Pasukan Anubis dan Gerobak Pintar

Khaerul Umur 17 April 2012

Pasukan Anubis dan Gerobak Pintar Siang yang cerah, anak-anak tiba-tiba mengerumuniku yang sedang mengisi borang pelaporan tugas PM (surprisingly, I do it, don’t I? *big big grin*). Mereka datang satu persatu. Konsentrasiku yang tidak bisa bertahan lama seketika buyar karena pertanyaan demi pertanyaan mereka . Oke, aku menyerah, you win kids!. Saya tutup jendela Ms. Word dan menyajikan mereka video rekaman dan foto-foto kelas VI yang minggu kemarin baru saja melaksanakan ujian praktek menari tarian daerah yang sangat saya kagumi. Saya ambil mini speaker agar suara tampol (kendang rote) lebih terasa. Rupanya suara kendang semakin menarik perhatian anak-anak lain. Penuhlah sudah ruang tamuku yang hanya berukuran 2,5x3 meter. Aroma tubuh mereka di siang hari yang terik pasca bermain aku nikmati saja. Namanya juga anak-anak, kalau nggak bau, nggak belajar. -__-“

 

Mereka tertawa bersahut-sahutan seiring tayangan video dan foto-foto yang tampil di layar laptop. Dan tentu saja komentar iseng tak lepas dari mulut mereka dengan bahasa daerah. Walaupun aku sudah 9 bulan lebih di sini, aku hanya dapat menangkap maksud celotehan mereka tanpa mengetaui arti setiap kata. Mereka menggoda temannya yang kebetulan tampil di layar. Dan “sang korban” hanya tersipu-sipu malu.

 

Setelah semua tayangan selesai, pandangan mereka mulai mencari sasaran lain. Mulailah mereka menjamah barang-barang yang ada di ruangan. Kalimat, “Ini apa pak? Itu apa pak? Ini untuk apa dan itu untuk apa?” membuatku seperti pemandu galeri barang-barang antik. Mereka menyentuh semua yang ada hanya untuk menjawab rasa penasaran mereka. Tumpukan buku dari Penyala menjadi sasaran akhir mereka. Dan setelah bosan, mereka kembali bermain di halaman depan rumah. Hanya beberapa anak saja yang hilir mudik keluar masuk rumah untuk mengganti buku yang mereka nikmati.

 

Hasratku untuk mengerjakan borang yang terlanjur mereka hancurkan membuatku bergabung dengan mereka (Alasan!). “Siapa yang mau foti?!” Aku berteriak. Foti adalah salah satu jenis tarian daerah untuk laki-laki yang dominan dengan hentakan kaki dengan ritme yang cepat. Muka mereka yang ingin tapi malu membawa mereka mendekatiku. Dan setelah aku memutar musik rekaman gong sebagai pengiring foti, mereka mulai beraksi. Aksi mereka semakin menjadi setelah aku membawa kamera. Aku hanya tersenyum-senyum melihat tingkah mereka. sementara masih ada anak yang mondar-mandir mengganti buku bacaan.

 

Saat mereka mulai bosan lagi, datang seorang anak membawa gerobak serba guna. Gerobak yang banyak dijumpai di sini bisa mengangkut kayu bakar, kelapa, gula air, air bersih, bahkan bisa anak-anak mainkan. Mainan grobak memang menyenangkan. Ada yang menjadi penarik atau pendorong, ada yang menjadi penumpang.

 

Otak saya mulai berputar lagi. Ada gerobak, anak-anak bosan siap melakukan apa saja, dan siang hari yang cerah masih panjang. Dalam hati saya bergumam, mungkin inilah saatnya. Saatnya gerobak pintar itu terwujud. “Anak-anak, bagaimana kalau kita angkut buku-buku itu di grobak dan kita berkeliling ke dusun-dusun!” Lagi-lagi mata mereka berbinar dan menyeringai seperti biasa saat mereka merasa tertarik. Padahal saya masih menangkap kebingungan di wajah mereka. Haha.. aku geli melihat mereka. Mereka mau saja melakukan apa yang aku usulkan. Untunglah ide liarku ketika bosan masih bisa ku tahan. Bagaimana kalau aku bosan dan berkata, “anak-anak, bagaimana kalau kita membumi hanguskan rumah-rumah kita?!” Dan mereka tetap berbinar dan menyeringai. Mengerikan! Mereka bagaikan pasukan anubis yang liar dan ganas yang siap diperintahkan olehku sang Imothep. Auum...

 

Tak berapa lama grobak pintar dengan pasukan anubis menguasai jalanan. Sasaran kami adalah tempat yang banyak dijumpai orang-orang yang duduk-duduk bersantai. Satu kilo meter lebih kami tempuh, namun belum juga kami temukan sasaran kami. Hanya beberapa anak saja yang kami jumpai di jalan dengan binar dan seringai yang sama dan langsung bergabung dengan pasukan anubis.

Gawat! Pasukan anubisku mulai bosan. “Anak-anak kita berteduh dolo sa di sini. Nanti pak Umur bacakan buku cerita. Siapa yang mau?!” Bisa ditebak ekspresi reaksi mereka o_o & :D. Kemudian sebagian mereka mengerumuniku dan sebagian yang lain bergerombol di bawah pohon lain. Mereka menyodorkan satu demi satu buku yang akan ku bacakan. Dan aku memilih judul Chicken’s School. Sebuah buku besar berbahasa Inggris yang di dominasi gambar.

 

Ditengah cerita yang sedang ku bacakan, secara mengejutkan beberapa anak berteriak-teriak seperti seorang penjual obat di pasar menawari pengguna jalan untuk membaca buku. Padahal sama sekali tidak terpikirkan olehku untuk meminta mereka melakukannya. Pasukan anubisku memang luar biasa. Satu demi satu mereka menawari pejalan kaki dan pengendara motor. Beberapa ada yang berlalu saja dan ada juga yang penasaran apa yang kami lakukan dan bertanya, “bajual ko? Apakah kalian berjualan?” Sebelum aku menjawab, pasukan anubisku mendahului, “sonde, baca sa di sini! Tidak, baca saja disini!”

 

Setelah bosan kembali menyerang, mereka kembali mendorong grobak. Aku tidak bisa lagi mengimbangi energi mereka. Biar aku menyusul saja mereka dari belakang. Kemudian dari jauh di dipn seorang anak berteriak, “pak Umur! Pak Umur! Ada yang minta buku di bawa ke rumah. Boleh ko?” Aku tersenyum dan mendekati bapak yang meminta buku itu. Buku sejenis yang tadi ku bacakan dengan judul yang berbeda. Tampak seorang bapak paruh baya dengan mulut yang penuh sirih pinang. Dia bertelanjang dada dengan kain tenun yang melilit pinggangnya dan terselip sebilah parang di pinggangnya. Saat dia tersenyum-senyum melihat gambar-gambar di buku itu, terlihat giginya yang berkerak merah kehitam-hitaman karena sirih pinang.

 

Saat dia melihatku dia berkata, “bisa di bawa ke rumah ko?” sambil memperlihatkan giginya.

“Baca di sini sa bapak. Coba bapak baca.” Ku goda dia.

“Eh, beta son tau.” Dia membalas.

“Bisa pak. itu baca biasa sa.”

Lama setelah aku beralih ke para pengunjung lain yang tertarik dengan gerobak kami, ku dengar bapak itu lirih membaca buku itu terbata-bata sambil tersenyum-senyum ragu. Aku tersenyum dan membatin, ternyata bapak itu lumayan juga membaca teks bahasa Inggris. Kami senang karena kami menemukan pelanggan gerobak piintar.

 

Setelah merasa cukup, kami pamit dan meminta kembali buku yang masih di baca. Kami bereskan kembali buku dan berjalan pulang. Dan tanpa ku sangka pasukan anubisku akirnya lelah. “Pak Umur, au soti so.”, sang penarik gerobak mengeluh capek. Akirnya dalam perjalanan pulang kami bergantian menarik gerobak.

 

Sesampainya di rumah, aku undur diri dari mereka yang mulai bermain lagi. Karena aku harus menyiapkan lunner (lunch dinner). Walaupun melelakan, tapi ini adala siang yang menyenangkan bersama pasukan anubisku. Mereka tidak pernah lelah dan selalu bersemangat dan mencari sesuatu untuk dikerjakan. Bahkan setelah aku selesai makan mereka kembali datang satu persatu dari pintu belakang dan kembali menjamah, kali ini bagian belakang rumah. Oh god! Kapan mereka lelah?


Cerita Lainnya

Lihat Semua