info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Legowo ala Papua

Arif Lukman Hakim 12 Agustus 2011

Angin bersemilir menelisik kulitku. Sementara pandangan mata tertuju pada satu cahaya terang di langit, bulan telah genap pepat membulat. Cahaya purnama malam itu terpantul ramah di bulir ombak yang di bawa dari ujung laut, hinggap ke bibir pantai berpasir putih kampungku.

Awan sedang bermurah hati malam ini. malam nisfu sya’ban, tepat pertengahan bulan sya'ban tahun hijriyah. Masyarakat mulai mengayunkan langkah menuju bangunan bermenara hijau yang terletak di sebidang tanah yang menyisir bukit Tarak. Acara nisfu sya’ban dimulai. Hampir sama dengan adat yang dilakukan di pesantrenku dulu, warga mulai membaca surat Yaa Siin sebanyak tiga kali kemudian diakhiri dengan doa memohon diberi ketetapan iman, dan diberi nikmat sehat dan limpahan rizqi untuk bekal mengarungi hidup di dunia ini. Di Kampung Tarak ini, agenda acara peringatan nisfu sya’ban juga dilengkapi dengan jamuan makan. Acara tersebut menjadi momentum untuk beramahtamah antar warga ataupun untuk musyawarah. Satu orang, Pak Kepala Kampung, mempersilahkan aku untuk berbicara lebih dulu. Perintahnya adalah berikan pengarahan ke masyarakat. What? Pengarahan? Ya, aku dianggap sebagai salah satu orang yang bisa mengarahkan masyarakat. Akhirnya kuputuskan untuk berbicara tentang pendidikan, danj kemasyarakatan. Suaraku berisi nada-nada pertolongan agar warga mau bekerja sama untuk mendidik anak-anaknya, dan ikut menjaga situasi keterdidikan di Kampung Tarak ini.

Tentang masyarakat, aku hanya menekankan bahwa keberadaanku sekarang bukan seperti wisatawan, datang sebentar pulang kemudian. Aku hidup bersama warga, aku harus mengenal mereka. Maka aku sudah utarakan bahwa beberapa waktu yang akan  datang aku akan lebih sering mengunjungi warga "ujung pukul ujung"-dari ujung ke ujung. Aku akan menyambangi warga dan muridku di rumah masing-masing.Pidato sederhanaku dijawab oleh anggukan secara berjamaah dari warga.

Selanjutnya, setelah forum dikembalikan ke pangkuan warga, satu orang mulai bercakap-cakap tentang pembahasan isu-isu yang sedang hangat di masyarakat.Kali ini tentang aktifitas perusahaan minyak di kampung, rupanya itu menjadi isu yang memanas. “Kita orang su merasa terganggu, kalau ada seismik perusahaan kita orang tidak boleh mencari ikan, hasil tangkapan berkurang. Jangankan untuk dijual, untuk makan saja tara ada”, kata-kata tadi diucapkan dengan nada tinggi, ada unsur membentak-bentak di sini.

“Lalu itu warga yang diambil menjadi karyawan perusahaan itu bagaimana? Jangan main ambil saja, kemudian dipulangkan begitu saja seperti ambil rusa dari hutan”, Pace Baharudin mulai menimpali. Disusul kemudian beberapa pemuda dan hampir semua warga iuran suara dalam forum informal tersebut. Ramai. Tuangan kopi dan suguhan keladi, pisang goreng, kero, kue lontar, dan beberapa makanan menyentil perut kami.  Rupanya begini cara masyarakat Kepulauan Karas menyelesaikan mufakatnya. Baru setelah mereka selesai berujar argumen, akan dilakukan penjelasan dari aparat kampung dan para tokoh masyarakat. Hampir setiap orang mendapatkan hak penuh untuk berpendapat. “Pak guru, kita orang minta maaf, tapi beginilah adat kami. Mungkin pak guru kaget, kenapa kita orang tegang dan saling berbicara dengan nada tinggi. Kita orang di sini memang seperti ini saat rapat atau bermusyawarah. Biar semuanya jelas, tara ada yang ditutup-tutupi”, ucap bapak sekretaris kampung.  “Tara apa-apa Bapak, kalau sudah keluar semuanya kan jadinya plong, tidak ada yang mengganjal di dada. Kalau di Jawa mungkin namanya legowo Bapak, saya tidak tahu bahasa Indonesianya apa itu legowo”, kataku.

Kemudian aku hanya memberikan usulan tentang penjelesan secara terbuka sistem recruitment karyawan dari perusahaan, sedangkan masalah hak ulayat sebaiknya ditinjau kembali antara tokoh-tokoh adat setempat. Bagaimanapun juga tanah negeri mereka adalah hak mereka. “Bapak, saya mohon maaf. Bukan bermaksud mencampuri urusan warga, tapi berhubung saya dilibatkan dalam pertemuan ini, jadi saya hanya bisa memberi masukan-masukan sedikit saja”, aku mencoba kembali ke posisi netral.

“Tara masalah Pak Guru, justru itu kita orang negeri berterimakasih. Pak guru sudah kami anggap sebagai anggota masyarakat Tarak sehingga kalau ada apa-apa pak guru juga ikut bermusyawarah dengan kami", pak sekretaris kampung menggenapi pernyataan warga.

Kampung Tarak, Purnama Juli 2011.


Cerita Lainnya

Lihat Semua