Inikah Rasanya Kehilangan Papua?
Arif Lukman Hakim 20 April 2012Aku dan muridku.
Di bukit yang tenang, angin datang silih berganti
Di lautan yang dalam, ikan berenang ke tengah dan ke tepi
Pada air pantai yang pasang dan surut
Pada matahari yang berputar haluan timur dan barat
Pada semua yang hidup di bumi,
Semua ada saatnya datang, ada saatnya pergi.
Malam itu, aku kembali duduk di meja besar bersama bapak angkatku seperti biasanya, untuk menikmati secangkir kopi seduhan ibu. Kali ini aku bukan hanya menulis dan mencetak lembar kerja untuk siswa, tetapi juga berencana melihat hasil software partition manager yang memperbaiki ukuran hard disk agar data-data di dalamnya mudah dikelola.
Saat kulihat satu-persatu drive yang ada, yang muncul hanya 3, “eh… drive dari external harddisk kenapa tidak ada?”, batinku mulai curiga.
Habis sudah, file-file penting, foto-foto, video, dan segala isi external harddisk tidak muncul di monitor.
Hilang….
Pagi harinya, dengan menipu hati yang terasa kecut, aku melanjutkan tugas untuk mengajar di sekolah. Kulihat ibu guru telah kembali ke sekolah. Datang dengan kabar besar yang menggembirakan, namun menyedihkan.
“Pak guru, katong bagi kelas sudah. Saya kelas 1 dan 2, pak guru Kasim kelas 3 dan 4, pak guru Arif pegang kelas 5 dan 6”, begitu kata-kata ibu guru.
Kata-kata yang sontak membuatku riang, karena aku tidak akan memegang 3 rombongan belajar dalam 1 ruang kelas sekaligus. Sekarang hanya menjadi wali kelas 5 dan 6 saja karena ada Pak guru Kasim, guru tambahan sesuai nota tugas dari Dinas Pendidikan.
Namun, di sisi lain, aku juga harus merelakan bahwa kelas 4 sudah tidak akan bertatapan lagi denganku selama proses kegiatan belajar mengajar. “Anak-anak kelas 4, mau tidak mau kita harus berpisah sementara. Kalian bersama kelas 3 akan menjadi siswa bimbingan pak guru Kasim. Ingat, siapapun gurunya, tetap hormati, tetap ikuti petunjuknya, jangan malu bertanya dan mengangkat tangan kalau ada yang tidak tahu. Tetap semangat belajar ya!” kataku di depan kelas.
Kulihat raut wajah pasukanku kelas 4 ini bermacam-macam, namun hampir semuanya tampak loyo. Aku tak tahan melihat ini, maka langsung kupersilahkan pak guru Kasim untuk mengambil alih kelas 3 dan 4.
Peristiwa kecil ini membuatku galau. Galau di atas galau. Segalau-galaunya. Aku galau di atas sebuah pulau.
Petang telah menjelang. Seperti biasa, anak-anak mulai berlarian sambil mengenakan baju muslimnya.
Selesai sholat jamaah, seperti biasa aku mulai duduk di tengah-tengah 90-an anak ini. Aku mengajar tentang dasar-dasar agama. Materi hafalan surat-surat pendek, doa-doa sehari-hari, dan tentang rukun iman serta rukun islam.
Saat mengaji akan diakhiri, Sahid anak kelas 4 menjulurkan kepala seraya berkata, “Pak guru, Moksen tara (tidak) mau naik ke masjid. Dorang (dia) menangis dari siang”.
“Menangis? Siapa yang nakal sama Moksen?” tanyaku penasaran.
“Moksen tara mau pisah dengan pak guru. Dorang minta pak guru Arif saja yang mengajar kelas 4”, seru Rahim, kakak Moksen.
Degggg…
Serasa ada yang bergetar di dada ini.
“Sudah… sudah, semua guru itu sama. Sama-sama baik, dan sama-sama ingin membuat kalian bisa memahami pelajaran. Mungkin cara mengajar berbeda-beda. Tetapi maksud dan tujuannya sama. Bilang sama Moksen, biar sekarang pak guru bukan wali kelas, tetapi Moksen dan teman-teman lainnya tetap bisa bermain bersama pak guru to?”, kataku.
Dua hari aku mengajar kelas 5 dan 6, meskipun masih terasa perasaan kehilangan karena ketiadaan pasukan paling kecil di ruanganku, tapi harus tetap kujalani tugas ini.
Sampai semua dewan guru mengadakan rapat di rumah kepala kampung, akhirnya kenyataan bahwa kehilangan itu pahit kembali menimpaku. Malam rapat itu, kembali 1 rombongan pasukanku di ambil alih. Hadirnya Ibu guru Hamisa, guru honorer yang akan mengajar di SDN Tarak, membuatku kehilangan pasukan kelas 5.
Yah, memang pedih. 2 rombongan yang selama ini belajar, bermain, dan berpetualang bersama rombongan kelas 6, sekarang harus berjarak denganku. Tapi ini demi kebaikan mereka, semoga hadirnya 2 guru tambahan ini membuat mereka semakin fokus dan semangat untuk belajar.
Pagi ini kulihat kelasku sunyi. Hanya 12 anak yang duduk di depanku. Hari-hari yang kulalui tak lagi dipenuhi senyuman dan kicauan anak-anak nakal kelas 4 dan 5, tak ada lagi cahaya emas anak-anak Papua yang melambai di raut muka.
Sepi.
Namun bagiku kesepian adalah mantra untuk menghargai keberadaan. Kehilangan adalah kekuatan untuk memulai hidup yang lebih gemilang. Semua sudah diatur di garis waktu sesuai kehendak Tuhan. Akupun harus lebih semangat melihat semua pasukan kecil Papuaku di manapun mereka belajar.
15 Januari 2012
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda