Kitorang Su Dapat Sinyal, Jendral! (1)

Arif Lukman Hakim 23 Mei 2012

Cerita usaha pencarian sinyal ini mungkin cukup panjang, agar tidak ahistoris, aku ingin menuliskannya sesuai dengan kronologis.

Gara-gara galau di atas sebuah pulau

17 Juni 2011

Untuk pertama kalinya aku menginjakkan kaki di Kampung Tarak, Distrik Karas, Kab. Fakfak, Papua Barat, sebuah kampung yang dipasangkan denganku selama bertugas sebagai pengajar muda Gerakan Indonesia Mengajar.

Sesuai SOP Pengajar Muda, aku harus membuat baseline assessment tentang keadaan sekolah dan kampung di awal penempatan. Hasilnya, 13 hal kutemukan masih perlu digarap di tanah tempatku berdiri. Kehidupan di pulau yang menjadi daerah penempatanku laksana hutan lebat, terlalu banyak kekosongan yang harus diisi oleh berbagai program di sini. Namun saya tergelitik dengan 2 hal yang menjadi jembatan untuk program lainnya, transportasi dan komunikasi.

Kenapa saya tertarik dengan dua hal tersebut?

Dua bidang inilah yang menurutku menjadi determinan kemajuan di daerah, terutama kepulauan. Jika transportasi sudah lancar, maka mobilisasi barang dan jasa, terlebih manusia, akan berjalan lebih cepat. Sektor-sektor lain akan bergerak juga mengiringi perkembangan ini (multipplier effect).

Kemudian jika komunikasi sudah bisa di akses, maka arus pertukaran informasijuga akan lebih up-to date. Biarpun hidup di pulau, tetapi perkembangan tentang dunia pendidikan, kesehatan, pemerintahan, ekonomi, maupun bidang lainnya tidak ketinggalan.

Saat kutanya beberapa tokoh masyarakat tentang dua hal yang kusebutkan terakhir, jawaban mereka adalah “Ibarat kitorang teriak, itu sampai tenggorokan mau pecah. Sampai sekarang belum ada tanggapan atas usulan masyarakat”.

Perih membayangkan mereka bertahun-tahun hidup dalam keadaan seperti ini. Hidup di daerah kepulauan rupanya memiliki seribu satu hambatan untuk berkembang. Namun dengan usaha yang tak mau putus, mematikan rasa mengeluh dan menyalahkan, dan lebih mengutamakan kata“melakukan”,aku beranikan diri untuk membujuk masyarakat. “Bapak, kalau kitorang usaha, pasti ada jalannya. Mari kitorang coba sama-sama”.

Gelap tanpa listrik, jauh dari kota dan tidak ada perahu reguler, ditambah tidak bisa berkomunikasi dengan pihak luar, adalah situasi yang kuhadapi saat hari-hari pertama di sini. Galau di atas sebuah pulau. Hanya berdiskusi di bawah remang cahaya pelita, mengintip sinar bintang, dan menikmati suara debur ombak Laut Seram. Pikiran pun terbang ke awang-awang.

Sejuta pikiran yang menyerbu otakku. Namun ada hal yang menyudut, meruncingkan imajinasi, dan mengerucutkan pikiran. Yang kupikirkan adalah bagaimana caranya kampung dan masyarakat di sini mendapat akses komunikasi yang lebih mudah. Itulah mimpiku, bermula dari ketiadaan, tanpa kutahu akan berlari kemana mimpi ini akan dilabuhkan.

29 Juni 2011

Seperti yang kuceritakan di tulisan bersejarah “Sinyal itu mahal, Jendral”, kala itu aku diajak ke pusat kecamatan (menyeberang di laut sekitar 1 jam) bermaksud untuk mencari sinyal barang 1 bar untuk menghubungi aparat keamanan Papua, mengabarkan bahwa aku sudah selamat sampai di kampung penempatan. Hari itu juga aku bertujuan menghubungi emakku di Jawa, emak pasti sangat khawatir karena hampir 2 minggu aku tak memberi kabar setelah kabar terakhir aku pamit untuk menyeberang.

Khayalan manisku musnah saat berkali-kali mengecek handphone namun tak muncul satu provider pun di pusat kecamatan. Mimpi indahku lenyap. Apa daya, sinyal seperempat bar saja tara da.

Sepulang dari pusat kecamatan itulah saya menulis di log-book Indonesia Mengajar, dengan judul “Sinyal Itu Mahal, Jendral!”.

Menulis di bawah remang cahaya pelita

Tulisan itu kutulis di buku, karena seperti yang kuceritakan dalam tulisan dan video “Terima Kasih Pelita”, di bumi kepulauan ini belum ada listrik yang disediakan PLN. Sedangkan harga BBM cukup mahal, dan lebih sering mengalami kelangkaan untuk mengisi tangki genset.

Pelita menerangi situasi belajar bersama muridku.

1 Juli2011

Hari inilah hari pertamaku menyeberang kembali ke pusat kabupaten. Benakku langsung berbisik, “aku akan dapat sinyal, aku bisa menghubungi orang-orang yang harus kuhubungi. Emak, aparat keamanan papua, pacarku tercinta, dan pihak Indonesia Mengajar”.

Sepanjang perjalanan di atas perahu aku terus mengagumi kekayaan alam Papua, di sisi lain aku sudah semakin tidak sabar untuk segera bertatap muka dengan teman-teman Pengajar muda Fakfak lainnya yang mungkin sudah lebih dulu tiba di kota.

Perahu akhirnya dilabuhkan di pasar tambaruni. Tanpa mengulur waktu, kubuka handphone, dan Alhamdulillah, provider “no service” sudah digantikan “Indosat”.

“Jang….., ka…mu… se…..hat jang? Selamat jang?”, suara emakku di ujung telepon sana sambil terisak tangis karena mendapat kabarku.

“Jang…. Kenapa ditelpon tidak aktif? Kamu marah sama emak ya jang? Jang… baik-baik di Papua jang?”, emak terus menangis…….

Emak, mengira terjadi apa-apa selama aku menyeberang karena berminggu-minggu tak juga memberi kabar. Setelah kuceritakan bahwa di pulauku tak ada sinyal, emak akhirnya bisa sedikit tenang dan memaklumi.

Handphonekembali berdering, kali ini dari Erma, gadis manis belahan hatiku yang ditugaskan di Aceh sana yang juga tak kalah haru.

“Maaaas…. Kamu baik-baik aja to? Gimana? Emang benar-benar ga ada sinyal? Maaaas…. Ndukmu iki kangeeen. Awakmu apik2 to?”, suara Erma.

Suara manjanya memecah kegalauanku.

Nduk, sing sabar yo. Nanggonku ra ono sinyal blas. Awakmu kudu siap2 mung sesasi pisan tak hubungi., jogo kesehatan, apik-apik nang kono. Setahun meneh awake dewe ketemu. Aku teko nang omahmu. Sing sabar yo nduk”, aku merayunya.

(Nduk, yang sabar ya. Di tempatku sama sekali tidak ada sinyal. Kamu harus siap-siap hanya sebulan sekali kuhubungi. Jaga kesehatan, baik-baik di sana. Setahun lagi kita bertemu. Aku akan datang ke rumahmu. Yang sabar ya nduk).

Tak lama kemudian sms dan telpon masuk lagi. Kali ini dari teman-teman Pengajar Muda Fakfak. “Ariiiiffff… kamu di mana? Kita udah di kota, Wulan kena malaria, sudah seminggu dirawat. Ayo ketemuan!”, kata Adhiti.

Akhirnya kita berkumpul di sebuah warung di daerah pertokoan, dan mulai bercerita tentang keadaan kampung penempatan masing-masing. Kami larut dalam euphoria pengajar muda, kebahagiaan yang tak ternilai bisa berkumpul bersama, dan bisa berkomunikasi dengan keluarga yang nun jauh di luar Papua.

Setibaku di pusat Kabupaten Fakfakinilah, aku mem-publish tulisan dan mengunggah foto di blog dengan tujuan seperti biasa, pelampiasan rasa galau yang melanda saat berada di pulau, itu saja.

Namun ternyata dengan modal lebih banyak melakukan dan membuang rasa mengeluh ini semuanya bermula. Kegalauanku yang dilampiaskan melalui tulisan mendapat respon.

Bersambung…

Lanjutannya klik di sini


Cerita Lainnya

Lihat Semua