Lapangan futsal standar “FIFA”

Mochammad Subkhi Hestiawan 9 Oktober 2011

               Tebasan golok menghujam penuh hasrat, brukk!  kayu kasuarian lurus ambruk menghujam tanah. Hoi, angkat kayunya, begitu Yayan muridku berteriak kepada temannya yang sedang asyik memetik buah kopi diujung lain kebun itu. Lalu Ari yang bertubuh kecil anak kelas 4 menyeret kayu itu dengan payah.

                Aku dan anak-anak muridku sedang mencari kayu di hutan belakang dekat tanggul 500 meter jauhnya dari sekolah menyusuri jalan-jalan setapak berlumpur. Kaki kecil itu melangkah pasti diantara pematang-pematang berlumpur sedikit meninggalkanku dibelakang. Pak guru cepat, kitong su dapat kayu banyak, su bisa balik ke sekolah tho ! begitu kata Ismun yang tidak sabar dengan apa yang akan kita buat dari kayu-kayu ini.

                Terik pagi yang sehat menambah semangat kami memikul kayu-kayu itu kembali ke sekolah kami. Mereka duduk sejenak di teras sekolah menghilangkan sedikit penat, lalu aku mengeluarkan setumpuk kertas, sebuah kumpulan artikel yang aku download dari internet pekan lalu waktu di kota. Dengan wajah berbinar Ramadhan langsung menyambar tumpukan kertas itu dan dengan terbata membacanya agak keras, “peraturan Futsal “Fifa” 2010” begitu judulnya. Lalu anak lain yang semula bermalasan bersungut senang dan berebutan melihatnya.

                Anak- anak ini memang gila bola, mereka bisa bermain bola seharian tanpa merasa capek. Tetapi keterbatasan sekolah kami membuat mereka tak dapat merasakan lapangan megah nan indah layaknya di GOR ternama, atau futsal center. Tumpukan sepatu dan sendal sudahlah cukup oleh mereka “gawang”.  Tanah papua ini memang tak bisa lepas dari si kulit bundar ini. melihat anak-anak ini bermain seperti sebuah miniatur permainan kelas dunia di Televisi. Liukan, tendangan, tandukan dan operan dari kaki kecil ini mengalir terorganisir meskipun mereka tidak pernah latihan sungguhan. Dalam benakku seandainya ada lapangan futsal standar disini pastilah bakat mereka sedikit tersalurkan. Tak ada rotan akar pun begitu kata pepatah,  akhirnya aku mendorong mereka untuk membuat gawang dan lapangan dari kayu seadanya tetapi dengan standar ukuran Internasional.

                Pak guru ukur sudah kayunya nanti kitong potong-potong, begitu kata Abdul dengan nada tinggi yang lembut. Ko saja yang ukur tho, lihat ukurannya di buku pak guru, begitu kataku. Dengan sigap berlari kekantor mengambil penggaris kayu usang. 2 meter tingginya pak guru, 3 meter panjangnya pak guru, begitu katanya sambil melihat ujung penggaris yang sudah pudar angkanya itu. Tebasan sadis parang menghujam kembali di ujung kayu sesuai dengan tanda ukuran mereka mulai memotong dan bekerja.

Abun di ujung lain lapangan mulai komat kamit dengan kertas mengukur panjang dan lebar lapangan serta menentukan dimana letak gawang sesuai gambar di buku itu. Dia mulai menandainya dengan patok patok dan sedikit galian ditanah lembek. mereka semua menggambar garis-garis lapangan, menentukan dimana titik tengah lapangan, dimana ruang penalti dan batas-batas luar semuanya di tentukan berdasarkan ukuran standar fifa.

                Dari kejauhan di keteduhan pohon akasia aku memandang wajah mereka yang bersungut-sungut campuran penasaran dan gembira. Mendengarkan teriakan mereka memberi aba-aba kepada sesamanya dan di ujung lapangan lain anak kecil kerempeng hitam Lehem namanya sesekali mengintip denah kusut  ditangannya lagaknya seperti seorang site manager dia memperhatikan setiap detail lapangan dan memberitahukan kekurangannya kepada yang lain.

Setelah beberapa saat, agak terkantuk-kantuk aku di kejutkan oleh teriakan cempreng menggema Ari kecil, pak guru lapangan su siap, kita su bisa main bola kah ? tanyanya. Panggil yang lain kesini kataku lalu, dengan sigap mereka telah bergerombol mengelilingi masih dengan wajah yang sama. Lalu aku memberikan sedikit pengarahan peraturan ala fifa mengenai futsal, dengan cepat mereka mengangguk entah mengerti atau mengganguk saja biar cepat mereka dapat bermain. Ismun segera membagi gerombolan menjadi dua tim, ada ari, ramadhan, abun, riyan dan gusdur disatu sisi dan dia sendiri, miftah, yayan, rizal, dan abdul disisi yang lain. Lalu anak yang tidak kebagian tim menunggu kesempatan pergantian pemain ada nuryanto dan lehem di pinggir lapangan, sementara aziz membantuku mengatur pertandingan sebagai wasit.

                PRIIIIIITTTTT, PRIIIIITTTT,PRIIIITTTT !!!!!!!, Peluit menyalak untuk menandai pertama kali  permainan futsal dengan lapangan standar fifa dimulai disini di Bomberay ribuan kilometer jauhnya dari markas Fifa di Zuri. FIFA FAIR PLAY.

 

Bomberay, 25 September 2011

NB : sore gerimis, surya dan seduhan teh gopek di ujung kebun


Cerita Lainnya

Lihat Semua