Kita Berjuang Sama-sama ya, Nak

Matilda Narulita 5 Januari 2012

Ibu, anak-anak sekolah di sini bodoh!” kata orang-orang di desa. Banyak orang, bukan satu dua.

Bodoh?

“Betul ini, Ibu. Katong seng parlente.”

Kami tidak bohong, katanya.

Dong seng tau baca tulis. Paling buta huruf itu..”*

--------------------------------------------------------------------------------------------

“Selamat malam, Ibu! Katong mau belajar!”

Aku sedang membakar pelita ketika terdengar ketukan pintu, disertai seruan penuh semangat. Bau wangi sabun mandi menyeruak ketika serombongan anak kelas 6 muncul di depan pintu dengan senyum yang sungguh manis. Mereka mulai rajin mandi, pikirku sambil tersenyum. Malam itu, pelita dan senter yang baterenya soak jadi satu-satunya sumber cahaya, menemani kami bermain angka.

Every child is special. Pun anak-anakku. Mengajar mereka tak pernah membosankan. Setiap anak punya kemampuan yang berbeda, punya tantangan  yang berbeda pula. Bobi dan Piden, anak dengan kecerdasan logika, sudah melampaui teman-teman sekelasnya. KPK dan FPB sudah dikuasainya hanya dalam waktu beberapa jam. Anak-anak berbahasa angka :)

Lini, yang sangat menyukai sains dan membenci matematika, beberapa kali tersendat di perkalian 2 angka. Tidak teliti, juga tidak hafal perkalian di atas 5 menjadi penyebabnya. Sainta, si cerdas bahasa, yang kemampuannya bercerita sungguh membuatku terpesona, lagi-lagi melakukan kesalahan di pembagian bersusun. Tapi keduanya tak pernah lelah berusaha menaklukkan monster angka yang menantang kemampuan logika mereka. Tanda betul yang kutulis besar-besar di bukunya setiap kali mereka –akhirnya- menjawab dengan betul selalu memunculkan ekspresi puas, lega.

Juga bahagia.

Dan saat ini, di hadapanku ada seorang anak yang mengerutkan kening. Mulutnya komat-kamit mengucapkan perkalian 1 sampai 5. Tak lancar. Hafalan perkalian yang tersendat di 3x4, membuatnya memukul kepalanya sendiri dan berkata “Akh, bodoh! Begini saja seng hafal!”.

“Bilang apa tadi?” tanyaku. Senyum langsung lenyap dari bibirku. Cemo, si cerdas gambar, yang menemukan dunianya dalam tarikan garis warna-warni, selalu tak percaya diri ketika menghadapi angka. Selalu takut menghitung.

“Ah iya, Ibu. Ibu bilang seng boleh bilang bodoh to?”  ujarnya sambil meringis. “Ayo, otak pintar, otak pintar. Pasti bisa.”

Ah.. Aku jadi tak bisa menahan senyum saat ia mengatakannya sambil mengelus-elus kepala yang tadi dipukulnya. Ia sedang mencoba mengingat perkalian 4 dan menghitung dengan plastisin ketika sebuah buku tulis yang terbuka tiba-tiba disorongkan ke hadapanku.

“Ibu, kasih soal kurang-kurangan par beta.”

Seorang anak yang meminta soal pengurangan membuat perhatianku teralih dari kesibukanku mengawasi Cemo. Isak, si anak yang selalu dianggap bodoh karena selalu gagal menulis kata dengan huruf yang lengkap, rupanya mengawasiku dari tadi. Aku sengaja tidak meminta buku mereka untuk ditulisi soal.

Malam ini, yang mau belajar, silakan datang dan meminta soal padaku. Begitu prinsipku kali ini. Sedikit menguji diri sendiri, apakah anak-anak itu lebih memilih bermain, atau justru belajar.

Isak adalah anak pertama yang menghampiriku ketika aku sibuk dengan Cemo dan hafalan perkaliannya. Juga Bobi dan Piden dengan pohon faktornya.

“Kasih yang banyak e, Ibu!” ujarnya sambil tersenyum lebar, menampakkan barisan giginya yang rapi.

Kutulis 5 soal pengurangan di buku lesnya yang sudah menipis. Berusaha menambahkan level kesulitan di setiap soal.

“Ibu, lagiii.. Kasih soal yang banyak, Ibuuu..” Ujarnya merajuk, sambil memanyunkan bibirnya. Aku tergelak. As you wish, kid. Kutambahkan 5 soal lagi untuk menggenapi 5 soal sebelumnya.

“YESSSS!!!!” teriaknya kuat-kuat tepat di telingaku, sambil berlari ke pojokan ruangan untuk mengerjakan soal. Suara lantang khas orang Maluku langsung membuat telingaku berdenging (^_^”)

Belum 5 detik sejak Isak berlari, satu dua anak mendatangiku dan meminta soal. Mereka yang awalnya hanya duduk-duduk saja mengaku iri melihat teman lainnya bersemangat mengerjakan soal Matematika. Dan tiba-tiba semua anak ikut mengerubungiku sambil menyorongkan bukunya. Aku kelabakan membuka buku les tiap anak, memeriksa kemajuan mereka dan memberikan soal yang setingkat lebih sulit dari yang sebelumnya. Perkalian, pembagian, soal cerita, bahkan ada juga yang masih perlu banyak latihan di soal penjumlahan. Setiap kali mendapat soal (yang diikuti ucapan kecewa jika mendapat 5 soal dan teriakan bahagia ketika mendapat 10 soal), mereka langsung mengambil tempat di dekat pelita, lalu duduk menungging sambil mengerjakan soal.

Belajar beralaskan tikar tanpa meja memang tak nyaman ya, Nak.. :(

Ketika selesai, mereka langsung menghambur ke tempatku duduk, menyerahkan hasil pekerjaannya sambil berkata dengan bangga “Ibu, bet seng mancontek. Ini bet kerjakan sendiri, Ibu!”.

Hebat, kataku sambil mengelus kepalanya.

Aku selalu merasa geli ketika mereka bertingkah seperti orang kena serangan jantung saat aku memeriksa jawaban mereka. Katong deg-degan sekali, katanya. Atau ketika mereka malah mondar-mandir gelisah dan tidak bisa duduk tenang karena tidak sabar ingin melihat hasil pekerjaan mereka. Dan ketika yang kutulis adalah tanda silang, tanda jawaban mereka salah, mereka pun terdiam. Nampak sangat kecewa.

“Salah itu seng apa-apa. Coba hitung bae-bae dulu e.” ucapku sambil menepuk pundak mereka dan menjelaskan kesalahannya.

Dan tiba-tiba buku di tanganku direbut.

“Ibuuuu.. bet su tau jawabannyaaa! Bet kerjakan cepat-cepat dulu e!” katanya.

Setengah berlari ia kembali ke tempat duduknya. Tanpa disangka, dia meneriakkan yel yang kuajarkan. Yel yang harus diteriakkan anak-anak kelas 6 setiap pagi sebelum memulai pelajaran. Yel yang harus diteriakkan dengan lantang sambil mengepalkan tangan ke atas.

“Saya bisa! Saya bisa! SAYA PASTI BISA!”

Aku tercengang.

Lebih tercengang lagi ketika anak-anak yang masih mengerjakan soal ikut meneriakkan yel itu. Sambil mengepalkan tangan. Sambil tersenyum penuh semangat. Sambil memandangku penuh keyakinan tinggi bahwa mereka akan bisa mengerjakan soal matematika yang dulu mereka takuti.

Hatiku meleleh.

Aku jadi teringat ketika bertanya kepada sekumpulan anak yang sedang belajar di rumahku.

“Pernah ada yang bilang kalian bodoh?”

“Pernah, Ibu!”

“Siapa saja yang pernah dibilang bodoh?”

“Katong samua, Ibu!”

“Menurut kalian, kalian bodoh tidak?”

Mereka terdiam. Dan menundukkan kepala.

“Bodoh, Ibu.” Ucapnya lirih.

“Dengar,” kataku sedikit berbisik, “Kalau Ibu yang baru sekian bulan datang kesini saja tau kalian tidak bodoh, berarti kalian memang tidak bodoh. Kalian itu pintar!”

Mereka mengangkat kepala dan menatapku.

“Percaya sama Ibu.” ujarku sambil tersenyum.

Mereka tidak bodoh.

Mereka bisa menguasai konsep perkalian dan mengerjakan soal perkalian hanya dalam beberapa hari, padahal awalnya penjumlahan saja tidak bisa.

Mereka bisa menguasai KPK dan FPB dalam waktu beberapa jam saja.

Mereka bisa mengerjakan soal cerita dengan tepat padahal sebelumnya mengerti kalimat saja tidak.

Mereka pintar.

Tapi, aku tidak bisa tidak pesimis. Ujian Nasional tinggal beberapa bulan lagi, dan anak-anakku, dengan kemampuannya sekarang, mungkin hanya bisa mengerjakan beberapa soal saja. Sisanya? Ah.. Entahlah.

“Ibu su lihat soal Ujian Nasional Matematika tahun lalu, Bobi. Ada 40 soal. Tapi.. Doh!” ujarku sambil menepuk jidat, sedikit bercanda dengan Bobi. “Ibu pu anak-anak ini mangkali cuma bisa kerjakan 2 nomor saja. Kalau Bobi deng Piden mungkin 3 soal. Bahaya ini, bahaya.”

“Hihihi.. Seng, Ibu.” balas Bobi sambil terkekeh melihat tingkahku, “Pasti katong bisa kerjakan soal deng bae. Saya bisa, saya bisa, saya pasti bisa, Ibu! Katong samua pasti lulus! Ibu seng usah takut!”

Dan lagi-lagi, aku tercengang.

Bagaimana mungkin aku pesimis, ketika anak-anakku selalu yakin bahwa mereka bisa?

Bagaimana mungkin aku merasa kalah, ketika anak-anakku selalu yakin bahwa di akhir nanti, mereka akan memenangkan pertandingan ini?

Bagaimana mungkin aku menyerah, ketika anak-anakku terus berlari demi mengejar mimpi?

Ah, kali ini, aku harus banyak belajar dari mereka.

Aku menatap kalender akademis yang tertempel miring di dinding rumahku. Mataku menjelajahi kalender itu, dan menemukan hari yang ditandai khusus dengan stabilo kuning.

Ujian Nasional.

Mei 2012.

Masih bisa. Masih ada waktu.

Kita berjuang sama-sama ya, Nak.. :)

Note :

* Mereka tidak bisa baca tulis. Paling bodoh pokoknya..

(disini, idiom buta huruf dikaitkan dengan orang yang bodoh sekali)

** seng = tidak


Cerita Lainnya

Lihat Semua