Muridku Ternyata Artis!

Arif Lukman Hakim 14 Oktober 2011

Perjalanan menuju pulauku kulakukan lagi mengunakan longboat, alat transportasi termewah bagi warga Kepulauan Karas. Aktifitas koordinasi dan advokasi yang diagendakan sebulan sekali telah selesai dilakukan di pusat kota Fakfak. Seperti biasa, di atas longboat badanku bukan hanya basah, tetapi hampir sama mencebur air laut. Tetapi bagiku ini belum seberapa, dibanding perjuangan masyarakat yang bertahun-tahun belum menikmati angkutan laut secara reguler di kampungku.

Sea-trip kali ini agak berbeda. Kami singgah di pulau kecil di separuh jarak yang harus ditempuh. Pulau ini, mungkin tak berpenduduk. Halaman pulaunya adalah pasir putih, seputih tepung. Kemudian langsung memasuki hutan yang menyelimuti punggung bukitnya seperti kontur alam Papua pada umumnya. Setelah beristirahat sejenak, akhirnya kami melanjutkan perjalanan, ditemani angin, rintik gerimis, ombak, dan ikan-ikan yang merasa bosan di air sehingga muncul ke udara. 

Setelah hampir 4 jam menikmati surga laut Fakfak belahan timur, akhirnya perjalanan sampai juga di rumahku, Kampung Tarak. Saat kusibak pintu, ternyata bapak dan ibu angkatku tidak ada, rumahku sunyi. Aku langsung menanyai murid-muridku yang kebetulan ada di depan rumah. “Anak-anak, kalian tahu di mana Bapak desa?”. “Tara tahu pak guru”, sahut mereka. “Lalu kalian mau ke mana berkumpul di depan rumah begini?”, aku curiga dengan tingkah mereka. “Kitong mau molo pak guru, tembak ikan di laut pakai besi ini”, kata Ruslan Patur, salah satu murid kelas 6.

“Pak guru ikut sudah, tunggu sebentar, pak guru ganti baju dulu”, akhirnya kuputuskan untuk bermain dengan jagoan-jagoanku.  

Kegiatan yang akan kutulis ini sepenuhnya tanpa rencana, tidak ada skenario apalagi arahan sutradara. Jadi adegan berikut bukanlah rekayasa, atau tipuan kamera belaka.

Rombonganku sore itu dibagi ke dua sampan kecil, aku menemani Dedi, kemudian Ruslan bersama Arman di atas sampan kedua. Setelah melewati tanjung—pantai yang menjadi batas halaman depan sekolahku dengan laut—kami mulai memasuki area “belakang pulau”, di sinilah rahasia mulai nampak. Di bawahku terlukis alami batu-batu laut, alias karang. Karang-karang ini terlihat sangat jelas di atas kejernihan air laut yang hanya terganggu oleh riak kecil karena kedatangan sampan kami. “Dedi, kitong pelan-pelan saja e, pak guru mau lihat karang-karang di bawah itu”, aku merayu Dedi, adik angkatku. “Semakin ke sana akan semakin bagus karang-karangnya pak guru”, Dedi menimpali ketakjubanku.

Inilah laboratorium sekolahku. Tempat prakteknya murid-muridku, bercanda dan bermain dengan alam mereka. Karang dan ikan hias tampak di mukaku tanpa sela. Indah betul! Tak perlu kata-kata konotasi lagi.

Sesaat setelah Ruslan dan Arman dengan sigap menceburkan diri ke bawah air laut., dari kejauhan di sisi pantai kulihat ada anak-anak yang berdiri di tepian sana. Ternyata Sabar dan adiknya, Andi, Buyung, dan Fahmi menyusul rombongan kami.

Its show time! Mereka menyelam, mengarahkan potongan besi seukuran lidi, kemudian ziiiing, besi meluncur cepat menuju ikan-ikan yang sedang berenang di bawah aneka karang di dasar laut. Ya, seperti yang sering kita lihat di acara petualangan anak-anak itu. Ini ajaib, aku mengalaminya! Tanpa seperangkat kamera dan macam-macam skenario di balik layar kaca. Merekalah jenis anak yang selama ini kulihat setiap siang di televisi. Tetapi mungkin agak berbeda kali ini, karena anak-anak ini artis alami, tanpa crew dan sepenuhnya tanpa instruksi.

“Pak Guru, beta dapat ikan!”, suara Ruslan menyeruak di atas permukaan air laut. Manfish (salah satu jenis ikan hias), maaf...kamu tertembak muridku. Satu persatu kawanan murid petualangku ini mulai muncul kemudian kembali menyelam lagi. Sampai akhirnya terkumpul 15 ekor ikan yang tertusuk besi anak-anak.

Kami akhirnya menepi. Kemudian sambil menyalakan api di atas sebuah batu besar, anak-anak membagi tugas, ada yang mencari pisang, kelapa, dan membersihkan ikan.

Anak-anakku, mereka sangat alami. Mereka benar-benar menyatu dengan alam di potongan pulau di Papua ini. Sore itu, seluruh jiwa raga kami benar-benar disatukan dengan alam, berenang dan menyelam di atas karang-karang, makan ikan bakar, pisang bakar, minum air kelapa, dan cuci mulut dengan buah kelapa, di pinggir pantai.

Sunset terlihat mulai tenggelam tepat di atas laut, saatnya kita pulang dengan perut kenyang dan hati senang.

______________

Awal September, bersama murid-murid petualang dari SDN Tarak, Distrik Karas, Fakfak, Papua Barat.

foto-foto ceria mereka ada di sini.


Cerita Lainnya

Lihat Semua