Belanda Su Dekat, Jendral!
Arif Lukman Hakim 3 Oktober 2011Pertengahan Agustus 2011, dari radio legendaris bapak angkatku terdengar suara presiden yang membacakan pidatonya dalam rangka memperingati hari kemerdekaan RI. Memang agak berbeda dengan pidato presiden pertama yang lantang menentang Belanda. Tetapi dari berbaris-baris kata yang dibacakan kali ini, aku tertarik dengan satu isu besar, yaitu sorotan investasi dari pemerintah pusat di Papua Barat. Ini dia yang membuat tanganku menggerakkan volume radio semakin tinggi suaranya.
Ah, Papua, memang pulau besar ini penuh kekayaan. Dan memang sudah saatnya pemerintah pusat meningkatkan perhatian. Nada yang terdengar dari pidato kepala negara memang bukan suara sumbang belaka. Mulai beberapa tahun ini Papua memang telah dimasuki beberapa perusahaan besar bahkan internasional, bahkan menjamah ke daerah kepulauanku. Tinggal tunggu waktu, sebuah perusahaan tambang raksasa akan mengibarkan benderanya di kawasan Kampung Tarak tercinta. Dan yang paling membuatku terkejut, adalah kenyataan bahwa beberapa ekspatriat berkulit putih dari perusahaan juga pernah menyambangi rumah kepala desa, yang juga rumahku, membahas proses persiapan produksi perusahaannya. Ada bule di kampungku! Orang mancanegara yang siap mengelola kekayaan sepotong daratan dan lautan di Papua.
Lalu bagaimana dampak kedatangan para saudagar kelas kakap tersebut terhadap masyarakat di Papua? Apakah analisis para pemangku kebijakan akan menjadi kisah manis dengan hasil peningkatan kesejahteraan bagi warga?
Peningkatan kesejahteraan dalam bidang ekonomi, sosial, dan pendidikan bagi masyarakat, adalah dambaan setiap umat. Dengan pidato presiden tadi, mungkin inilah saatnya bagiku untuk menyiapkan momen. Inilah peluang besar bagi masyarakat Papua secara umum, dan kampungku yang tak terdeteksi di peta untuk bergerak laju merengkuh jarak menuju kata idaman, sejahtera.
Karena hidup satu rumah dengan “nahkoda kampung”, aku sering dilibatkan dalam berbagai hal yang terjadi di masyarakat. Hal ini juga memang ditekankan sebagai salah satu tugas pengajar muda untuk melaksanakan program pembelajaran masyarakat. Berkali-kali aku ikut rapat, memberi masukan, disuruh memimpin doa, dan membuat dokumentasi kegiatan warga.
Tetapi kali ini rapat yang kuikuti berbeda. Rapat kali ini kata Bapak Desa terasa lebih semangat. Obrolan yang memicu warga penuh harapan saat berbicara perihal kemajuan adalah tentang akses komunikasi dan transportasi. Dua faktor ini dianggap sebuah kunci bermata dua yang akan membuka gerbang menuju jalan terang menuju kesiapan investasi besar-besaran di ujung timur republik ini.
“Pak guru, kitong minta tolong urusan satu itu. Pak guru bantu banyak orang, bukan hanya untuk satu kampung ini, tapi kepulauan ini, bahkan sebagian masyarakat sekabupaten ini”, kata Pak Syarif saat mengungkapkan argumennya tentang kebutuhan sinyal.
Kawan, di kepulauan tempatku mengabdi, yang sepenuhnya masuk wilayah Distrik Karas, adalah distrik terluas di Kabupaten Fakfak. Luasnya sekitar 17 % dari luas total Kota Pala ini. Kepulauan ini memang agak jauh dari jangkauan kota, tetapi wilayahnya sangat menjanjikan. Dulu sebelum Kaimana dimekarkan, terkenal istilah 3K bersaudara; Kaimana, Kokas, dan Karas. Sekarang Kaimana sudah beda wilayah, dan Kokas sebentar lagi akan menjadi kabupaten baru. Lalu Karas mau jadi apa? Tinggal lakukan kesepakatan saja apa yang anda mau. Pusat perikanan kah? Dari ikan teri sampai ikan paus ada di sini, kepulauan inilah tempat berkumpulnya ikan. Mau jadi pusat pertanian? Silahkan buka lahan, masih ada berhektar-hektar tanah yang siap olah belum pernah terjamah. Mau jadi area pertambangan? Ayo lakukan penelitian, semoga anda tidak heran dengan kandungan minyak dan berbagai benda tambang ada di bawah kami. Mau jadi daerah tujuan wisata? Silahkan kelola limpahan karunia Tuhan yang seolah membocorkan surga di sini berupa pantai pasir putih, aneka coral bawah laut, maupun alam yang murni alami, ada di sini.
Jika dilihat dari sisi lain, Karas adalah titik temu antara Fakfak Timur dan Bomberay, distrik terluas kedua. Jalan tembus Bomberay-Karas sedang digarap dari menara 2 sampai Nusalasi, bagian dari kampungku. Dan kalau jalan ini sudah tertata baik, maka arus mobilisasi massa dan komoditas akan berlipat, kemudian kebutuhan barang dan jasa akan semakin mudah didapat, dan mungkin proses perbaikan kesejahteraan ekonomi akan meningkat.
Masalah komunikasi dan transportasi, adalah dua determinan yang dianggap menjadi kalimat pembuka sebelum memulai acara inti berupa suntikan investasi dari dalam maupun luar negeri.
Akan terasa aneh, jika sebentar lagi akan semakin banyak kaum kulit putih di Papua tetapi kami masih membahas susahnya membeli BBM untuk longboat, karena tidak ada angkutan reguler di laut. Mungkin dalam tempo singkat akan masuk para ekspatriat dari negeri sakura, cina, bahkan tak menutup kemungkinan keturunan sesepuh dari Belanda yang dulu datang mau merebut Irian akan menginjakkan sepatunya di kampungku.
Ah, ini momentum. Jangan sampai penjajahan di atas muka bumi belum dihapuskan, ibarat perang kemerdekaan, Belanda sudah dekat! Apakah kita akan membiarkan warga tetap mengangkat parang di kebunnya untuk memenuhi kebutuhan hidup sedangkan mereka sudah mendaratkan helikopter? Apakah warga pulauku akan tetap mendayung di depan percikan ombak speedboat? Apakah kami masih tetap akan menyeberang hampir 4 jam untuk mengangkat gagang telpon di dekat Pulau Tugu Seram?
Semoga para petinggi sudah memperhitungkan ini sebelum mengutarakan keterangannya. Apa jadinya jika perang tanpa keahlian? Setor nyawa? Apa jadinya investasi besar-besaran, kalau masyarakat belum dipersiapkan. Mau dijadikan penonton yang letih bertepuk tangan?
Semoga belanda datang membawa kemajuan. Semoga investasi juga membantu masyarakatku dalam hal transportasi dan komunikasi.
September 2011. Menatap speed yang melaju sambil bermain dayung bersama anak-anak Papua. Berkhayal semoga anak-anak ini bisa ikut naik speed sambil menelponku saat sudah di Jawa.
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda