Kisah tentang Sudak (2): Pasukan Kalangkabut

Arif Lukman Hakim 19 Agustus 2011
Semenjak kepergian bapak dan ibu ke pusat distrik untuk mengantar Hasna, aku secara aklamasi memimpin rumah keduaku ini. Dedi dan Tuti adalah dua pasukanku yang akan menemaniku selama rumah ini sepi, itupun kalau mereka tidak pergi bermain. Harus jaga rumah, menyiapkan makan sendiri, dan bersiap menerima tamu yang mencari kepala kampung, itulah beberapa tugasku. Hari ini memasuki hari kedua bapak dan ibu tak di rumah. Aku tak tahu sampai kapan kedua orang tua angkatku akan menginap di tempat yang juga disebut “prabu” itu. Sejak pagi aku terbangun dari lelap, aku sudah berencana untuk masak telur dadar saja hari ini untuk lauk para pasukanku di rumah. Ketika aku sedang berpikir lauk lain selain ikan itu, tiba-tiba Dedi memanggilku, “Pak guru, mari minum teh dulu”. Ah, anak kecil ini, adik angkat laki-laki satu-satunya, belajar hanya dengan melihat saja sudah sangat baik menyuguhkan teh untukku. Sama persis dengan cara ibu angkatku, yang setiap pagi selalu menyuguhkan teh hangat untukku dan bapak. Aku sebenarnya tak mengharap suguhan itu, toh aku bukan tamu yang hanya berkunjung sehari dua hari di sini. Aku sudah akan bertindak mengaduk sesendok gula dan teh di dapur, rupanya aku kalah cepat dengan Dedi pagi ini. Kalah telak. Setelah membersihkan rumah bersama-sama sebagai substitusi tugas yang biasanya dilaksanakan ibu, kami menikmati keakraban di rumah batako ini. Dari tatapan yang disembunyikan dua orang pasukanku ini aku tahu mereka ingin bermain. Dedi kemudian memberanikan diri meminta ijin, “Pak guru, bolehkah saya pinjam masker renang?”. Oh, bukan bermain biasa rupanya, tetapi bermain air di laut dengan berenang atau menyelam melihat karang yang akan dilakukan mereka, “Boleh, silahkan pakai saja”. Aku menjulurkan tangan dan menyerahkan masker snorkeling abal-abal ukuran anak-anak yang kubeli saat aku ke kota awal bulan yang lalu. Hari telah siang. Aku bersiap memasak di dapur yang beralaskan tanah di belakang rumah. Dedi dan Tuti telah selesai berenang. Tapi mereka tidak melanjutkan waktu dengan bermain, melainkan bertahan di dapur dan dengan sigap akan menyiapkan makanan bersamaku. Dedi berujar, “Sudah Pak guru tinggal saja, biar kami berdua yang memasak”. Ah, di sini aku yang paling besar, sudah dipanggil pak guru pula, aku tak akan membiarkan mereka berdua, murid kelas 2 dan kelas 4 SD yang kuajar memasakkan untukku. Apalagi posisiku di rumah ini adalah kakak mereka. Dunia akan terbahak kencang jika aku memangku tangan hanya menunggu masakan mereka. Baik, solusinya adalah bagi tugas. Tuti memaksa untuk menanak nasi. Anak sekecil itu, lihai sekali membersihkan beras, menuangkannya, kemudian menanak di atas api yang menyala. Aku bersama Dedi akhirnya berpasangan menyiapkan lauk dan menyiapkan bumbu. Saat proses peramuan jamuan makan siang ini berlangsung, tiba-tiba suara-suara kecil semakin mendekat, Dika dan Melati, sepupu Dedi yang juga sepupu angkatku, memasuki ruangan dapur. Dua bocah berusia 3 tahunan itu kelihatan lapar, kuminta mereka menunggu sebentar. Sesaat kemudian terdengar suara telapak kaki berlarian, cepat sekali injakan kaki yang terdengar. Dua bocah lagi, Rasya dan Nardi, masih sepupu kami, memasuki arena ini dengan bernyanyi-nyanyi. Kuminta mereka tenang dan menunggu sebentar sebelum kita makan bersama. Tuti mulai memeriksa nanakan nasinya. Dedi dan aku masih mengaduk-aduk bumbu. Dan Dika mulai berontak. Dia membuka celananya dan pergi entah ke mana. Sejurus kemudian kuketahui Dika sedang buang air besar! Untung saja “bocor” tepat di kamar mandi. Haduh... Dari jauh kulihat Rasya dan Nardi sedang berdebat hebat, berebut mainan. Melati hanya duduk diam tanpa perhatian kakak-kakaknya itu. akhirnya Rasya menangis terkena hantaman saudaranya. Pasukanku semakin kalangkabut di rumah ini. Juli 2011.

Cerita Lainnya

Lihat Semua