info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Margo Mulyo "Junior Masterchef "

Raisa Annisa 26 Mei 2012

Pagi itu adalah pagi yang ditunggu-tunggu. Terutama saya yang menunggu datangnya pagi itu. Kamis, 3 mei 2012 merupakan hari ujian praktik kelas 6. Dimana mata uji hari itu adalah SBK (Seni, Budaya dan Keterampilan). Anak-anak diuji kemampuan memasak dan menata meja makan. Siswa kelas 6 dibagi dalam dua kelompok, mereka bersaing memperebutkan gelar Margo Mulyo  Junior Masterchef (maaf lebay), maksud saya mereka bersaing mendapatkan nilai terbaik.

Sejak pukul 6 pagi mereka semua sudah siap di sekolah. Dua kelompok memasak di belakang mesjid yang berada di samping sekolah. Mereka membawa peralatan memasak dari rumah. Yang tak kalah hebat, mereka semua memasak dengan tungku darurat. Tungku yang disusun dari sisa-sisa batu bata dengan kayu sebagai bahan bakar utama. Saya takjub melihatnya. Bagi mereka penggunaan itu adalah hal yang biasa, tetapi tetap saya kagum karena  belum tentu saya bisa melakukannya.  

Kegiatan memasak dimulai. Masing-masing kelompok sibuk mempersiapkan masakan terbaiknya. Saya memantau kedua kelompok, merasakan aura semangat mereka dan tentu saja berlaga seperti dewan juri yang menginterogasi proses memasak para peserta. Saya semakin takjub kali ini bukan hanya karena tungku darurat, ternyata mereka harus mengolah ayam hidup-hidup  untuk dijadikan masakan yang lezat. Mungkin di kompetisi Masterchef dewasa pun (CMIIW) belum ada episode dimana peserta harus mengolah daging dari mulai memotong hewannya ketika masih hidup. Dan ya, itulah anak-anak desa. Meskipun ada yang belum pernah menyembelih hewan, mereka tahu caranya. Yang tidak kalah penting, mereka BERANI mencobanya. Saya tak bisa membayangkan jika saya ada di posisi mereka. Saya juga tidak yakin apakah anak-anak SD di kota bisa melakukannya. Antara tega tidak tega, saya memilih beralih ke tempat lain.  

Proses berdarah-darah dengan ayam berlalu. Kini anak laki-laki melanjutkan membersihkan sang ayam agar siap diolah. Anak-anak perempuan dengan gesit menyiapkan bumbu dan panci untuk memasak ayam. Sebelumnya, mereka sudah merebus lalapan dan memasak sayur bening. Taklupa memasak nasi dan memotong buah sebagai syarat makanan empat sehat lima sempurna.  Setelah semua proses selesai, saatnya penataan meja makan dimulai. Mereka sudah siap dengan taplak yang cantik, bunga yang segar serta penataan piring dan gelas yang estetis. Kedua kelompok tak mau kalah kompak, mereka berlomba menata meja dengan baik. Masakan sudah tersaji, meja sudah siap tertata, membuat siapapun yang melihat tak sabar ingin mencicipi.

Akhirnya proses “tasting” pun tiba. Hari itu saya dan Pak Arga menjadi juri utama dalam menilai masakan dan penataan. Kami diberi kehormatan  mencicipi terlebih dahulu dan menentukan nilai akhir ujian praktik hari itu. Setelah “icip-cip” selesai, kami menghitung perolehan angka masing-masing kelompok. Kelompok B mendapat nilai lebih tinggi. Secara penataan dan variasi menu mereka lebih kreatif. Namun saya memutuskan untuk tidak mengumumkan nilai tersebut. Bagi saya masakan mereka sangat lezat dan yang terpenting adalah prosesnya. Proses yang membuat saya takjub akan kehebatan anak-anak desa. Mereka yang tidak kalah dengan chef dewasa. Merekalah Junior Masterchef yang sebenarnya.


Cerita Lainnya

Lihat Semua