk pulang ke kampung inilah teknisi dari perusahaan rekanan Indosat menahanku.

“Pak guru, material BTS sudah tiba di Fakfak. Saya mohon jangan ke kampung dulu.”, ucapnya.

Sambil menunggu waktu yang tepat untuk pulang ke kampung, aku juga dilibatkan dalam pengaturan strategi membawa material tower bersama Kepala Distrik Karas. Perhitungan cuaca, masalah keamanan di laut, kemudian berat material keseluruhan, menjadi alasan utama untuk memilih perahu motor, tidak menggunakan longboat.

21 Desember 2011

Tiga muridku tiba-tiba muncul di hadapanku.

“Hei.. ada acara apa kalian ke kota?”, tanyaku kepada Dedi.

“Kitong mau jemput pak guru”, jawabnya sambil malu-malu.

Tuhan… hampir 10 hari aku meninggalkan kampung selama liburan semester ganjil ini. Kerinduanku ternyata dirasakan juga oleh pasukanku di pulau Tarak.

“Bapak, murid saya su datang ke kota ini. Saya ke kampung dulu sudah e?”, tanyaku kepada teknisi dari perusahaan rekanan Indosat.

“Anak-anak, sabar yah. Pak guru akan pulang ke Tarak, pak guru belum pulang ke Jawa.”, kata pak teknisi merayu anak-anakku.

23 Desember 2011

Hari inilah akhirnya diputuskan kita akan membawa material BTS menuju Pulau Tarak. Pagi-pagi sekali kita mengecek barang-barang dan semua hal yang sudah dipersiapkan.

Sebelum jangkar dinaikkan dari pelabuhan Fakfak, kusempatkan dulu mengirim sms kepada Pak Anies, Ketua Gerakan Indonesia Mengajar.

“Bapak, pukul 08.05 WIT, kami sedang bersiap menyeberangkan perangkat BTS. Mohon doa semoga diberi kelancaran. Salam ta’dzim dari Fakfak. Arif”.

Sejurus kemudian sms balasan telah masuk.

“Subhanallah, connectivity is the key. You have done a step of history, your fingerprints stay there forever. God bless you my friend. Salam hangat buat seluruh tim. “

Dadaku semakin bergetar membaca sms Pak Anies. Seluruh alam raya Papua akan menyaksikan hari ini. Kulihat cuaca juga cukup mendukung dengan memberikan langit biru yang berseri dan laut bersahabat.

Perahu motor sempat bergerak miring ke kanan dan ke kiri menembus gelombang Laut Seram. Namun keadaan masih bisa dikendalikan dan posisi haluan masih melaju ke arah ujung timur-selatan Fakfak.

Suasana di atas laut

4 jam lebih sudah kita habiskan di atas laut. Pulau Tarak sudah muncul di ujung horison. Aku membangunkan tim teknisi dan memberitahu kalau kita akan segera berlabuh di pulau yang dituju. Tiba-tiba dari samping kiri dan kanan kemudian dari depan perahu muncul barang bergerak. Ah… ikan lumba-lumba! Ada 6 ekor sedang menari di permukaan laut. Seolah ikut menarik perahu ini agar cepat sampai di kampung tercinta.

Barisan pohon kelapa sudah menyeruak di pandangan. Masjid dan perumahan warga sudah berjejer. Ini dia kampungku. Kampung yang sangat kurindukan.

Anak-anak, bapak-bapak, ibu-ibu, pemuda-pemudi, semua telah menyemut di jembatan (dermaga). Mereka melambaikan tangan, menyambut kedatangan kami.

Perahu akhirnya berlabuh. Aku turun dari perahu dan seketika semua masyarakat menyalamiku, memelukku, dan menanyakan, “Bapa guru, kitorang su rindu kau. Baik-baik to?”. Semua murid juga mendekatiku, membuai senyum tulus khas anak-anak Papua. Aku mengelus kepala mereka satu persatu. Melepas kerinduan.

“Pak guru, kitorang langsung angkat material ini kah atau tunggu dulu?”, seru Bapak Desa (Kepala Kampung). “Terserah Bapak dan masyarakat, ini bapak pu barang to?”, jawabku sambil melempar senyum pada bapak angkatku.

Semua warga langsung mencari bagian, saling angkat, pikul, kemudian membawanya.

Masyarakat sangat bergairah hari itu. Bahasa yang keluar adalah “Kitorang pu alat su datang!” (Alat/tower- kita sudah datang).

 

Masyarakat membagi tugas untuk mengangkut material

Masyarakat bergotong royong mengangkut material

Bapak Tua, selalu semangat dalam bekerja

Sambil menikmati suka-cita ini, Bapak angkatku menatapku dalam-dalam. Kita seolah bicara dalam hati, bertukar cerita, dan merasakan energi cinta yang luar biasa. Akhirnya bapak memegang pundakku, “Makan dulu, mama su siapkan ikan di rumah”. Aku membalas dengan senyuman, kemudian mulai berbicara, “Kitong harus antar sebagian di Distrik Karas pace. Pulang dari sana baru makan”.

Kami melanjutkan perjalanan, mengantarkan material tower di Distrik Karas. Sesampai di sana Kepala Distrik menyambut kedatangan kami.

“Terus, kapan proses pengerjaannya Pak guru?”, tanya Kepala Distrik.

“InsyaAllah di Kampung Tarak besok akan mulai pengerjaan Pak”, kataku.

 

Bersambung….


Cerita Lainnya

Lihat Semua