Indonesia...

Arif Lukman Hakim 29 Juli 2011
Tanyakan saja pada beberapa teman-temanku, aku ini kadang memang sok nasionalis. Memperbincangkan permasalahan negara dari sisi pengetahuan yang dangkal, asal menggemari Bung Karno karena tidak tahu alasannya kenapa, atau membawa bendera merah putih kemanapun aku bernaung. Yang terakhir itu kulakukan sejak aku merantau jauh ke Jogja untuk menempuh gelar sarjana. Hal pertama yang kulakukan adalah membentangkan bendera dwi warna itu di sebuah kamar di sudut blok Sunan Gunang Jati, Asrama Sunan, Ponpes Ali Maksum-Krapyak, Yogyakarta. Aku tak tahu apa yang diungkapkan teman-teman pengajar muda saat melihat keanehanku ini. Aku membawa serta bendera merah putih di tumpukan pakaian dari ranselku. Tanyalah mereka yang mengikuti pelatihan intensif bersamaku kalau tak percaya. Aku ini sok nasionalis? Memang. Gagal menjadi tentara? Dulu sempat ditawari masuk akademi militer, tapi aku enggan. Ingin mencoba mendapat nama dengan berjuang untuk negara? Sekedar nama saja tak cukup untuk menyaingi ribuan nyawa leluhurku yang berjuang mendirikan republik ini. Lalu karena apa? Karena tidak ada apa-apa, karena aku tak tahu apa-apa, dan karena aku belum bisa memberi apa-apa untuk bangsa ini. Indonesia? Negeri elok katanya, tempat permunculanku ke dunia, yang harus kubaktikan jiwa ragaku padanya, kata lagu-lagu yang selalu kudengarkan dengan versi-versinya. Lagu yang menggema, yang selalu membuat bulu rona ikut berdiri bersikap sempurna di atas kulit legamku. Perasaan tak terlukiskan merasakan alunan syair yang dirangkai Ismail Marzuki, C. Simanjutak, Kusbini, Ibu Soed, apalagi WR. Supratman! Di sini, di Papua ini aku kembali membentangkan kekuatan merah putih di sudut rumah ini. Dua warna yang selalu memandangku sejuk. Bendera yang memberikan ketenangan dalam kecamuk anak bangsa. Dan aku beruntung mendapatkan tempat yang layak untuk benderaku ini, di rumah Bapak Amir Sudak ini. Bapak angkat yang merangkap kepala kampungku ini juga betul-betul menghargai arti Indonesia. Biarlah kami berbeda dalam cara mengartikan, tapi tetap sama, terserap satu unsur besar dalam pengertian kami, kecintaan. Bapak angkatku, punya aturan leluhur, “Di mana bendera ini dikibarkan, kau harus mengikuti aturan yang ada di bawahnya, suka atau tidak suka, kau harus mempertahankannya”. Bapak juga membentangkan bendera yang sama, sekalipun benderanya lebih kecil namun dalam artian yang sama, kesatuan. Lagu yang kudengar tak jauh menarik dengan lagu-lagu minor melayu, tak kalah dahsyat dengan lagu-lagu heavy rock, tak kalah riang dengan irama funk, tak kalah ciamik dengan alunan reggae pinggir pantai. Laguku indah kawan, tanyakan teman-teman yang menemaniku menghelat mapress atau malam apresiasi seni di pelatihan pengajar muda. Di bumi cendrawasih ini, ternyata lagu itu selalu terdengar, tak terhitung berapa kalinya dari radio balok bapak yang hanya menyiarkan satu siaran. Setiap hari! Setiap hari di sela-sela jeda acara radio itu memutar lagu yang sama denganku. Lagu yang membuatku ingin menyelam lebih jauh tentang keelokan bangsa ini, menelusuri ragam keramahan, membingkai potongan-potongan daratan dan lautannya. Terlalu berlebihan kukira yang kutulis di atas. Biar! Biarkan aku memuji yang kucintai! Seperti biasa, setelah makan malam aku dan bapak banyak berbincang. Namun kali ini bapak kedatangan tamu, saudaranya yang tinggal di pusat distrik Karas akan menginap di sini. Jadilah kami bertiga yang akan menembus akal untuk berbincang malam ini. “Pak guru, di sekolah nanti tolong ajarkan kepada anak-anak tentang apa saja di balik lambang negara kita, Garuda. Ajarkan tentang makna dua warna yang ada di bendera. Ajarkan juga lagu-lagu kebangsaan kita”, kata Pak Karim, tamu bapak malam ini. Kata-kata beliau itu adalah terusan dari obrolan kita yang awalnya memperbincangkan tentang adat-adat yang ada di Papua jika dibandingkan dengan Jawa, Sumatra, atau pulau lainnya. Aku tak tahu siapa yang menggiring perbincangan kita bertema kebhinekaan malam ini. “Ah, kalau kita bicara tentang luasnya Indonesia yang mempunyai keragaman di berbagai daerah, mungkin yang tepat dinyanyikan adalah lagu Dari Sabang Sampai Merauke, Pak guru”, Pak Karim menambahkan sambil tersenyum. Berikutnya, aku ambil laptop dari kamarku. “Bapak, inilah yang tadi telah terjadi di sekolah, sampai akhirnya saya putuskan untuk menghentikan pelajaran”, aku mulai menghidupkan laptop. “Dari sabang sampai merauke, berjajar pulau-pulau. Sambung menyambung menjadi satu, itulah Indonesia. Indonesia tanah airku, aku berjanji padamu, menjunjung tanah airku, tanah airku Indonesia”, suara rekaman video anak-anak saat aku mengajar Pendidikan Kewarganegaraan  siang tadi ikut diimbangi dengan suara pelan dua orang bapak di hadapanku. “Bapak, saya masih ingin mengajarkan lagu wajib yang lain, tapi nanti. Beberapa lagu sudah saya siapkan untuk mengisi pelajaran di sekolah. Salah satunya lagu ini bapak, yang mencerminkan kampung ini, kampungku yang indah ini”. Indonesia tanah air beta, pusaka abadi nan jaya. Indonesia sejak dulu kala, slalu di puja-puja bangsa. Di sana tempat lahir beta, dibuai dibesarkan bunda. Tempat berlindung di hari tua. Sampai akhir menutup mata. Lagu karya orang besar bernama Ismail Marzuki itu membius obrolan kami yang telah menjamah waktu sampai dini hari. Aku mengimbangi suara vokalis itu dengan menampilkan beberapa foto kampungku yang cantik dan anak-anaknya yang penuh keceriaan di kampung Tarak ini. “Yah, ini pas! Lagunya dan fotonya. Oh, ck ck ck... indah sekali tanah air beta. Indonesia tanah air beta...”, bapak angkatku melanjutkan lagu Indonesia Pusaka. Kawan, malam itu (“dini hari itu” tepatnya karena jarum jam telah menunjuk angka 1), masih ada suara-suara pelan di pelosok Indonesia timur ini menyanyikan lagu itu. Lagu yang kuharapkan masih sama dengan yang dinyanyikan di Pulau Jawa, Sumatra, Kalimantan, Kepulauan Nusa Tenggara, Pulau Bawean, Kepulauan Sangihe, Kepulauan Maluku, Bali, Pulau Rote, dan puluhan ribu pulau yang lain yang ada di dunia!

Cerita Lainnya

Lihat Semua