Kitorang Su Dapat Sinyal, Jendral! (3)
Arif Lukman Hakim 25 Mei 2012
Kepulauan Karas, terapung di atas Laut Seram
Lanjutan dari Kitorang Su Dapat Sinyal, Jendral! (2)
Pelita Akan Segera Menyala
19 Oktober 2011
Rupanya angin musim timur bukan hanya menggerakkan keberuntungan fakfak yang menikmati musim pala, namun usaha dari lobbying yang kulakukan juga menemukan jalan terang.
Om Srondol, membawa suara dan jeritan masyarakat yang kukumpulkan,beliau mencurahkan keringat dan daya pikirnya untuk memperjuangkan daerah penempatanku di sebuah pulau cantik di Papua.
Setelah ditunggu-tunggu hampir 2 bulan, ternyata hasil negosiasi Om Srondolsangat sumringah. Indosat menyepakati pembangunan2 siteBTS, untuk Kampung Tarak dan Distrik Karas.
Allahu Akbar…
Kata itu yang saya teriakkan waktu menyeberang di Laut Seram menuju pusat kabupaten Fakfak diantar oleh bapak tua.
Di kota, saya langsung cek, ternyata benar beritanya.
Om Srondolmalah sudah mempublikasikan tulisan berjudul “Jeritan Pak Guru Itu Didengar Operator Seluler”, dan betul-betul 2 site dengan segala macam uborampe materialnya akan datang ke daerah penugasanku untuk menyediakan sarana komunikasi.
Tulisan Om Srondol
“Terus masalah lahan bagaimana pak guru?”, Om Srondol menanyaiku.
Aku langsung sigap membalasnya, “Untuk di kampung penempatan saya, Kepala Kampung yang juga menjadi bapak angkatku sudah menyatakan di mana saja lahan yang ada silahkan dipilih.Di Distrik Karas juga Kepala Distrik sudah menyatakan bahwa urusan itu adalah tanggung jawabnya, jadi dia yang akan betul-betul memperjuangkan kepada warga”.
*
23 Oktober 2011
Saat itu masyarakat mengadakan rapat untuk persiapan pelantikan kepala kampung, bapak angkat saya, yang akan diadakan di pulau sebelah. Di sela-sela rapat inilah aku mulai membuka cerita.
“Kepada Bapak-bapak, ibu-ibu, dan semua warga yang hadir, saya ingin menyampaikan sebuah kabar baik. Alhamdulillah usaha kita bersama untuk mendapatkan sinyal sudah mulai menunjukkan titik terang. Kemarin saat saya ada di kota, saya sudah mendapat kabar, bahwa kitorang pu kampung akan segera dipasang tower!”, aku berseru di tengah-tengah rapat warga.
Masyarakat yang hadir semuanya tepuk tangan, separuh mengusapkan tangan ke wajah, ada yang langsung berkomentar lamat-lamat dengan bahasa kampung, ada juga yang geleng-geleng.
“Saya mohon kerjasama dari semua masyarakat, jika material tower sudah datang, mari kitorang gotong royong untuk membantu kelancaran proses pembangunan tower ini”, aku melanjutkan.
Tutup mata
Selama proses negosiasi inilah, aku merasa jauh dari orang-orang yang kusayangi di luar sana, mulai dari calon istri, keluarga di Jawa, bahkan teman-teman Pengajar Muda yang hampir setiap bulan berkoordinasi.
Mungkininilah risiko yang harus diambil. Semua seolah dikorbankan, sekalipun masih tak sebanding dengan pengorbanan masyarakat yang hampir setiap kali ke kota untuk mencari sinyal harus mempertaruhkan nyawa merekadi atas gelombang laut yang menggelora.
Aku, sekalipun atas nama masyarakat, seolah individualis. Banyak yang bilang selain urusan kampung penempatan, seolah tidak mendapat perhatian.
Biar sudah, orang boleh berkata apa. Tapi batinku tetap menggumamkan prinsip, besok kalau sinyal di pulauku sudah ada, bukan hanya masyarakat 7 kampung di 4 daratan di atas laut seram saja yang merasakan manfaatnya, tetapi muridku, pejabat yang datang, pacarku, orang tuaku, apalagi teman-temanku, pasti bisa kuhubungi dan menghubungiku nonstop 24 jam.
Aku berjalan semakin menggila. Apalagi sudah tertusuk pertanyaan dari Bapak angkatku setiap kali aku kembali dari kota, “Pak guru, bagaimana kabar tentang ini? (sambil membuka jempol dan kelingkingnya sebagai isyarat orang menelpon).
Rumor yang beredar di masyarakat pun semakin nyaring. Cerita dari mulut ke mulut, rumah ke rumah, perahu ke kerambah, berita hangat yang beredar hanya masalah kedatangan sinyal di kampung.
Sampai pada suatu sore, saat hujan di bulan November selesai, sebuah perahu merapat di jembatan (dermaga tempat menambatkan perahu) Kampung Tarak.
Rahim, murid terpintar di kelas 5 yang kuajar, berlari menuju rumahnya.
“Pace…. Pace… Ko bangun sudah!”, katanya sambil menarik-narik baju ayahnya.
“Pace, tong pu alat su datang. Ada perahu motor pakai terpal. Pace.. ko bangun cepat!”, Rahim menggerutu.
Akhirnya Pak RT yang sudah cukup berumur itu langsung bergegas dari tempat tidurnya menuju ke jembatan bersama Rahim dan adiknya, Moksen.
“Itu pace, ko lihat itu to, tong pu alat su datang pakai motor”, seru Moksen.
“Iyo e, sebentar kitong lihat, tong pu alat ini besar macam apa”, kata pak RT.
Sesampai di jembatan, Pak RT yang diapit dua anaknya ini langsung melangkah menilik apa yang ada di dalam perahu motor.
“Yahhhhh…. nenek… kau su datang hujan-hujan begini?
Ternyata nenek Rahim dan Moksen yang datang, bukan material tower.
Si lucu Rahim (tengah)
“Kitorang kira tower yang datang, ternyata nenek…hahaha”, begitu ucap Pak RT saat menceritakan kisahnya dan kedua anak hebatnya kepadaku.
“Terus kapan kitorang pu alat itu datang pak guru?”
Bersambung…
Lanjutannya ada di sini
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda