info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

2 bulan mengajar 5 huruf!

Arif Lukman Hakim 7 Oktober 2011

“Kalian ingat PR sebelum lebaran yang pak guru berikan?”, aku mulai membuka pelajaran hari sabtu ini.  “Selain 25 PR Matematika, IPA, IPS, dan cerita tentang lebaran, ada satu lagi PR yang harus kalian kumpulkan, apa itu?”.

“Mimpiiii”. Ah..mereka ingat, itu dia PR besar selama lebaran bagi mereka, dan PR besarku selama setahun mengajar di SDN Tarak ini.

“Coba sekarang pak guru bagikan kertas kecil ini, kalian tulis di atas kertas itu apa mimpi kalian, kemudian satu persatu maju untuk menceritakan mimpinya. Dan terakhir, kalian tempel mimpi kalian di kertas besar yang akan pak guru sediakan.”

Asik, mereka antusias. Satu persatu mulai berebut 12 buah spidol warna yang kubawa. Ya, mereka mulai mengayunkan pena, spidol, ataupun pensil di atas kertas kecil yang kubagikan.

“Sudah selesai? Ayo kumpulkan. Pak guru mau acak siapa yang akan mendapat giliran pertama membacakan mimpinya”, ternyata mereka mulai deg-degan.

“Ramli Sudak! Ayo maju! Kita beri tepuk tangan dulu....”, aku memancing keberanian mereka satu persatu.

“Nama saya Ramli Sudak, mimpi saya adalah punya uang banyak, rumah saya tingkat, ke luar negeri, cita-cita saya menjadi guru dan menjadi bos di kantor”, itu dia kata-kata Ramli, saudara angkatku di Papua.

Aku masih ingat, dulu cita-citanya memang ingin menjadi guru. Hanya “guru”, tak ada tambahan macam-macam seperti sekarang ini.

“Selanjutnya, Kartini! Kita beri tepuk tangan lagi....”

 

“Nama saya Kartini, cita-cita saya menjadi dokter. Mimpi saya adalah ingin pergi ke Amerika dan saya ingin menjadi dokter di sana untuk merawat mereka yang sedang sakit”, begitu kata anak yang lahir tepat tanggal 17 Agustus ini.

 

Ada yang aneh. Dulu, pertama kali aku memasuki ruang kelas ini di pertengahan Juli 2011, aku berkenalan dengan mereka dengan cara yang sederhana; mereka menyebutkan nama kemudian cita-cita. Saat itu beberapa anak punya cita-cita menjadi tentara, suster, dokter, guru, hanya itu-itu saja, bahkan beberapa di antaranya tidak tahu apa itu cita-cita.

Namun, keadaan itu di minggu kedua September ini telah berubah menjadi hal yang benar-benar di luar dugaan. Hampir setengah lebih anak-anak dari kepulauan Karas ini berani menulis dan mengucapkan mimpinya yang lebih tinggi dari bukit yang ada di pulau ini, lebih jauh dari Laut Seram yang memisahkan pulau mereka dengan pulau besar bernama Papua.

Kalau dulu Ridwan Amarei hanya berkata “Cita-cita saya ingin menjadi guru”, sekarang yang dia ucapkan adalah “Mimpi saya adalah menjadi guru di Amerika”.

Kemudian sesuai kesepakatan, mimpi yang mereka tulis ditempelkan di kertas besar yang kusediakan. Aku berpikir, kertas ini tidak boleh berbentuk potongan kertas biasa, harus yang dekat dengan dunia mereka. Maka, kuputuskan secara reflek, aku potong kertas ini menyerupai bentuk perahu. “Ini bentuk apa?”, aku bertanya ke mereka. “Perahuuu!”, mereka menjawab lantang. “Nah, berhubung kertas berbentuk perahu ini akan tertempel mimpi-mimpi kalian, maka kita sebut ‘perahu mimpi’. Setuju?”, aku mengajukan pendapat kepada pasukan kecilku. “Setujuuuu!!!”.

Satu persatu mulai maju dan menempelkan kertas impiannya di atas perahu mimpi.

Ya, Mereka telah bergerak, menyusun potongan huruf selama dua bulan dan merangkainya menjadi sebuah kata ajaib, mimpi.

Wahai daratan, lautan, dan dunia! Dengan bangga aku persembahkan apa yang menjadi ketakjubanku hari ini, mereka telah punya kata baru, MIMPI! Mereka telah punya hal baru di sekolah, perahu mimpi! Mereka telah bersiap mengarungi samudera jagad raya dengan perahu ini untuk memperjuangkan mimpi mereka!

_________________________

10 september 2011. Tepat 2 bulan menjadi 1 dari 2 guru di SDN Tarak, Distrik Karas, Fakfak, Papua Barat.

Foto-foto tentang mimpi mereka ada di sini.


Cerita Lainnya

Lihat Semua