Setahun Itu Benar-benar (tak) Lama

ANNISA NOVITA DEWI 6 Mei 2014

Setahun itu lama, tapi tidak bagi kami yang mengemban tugas di daerah penempatan sebagai Pengajar Muda. Saat pertama tahu, lolos di seleksi akhir Indonesia Mengajar, lantas berpikir dan bertanya pada diri sendiri, bagaimana jadinya hidup setahun ke depan dan apa yang akan dialami setahun ke depan? Mampukah melewati setahun yang sepertinya akan cukup lama itu?

 

Keputusan untuk ikut Gerakan Indonesia Mengajar ini, sebenarnya bukan sesuatu yang perlu waktu lama mempertimbangkannya. Saya memang ingin sekali dan semakin penasaran saat Pak Anies Baswedan berkunjung untuk roadshow IM di kampus ITS beberapa tahun lalu. Motivasi awalnya memang penasaran, ya hanya penasaran. Coba isi aplikasinya dan kirim saat hari terakhir pendaftaran. Rasa penasaran pun terjawab. Ternyata prosesnya berlanjut sampai Direct Assessment. Proses DA ini ada beberapa tahap yang dilakukan dalam sehari. Psikotest, self presentation, FGD, roleplay, dan micro teaching. Tak ada satupun yang serius dipersiapkan benar-benar. Bahkan saat micro teaching, ketika teman-teman DA yang lain repot membuat alat peraga, saya hanya datang dengan tangan kosong !

Maka, setelah hari pelaksanaan DA itu, tak pernah berharap banyak untuk lolos seleksi selanjutnya. Bahkan saya lebih siap gagal tak lolos seleksi daripada maju ke tahap selanjutnya.

 

Dan saat benar-benar yakin selangkah lagi mimpi itu jadi kenyataan, maka saya pun harus memperbaiki motivasi dan niat saya untuk melangkah setahun ini. Mengabdi. Melakukan sesuatu yang bermanfaat di pelosok negeri. Menyalurkan hal baik yang saya terima (pendidikan, fasilitas, kehidupan berkecukupan) kepada yang kurang beruntung tak bisa merasakannya. Dan yang paling penting adalah, melunasi janji kemerdekaan, mencerdaskan anak bangsa. Sudah kewajiban saya sebagai seorang yang terdidik melunasi "hutang" ini, seperti yang sempat disampaikan oleh Pak Anies Baswedan. Mendidik adalah tugas setiap orang yang terdidik.

 

Waktunya tiba, saat dimana email pemberitahuan lolos ke tahap selanjutnya datang, email itu telah datang 3 hari yang lalu dan saat saya baca, besoknya adalah tahapan Medical Check Up yang jika tak datang artinya adalah mengundurkan diri. Dengan meminta ijin ibu yang mendadak baru tahu kalau saya mendaftar, walau dengan berat hati tapi banyak pertimbangan, ibu mengijinkan juga untuk berangkat besok paginya untuk menjalani tahap MCU. Selanjutnya, sekitar 1 bulan setelah itu, saya sudah berada di Pelatihan Intensif Calon Pengajar Muda IV di Jatiluhur, Jawa Barat dan sempat sekitar 2 minggu merasakan gemblengan Kopassus. Survival. Latihan fisik dan mental. Dan itu semua memang saat berguna saat di penempatan.

 

Saya ditempatkan di Desa Nanga Lauk, Kec. Embaloh Hilir, Kab. Kapuas Hulu, yang jaraknya dengan kota Pontianak sekitar 19-21 jam, jika jalannya lancar. Dan dari kota kabupaten Kapuas Hulu ke desa sekitar 4-6 jam ditempuh dengan bus oplet dan perahu motor. Salut sekali dengan masyarakat Kapuas Hulu yang sudah bertahun-tahun merasakan kondisi transportasi macam itu. Harga BBM bisa mencapai 15 ribu per liter dan sekali jalan bisa menghabiskan 10-15 liter bensin. Tak heran harga bahan-bahan pokok sangat mahal di sana, lebih mahal daripada di Jakarta. Disana hanya ada satu SD dan satu SMP satu atap yang baru 1 tahun berdiri saat saya datang. Dengan hanya 5 guru termasuk saya, kami mengajar 8 kelas (SD dan SMP) dengan konsekuensi kadang harus mengajar 2-3 kelas dalam satu waktu.

 

Masyarakat Nanga Lauk mayoritas adalah suku Melayu dan cukup baik kepeduliannya pada pendidikan, mereka adalah orang-orang yang bisa diajak bergerak untuk kemajuan pendidikan di daerah mereka. Hanya saja, karena minim pengetahuan, menyebabkan usaha mereka masih kurang optimal. Beberapa bulan disana, kami menggagas beberapa kegiatan baru yang melibatkan masyarakat. Pembentukan pengurus komite baru, Pengurus OSIS SMP, Rapat orang tua wali murid, pengesahan peraturan sekolah, Lomba-lomba PHBN dan PHBA, komunitas taman baca Quran, dan beberapa kegiatan lain yang mengajak masyarakat aktif berpartisipasi. Kehadiran kami sebagai Pengajar Muda memang bukan untuk menjadi pahlawan bagi mereka, yang menyelesaikan semua masalah, tapi kami hadir untuk menjadi fasilitator masyarakat untuk turun tangan demi kemajuan daerah mereka.

 

Nasionalisme adalah salah satu tantangan paling besar di beberapa tempat di Kapuas Hulu. Wajar, karena daerah ini berbatasan langsung dengan daratan Malaysia. Ingat film "Tanah Surga (Katanya)" ? Persis. Seperti yang di film itu kondisinya. Beberapa tempat masih menggunakan ringgit untuk berjual beli, orang lebih memilih merantau dan mendapatkan fasilitas yang lebih di Malaysia.  Ketika PM angkatan 2, PM pendahulu saya datang setahun sebelumnya, mereka baru mengenal upacara bendera, dan hafal lagu Indonesia Raya. Tapi, mereka belum paham bahwa Indonesia memiliki 34 propinsi, dan 5 pulau besar. Mereka hanya tahu Jawa dan Kalimantan. Mereka lebih tahu Serawak daripada Pontianak, ibukota propinsi mereka. Mereka hanya tahu kalau mereka hidup di Kalimantan, tak tahu ada Kalimantan Utara, Tengah, Timur, dsb. Miris.

 

Tapi saya dibuat terkagum-kagum akan pemahaman mereka tentang upacara untuk menghargai jasa pahlawan. Tanggal 10 Nopember adalah hari Pahlawan yang mereka pahami bahwa mereka harus memperingatinya dengan upacara bendera. Jauh sebelum tanggal itu, mereka sudah melakukan latihan upacara dan sangat siap untuk melaksanakan upacara hari Pahlawan. Akan tetapi, kami lupa bahwa  antara bulan Nopember-Januari biasanya air sungai Kapuas pasang  dan banjir sehingga tak mungkin ada daratan lagi di desa. Anak-anak tak rela untuk melewatkan 10 Nopember itu tanpa upacara. Benar-benar  tak ada daratan di desa. Iseng Pak mantri yang dinasnya di sebelah sekolah kami bilang, "upacara pake sampan seru tuh". Anak-anak tak pikir panjang "Betul Bu, kita bisa pakai sampan untuk upacara, kami cari sampannya dan panggil kawan-kawan !" Seru mereka bersemangat. Begitulah, akhirnya kami memutuskan untuk tetap melakukan pengibaran bendera dari atas sampan. Dan entah kenapa, upacara ini terasa jauh lebih khidmat dibanding upacara bendera biasanya. Apalagi saat mereka menyanyikan lagu "Syukur", terasa sekali mengharu biru dengan semangat kepahlawanan yang hanya dapat mereka definisikan sendiri.

 

Entitas perilaku. Yap, memang ini lah capaian dambaan yang ditargetkan Indonesia Mengajar kepada para Pengajar Muda yang dikirim ke penempatan. Bidang tugas Pengajar Muda ada 4, antara lain : intrakurikuler (mengajar di kelas); ekstrakurikuler (kegiatan di luar pembelajaran); pemberdayaan masyarakat; dan advokasi pendidikan. Keempat hal ini lah yang harapannya dapat menjembatani stakeholder (siswa, guru, kepsek, masyarakat, disdik kabupaten) menuju entitas perilaku yang positif.  Kisah tentang "pengibaran bendera dengan sampan" adalah salah satu contoh perubahan entitas perilaku yang dialami oleh siswa.

 

Ada satu kisah lagi perubahan entitas perilaku yang juga dialami oleh guru dan kepsek. Tentang kebiasaan cium tangan. Ceritanya saat itu peringatan hari Guru. Saya coba meriahkan hari itu dengan memberikan sebuah hadiah kepada guru-guru dan membuat anak-anak melakukan sesuatu. Saya mencoba melempar pertanyaan " Apa yang sudah kalian lakukan untuk guru-guru kalian selama kalian belajar di sekolah?" Diam membisu. Pertanyaan pun diganti "Apa yang ingin kalian lakukan untuk guru-guru kalian yang sudah sekian lama mengajar kalian di sekolah?". Pelan tapi pasti, jawab salah satu anak, "Menghormati dan menghargainya bu?"

 "Dengan cara apa?"

"Mungkin dengan cara mencium tangannya?"

Deg. Heran bercampur kaget. Saya pun saat itu baru menyadari, selama saya mengajar di sekolah memang belum ada kebiasaan itu, mencium tangan guru. Saya terdiam sesaat. Berpikir dan memastikan  ternyata selama ini memang belum pernah ada kebiasaan tersebut. Mungkin di sekolah lain, mencium tangan guru adalah hal biasa. Tetapi sekolah kami lain. Mencium tangan guru menjadi pemandangan yang tidak biasa dan pertama kali melihat pemandangan itu menyenangkan sekali rasanya.

"Baiklah, di hari spesial ini lakukan sesuatu yang spesial untuk guru kalian. Tulis sebuah surat yang berisi curahan hati kalian kemudian serahkanlah surat itu kepada salah satu guru kalian sambil mencium tangannya dan mengucapkan 'Selamat Hari Guru Pak/Bu, terima kasih telah mengajar kami'."

Anak-anak sangat antusias. Dalam hitungan menit sudah selesai apa yang diminta. Kemudian dengan bersemangat menyerahkan 'surat-surat cinta' itu kepada gurunya masing-masing. Guru-guru pun kaget sekaligus terharu dengan apa yang dilakukan anak-anak.  Tidak menyangka, anak-anak bandel itu bisa menulis surat 'semanis' ini, kata mereka. Lebih mengharukan lagi ketika ada pertanyaan "Boleh tidak Bu, setiap hari kami cium tangan Bapak dan Ibu Guru?"

Saya pun langsung mengangguk sambil tersenyum. Sejak hari itulah, setiap datang dan pulang sekolah, anak-anak tak pernah lupa untuk mencium tangan guru mereka, sebagai tanda penghargaan terhadap seseorang yang mengajarinya banyak hal. Sampai hari ini. Bahkan anak-anak itu punya keyakinan bahwa jika mereka mencium tangan guru, guru akan selalu mendoakan mereka agar menjadi anak yang pandai sampai mencapai kesuksesan di masa depan kelak. Dan mindset inilah yang akhirnya merubah cara pandang sebagian guru-guru di sekolah bahwa betapapun bandelnya anak-anak, mereka akan senantiasa menghormati dan menghargai gurunya dengan cara yang hanya dapat mereka definisikan sendiri. Cara yang paling sederhana adalah dengan mencium tangan guru. Sesungguhnya, tanpa kita sadari, ritual sederhana ini secara tidak langsung menggambarkan betapa besar kasih sayang guru terhadap anak didiknya, serta betapa indah jika kasih sayang guru disambut dengan rasa penghormatan dan penghargaan yang besar dari anak didiknya.

 

Jika segala hal yang saya dapatkan selama setahun harus diceritakan, barangkali akan sangat panjang dan bisa  jadi satu buku. Setahun yang telah berlalu, rasanya tidak akan pernah cukup untuk menggantikan bertahun-tahun tanpa pengabdian. Setiap hari, setiap jam, setiap menit adalah waktu yang berharga. Kalau boleh pinjam quote Pak Anies, "Everyday is decision making day". Tiada hari tanpa mengambil keputusan. Terlalu sia-sia jika satu hari dilewatkan tanpa melakukan apapun disana.

 

Dan ketika saya kembali ke kampung halaman tercinta saya, kota Bayu,  timbul kegelisahan mendalam. Jauh-jauh ke ujung Borneo untuk mengabdi, tapi apa yang bisa dilakukan untuk kampung halaman tercinta ini? Saya ingat ketika mengajarkan lagu "Tanah Air" ada sebait seperti ini :

".....tetapi kampung dan rumahku,

di sanalah ku rasa senang....."

Lewat lagu ini juga saya mengajarkan anak-anak untuk selalu kembali membangun daerahnya jika sudah sukses nanti. Dan inilah yang juga ingin saya lakukan terhadap kota bayu tercinta ini. Semoga semangat ini akan terus ada, sampai nanti.

 

 

 

*) Ditulis atas permintaan kawan-kawan Argabayu

Wind City, 4 Mei 2014


Cerita Lainnya

Lihat Semua