Demi Melunasi Janji Kemerdekaan di Papua

Arif Lukman Hakim 13 Januari 2012

 

Para pendiri republik ini adalah kaum terdidik. Mereka memiliki seluruh persyaratan hidup nyaman-sejahtera bagi dirinya dan keluarganya. Tapi, mereka memilih berjuang untuk kemerdekaan bangsanya.

Kami menyebutnya sebagai JANJI, bukan cita-cita. Janji kemerdekaan kita mencerdaskan dan menyejahterakan, JANJI itu harus dibayar lunas.

Kalimat yang disampaikan Pak Anies di atas seolah menjeratku, menikam perasaan, dan menggerakkan badan, untuk ikut sama-sama berjuang. Visi republik ini adalah konsep besar menuju bangsa yang benar-benar cerdas dan sejahtera. Dan aku merasa bahwa aku masih belum melakukan apa-apa, dan sangat menyesal jika seumur hidupku aku tak mengingat pesan pendiri republik ini.

Hidupku adalah pilihanku. Segala pilihan yang kuambil pasti mempunyai risikonya sendiri, dan siap kuhadapi. Aku telah memilih Indonesia Mengajar, maka aku harus siap dengan risiko apapun yang akan muncul di depanku. Hidupku adalah perjalananku. Dan ini yang akan aku telusuri, menikmati perjalanan hidup di pelosok negeri. Keputusanku sudah bulat. Aku akan melabuhkan diri sebagai pengajar muda di Yayasan Gerakan Indonesia Mengajar, apapun yang terjadi.

Seperti saat membaca pengumuman bahwa aku ditempatkan di SDN Tarak, Distrik Karas, Kabupaten Fakfak, daerah antah berantah yang tak pernah kutahu dan saat kucari tahu ternyata memang seolah belum pernah terjamah, suka tidak suka kenyataan itu harus kualami. Entah dengan pertimbangan apa yang aku sendiri juga tidak tahu, keputusan penempatan adalah keputusan yang tidak bisa diganggu gugat. Dan sudah menjadi tekad, di manapun aku ditempatkan di bumi nusantara ini, siap tidak siap, mau tidak mau, harus berangkat.

Kalimat lanjutan dari Pak Anies dan Indonesia Mengajar terus kuingat:

Setahun tinggal di rumah rakyat kecil di pulau mungil, di tengah hamparan laut, di tepian pantai, yang membujur sepanjang khatulistiwa. Pengajar muda mempunyai rumah baru dan saudara baru. Mereka merajut TENUN KEBANGSAAN kita.

Ini yang kurasakan sekarang. Jangkauan menuju pulau di mana aku ditempatkan cukup jauh dari pusat kabupaten dan sama sekali tak ada keramaian. Perkara tidak adanya sinyal, tanpa listrik, dan nihilnya sarana transportasi reguler, itulah yang kuhadapi saat pertama kali menginjakkan kaki di sini. Mau tidak mau, ketika aku ingin keluar dari kampungku, harus menyeberang. Daerah yang kutempati adalah daerah kepulauan, jadi menyeberang adalah hal yang harus kuterima tanpa bisa dinegosiasi. Posisiku terjepit, bagaimana akan mengakses informasi baik dari dan menuju tempatku jika begini? Terlebih posisiku sebagai koordinator pengajar muda Fakfak yang menuntutku untuk melakukan mobilitas yang tinggi, mengumpulkan aneka informasi, dan melakukan berbagai lobi dengan berbagai pihak yang ingin dihubungi.

Pulau Tarak dan secara umum Kepulauan Karas adalah daerah terisolasi. Pernyataan itu terungkap karena secara geografis sudah jauh dari pusat kabupaten, ditambah dengan tidak adanya sarana transportasi reguler. Namun, tekad yang dari awal kutanam tak pernah surut untuk memberi semangat. Aku selalu mencari celah agar selama masa penugasanku bisa lancar melakukan semua kegiatan. Setiap akan berangkat ke kota, satu minggu sebelumnya aku mulai berkeliling seisi kampung, barangkali ada perahu nelayan atau warga yang kebetulan akan menyeberang.

Alhamdulillah sampai saat ini warga tak pernah keberatan ketika aku menumpang. Bagiku, yang sampai saat ini belum tertangani adalah urusan cuaca. Kewaspadaan harus ditingkatkan saat menyeberang. Pertemuan Laut Seram dan Laut Arafura yang membentang dari Kepulauan Karas sampai dengan pusat Kabupaten Fakfak cukup menantang jika dilalui. Kewaspadaan semakin memuncak karena ditambah dengan cerita-cerita warga Fakfak yang isinya menceritakan ganasnya gelombang menuju Tarak atau Karas.

Hikayat ganasnya gelombang pernah kurasakan sendiri. Kejadian yang pertama kali kurasakan cukup membuatku terkesan, karena kualami saat pertama kali aku menyeberang. Aku datang pertengahan Juni, saat musim angin timur sedang berjalan. Perahu fiber yang kunaiki akan terangkat bagian depannya sampai 1 meter saat menerjang gelombang, kemudian saat kembali ke posisi semula akan terdengar bunyi “duuuk” karena alas perahu menyentuh laut lagi.

Kemudian saat akhir November 2011 lalu aku menyeberang juga kembali kurasakan bagaimana gelombang cukup memukul kencang. Saat itu aku bersama Kepala Kampung Tarak yang juga menjadi bapak angkatku berangkat menuju Pulau Tarak dari pusat Kabupaten Fakfak. Dari Pulau Tugu Seram sampai dengan Pulau Semai gelombang tak terlalu kuat, namun gelombang mulai menggulung laut saat perahu mulai keluar dari Kampung Urat. 13 orang dengan setumpuk barang-barang yang dibawa membuat perahu kurang lincah berkelok dari iringan ombak.

 

Berpacu melawan ombak

 

Dan terakhir, aku mengawali perjalanan di tahun 2012 ini bersama gelombang. Pukul 09.15 1 Januari 2012 aku mulai keluar dari Pulau Tarak bersama 3 orang warga dan Subkhi, seorang pengajar muda Fakfak yang kebetulan sedang berkunjung. Penyeberangan ini adalah perjalanan yang sebenarnya dilakukan 3 hari sebelumnya, tetapi selama 3 hari berurutan gelombang tak juga mau berteman, jadi hari inilah kita baru diijinkan melintasi lautan.

Longboat (perahu) langsung melaju kencang meskipun baru keluar dari pulau. Gelombang masih bisa dijinakkan bahkan sampai di titik yang biasanya paling tinggi gelombangnya.

“Di balik Tanjung Kirana ini akan terlihat Pulau Semai, Kampung Urat ada di bagian depannya, di situlah teman kita Wulan berada.”, kataku kepada Subkhi sambil tetap mengawasi gelombang.

Tanjung Kirana sudah kita lintasi. Inilah lautan bebas yang di kanan kirinya tak ada daratan. Kulihat awan hitam sudah mulai bergerak menuju ke tengah lautan. Ombak semakin berpacu, dan hujan tiba-tiba menimpaku.

“Rileks saja, jangan bergerak ke kanan atau ke kiri. Nikmati saja ke mana gelombang menggerakkan perahu ini”, aku mencoba meyakinkan Subkhi.

Angin semakin bertiup kencang. Tanpa kompromi kami basah terguyur hujan. Ombak terus memukul perahu kami yang semakin terguncang. Dan di depan, sudah tak terlihat Pulau Semai karena jarak pandang tertutup kepungan badai.

Suasana langit dan laut saat kami menyeberang kali ini

 

Menyingkirkan air hujan dan air laut dari perahu

 

“Ommm….. masuk di Urat!”, kataku kepada Om Husen di belakang yang menjadi motorist perahu sambil memberi tanda menggunakan tangan. Pelan-pelan Pulau Semai kembali terlihat. Kami segera merapat dan bersyukur karena masih selamat.

Menikmati hidup dengan menghadapi tantangan, berpacu dengan gelombang, dan menyelamatkan diri dari badai, di atas lautan, menjadi tema besar hidupku yang sekarang.

Segala risiko harus siap diterima sesuai dengan pilihan hidupku. Tetapi semangat untuk melunasi JANJI kemerdekaan kembali berkobar. Leluhur bangsa ini sudah mengorbankan apapun sampai nyawanya saja dikorbankan untuk membuat Republik ini merdeka, maka tak pantas jika aku yang hanya melawan gelombang harus putus asa.

Biarkan gelombang kurasakan seperti ayunan, dan angin kunikmati laksana melodi, apapun yang terjadi akan tetap kulanjutkan misi ini, demi melunasi Janji kemerdekaan ibu pertiwi.

______________________________

1 Januari 2012. Sambil melihat foto dan video Subkhi, setetalah selamat dari tikaman angin musim barat.


Cerita Lainnya

Lihat Semua