Perjalanan Terlarang

Marthella Rivera Roidatua 6 Mei 2014

          Sebelum bercerita, aku mau mengaku dosa kalau ini adalah cerita ilegal pertamaku. Tak seperti cerita perjalanan sebelumnya, perjalanan ke luar kabupaten ini kulakukan saat libur Paskah, hanya bermodalkan kontak keluarga dari Ibu Kepsek di Tual dan keluarga Bapak Piaraku di Dobo. Kata trustee kami via sms kepadaku, perjalananku ini termasuk cuti dan harus dilaporkan ke pihak Indonesia Mengajar (IM) di Jakarta. Ini bukan kesengajaan, sungguh, karena pikirku cuti adalah ketika kita mengambil masa dua minggu untuk kembali ke kota asal dan dibiayai oleh IM. Sehingga, pelarian singkat ini tak kuanggap sebagai cuti. Buktinya aku dengan polosnya mengunggah foto-foto perjalananku ke dunia maya dan bercerita tentang posisiku kepada temanku yang menjadi sukarelawan di kantor IM.

         Aku berangkat dari Adodo dengan kapal Sabuk 31, bersamaan dengan rekan guruku sekeluarga, mama Kades, dan Edi anaknya. Karena ramai, kami memutuskan untuk patungan menyewa kamar, mereka sampai Ambon sementara aku hanya sampai Tual. Meskipun pakai kamar, tapi pada dasarnya aku lebih suka duduk di anjungan kapal, menikmati angin sambil mendengarkan musik dan menulis. Aku menghabiskan waktu bercerita dengan bapak-bapak yang bertanya tentang program IM dan sesekali membahas kronologi motor lautku yang kala itu nyaris tenggelam. Aku pun sempat bingung mengapa cerita itu bisa kian tersebar luas. Puas bercerita, menjelang matahari terbenam aku mencari tempat yang enak untuk menyendiri sambil menulis. Sedang asik-asiknya menikmati kesendirian, aku merasa ada seseorang yang mengawasiku dari kejauhan. Namun lama-kelamaan dia mendekat, tapi aku tetap tak menghiraukannya. Sampai akhirnya dia bertanya, “Tujuan ke mana?” dengan logat yang sudah lama tak kudengar, logat anak Jakarta. Tapi dari perawakannya, tak bisa dipungkiri kalau dia orang Tanimbar. Benar saja, setelah berkenalan, ternyata dia berasal dari Yaru, menamatkan S1 Ekonomi di UKI, dan sekarang sedang menempuh S2 Perpajakan di Malang. Usut punya usut, rekan guruku, Ibu Wer yang berasal dari Yaru juga, ternyata kenal dengan Maikel Tuatfaru ini, yang tak lain adalah anak kepala sekolah SMP di Romean.

          Aku begitu antusias mendengarkan cerita Maikel tentang objek wisata dan keunikan di Yaru, satu-satunya kecamatan yang belum pernah ‘kuinjak’. Dia juga penasaran dengan Molu Maru yang sekarang, sesekali aku bertanya tentang bagaimana kehidupan mahasiswa Tanimbar di kota-kota besar. Meskipun baru kenal, tapi obrolan kami cukup mengalir hingga kami lupa waktu. Kami tersadar saat kapal membunyikan tanda akan bersandar. Tibalah kami di Elath, bagian dari Kabupaten Maluku Tenggara yang terletak di pulau Kei Besar. Kapal hanya singgah sebentar, sehingga kami hanya mengamati keramaian orang berjualan dari anjungan sebelah kanan. Sayangnya kami tiba hampir tengah malam sehingga tidak bisa melihat pemandangan kota Elath. Aku hanya sempat membeli nasi kuning karena kelaparan sedari pagi belum makan nasi. Kami berdua melanjutkan obrolan sambil makan di anjungan depan, duduk diantara orang-orang yang tidur beralaskan tikar. Obrolan kami seperti tak ada habisnya, sesekali kami mengamati sekeliling memastikan kapal sudah dekat ke Tual atau belum. Setelah beberapa kali salah tebak, mendengar suara kapten memanggil ABK untuk bersiap, barulah kami yakin bahwa kami telah tiba di kota Tual, ibukota Kabupaten Maluku Tenggara yang katanya jauh lebih besar, rapi, dan bagus dibandingkan ibukota daerah penempatanku, Saumlaki, Kabupaten Maluku Tenggara Barat.

             Jam menunjukkan pukul 03.34 WIT, kami berpisah untuk kembali ke tempat masing-masing. Maikel akan kembali melanjutkan perjalanan ke Ambon, sementara aku turun di Tual untuk mengecek jadwal kapal Feri Lobster ke Dobo. Kapal tidak bisa sandar karena pelabuhan Yos Sudarso telah dipenuhi oleh kapal-kapal lain yang lebih dulu sandar. Akhirnya kami merapat ke kapal Sabuk 23 dan para penumpang turun melaluinya. Sempat di kapal, aku dikenalkan dengan Bapak Petrus Batmomolin, saudara rekan guruku yang kebetulan rumahnya di Tual. Padahal Ibu Kepsek sudah menghubungi keluarganya untuk menjemputku dan mengajakku jalan-jalan ke desanya di Disuk. Akhirnya, karena masih terlalu subuh dan keluarga Ibu Kepsek belum menghubungi, kuputuskan untuk menunggu pagi di rumah Bapak Petu, begitu sapaan akrab beliau. Karena semalaman tidak tidur, begitu sampai di rumah Bapak Petu mataku tidak bisa kompromi lagi. Namun Mama Engge, istri Bapak Petu menyuruhku minum susu hangat dahulu sebelum tidur. Tak lama aku ketiduran di bangku dan kaget terbangun jam 9 pagi.

          Selagi asik menonton TV, ada tamu yang memanggil. Saat pintu kubuka, wajah itu tak terlihat asing. Beliau adalah kakak Ibu Kepsek yang pernah ke Adodo. Kakak Ibu, begitu aku memanggilnya, datang dengan kakak Robi, saudaranya yang menjadi supir angkutan umum. Ceritanya, Ibu Kepsek menyewa seharian penuh mobil itu untuk membawaku berjalan-jalan hingga ke kampungnya. Kami berangkat menuju pelabuhan untuk menanyakan jadwal Feri ke Dobo, ternyata jam 5 sore kapal akan berangkat. Aku sempat ragu untuk bertandang ke kampung Ibu Kepsek yang jaraknya lumayan jauh dari kota. Tapi Kakak Ibu bilang bahwa keluarga di kampung sudah masak dan siap bakar ikan menyambutku. Kakak Robi juga menyanggupi untuk mengantarku kembali ke pelabuhan jam 4 sore, sehingga tanpa buang waktu kami melanjutkan perjalanan. Selama di perjalanan, Kakak Ibu bak pemandu wisata menjelaskan setiap kampung yang kami lewati. Yang paling berkesan bagiku adalah pemandangan di kampung Islam, Ibra, di mana belakangnya langsung terpampang hamparan selat dan laut bergradasi, serta satu tempat pamali yang katanya biasa dipakai untuk mengadili perempuan-perempuan Kei yang bersalah. Sayangnya, tak ada yang menjamin kalau tempat itu boleh difoto sehingga aku pun tak mau ambil resiko. Sekitar satu setengah jam perjalanan, tibalah kami di sebuah gapura bertuliskan “Welcome to Disuk” dan rumah-rumah yang semuanya memiliki papan nama kecil pemiliknya. Hanya ada tiga fam yang terlihat yakni Jaftoran, Leftungun, dan Belekubun. Mobil kami akhirnya berhenti di sebuah tanjung di ujung kampung di mana terdapat satu bangunan kayu yang tak lain adalah usaha warung makan pinggir laut milik keluarga Ibu Kepsekku. Lengkap dengan tambak ikan kecil di sisi depan, memungkinkan pengunjung untuk memilih ikannya sendiri untuk dibakar. Bangunan sederhana, menunya pun tak beragam, tapi panorama sekitar dan angin laut rasanya menjadi penjara yang menyenangkan. Aku disuguhi dengan ikan bakar dari beragam jenis, ‘bobohuk’ (sejenis embal yang dikeringkan lalu dibakar), dan lalapan mentimun. Kenyang melahap dua bobohuk dan satu ikan bakar, Kakak Ibu masih memaksaku untuk mencicipi ikan bakar dari jenis yang lain. Alhasil, karena kekenyangan, aku tidak mampu untuk terjun ke laut dan berenang bersama anak-anak desa Disuk.

                Pertemuan yang singkat namun begitu penuh cerita dan kesan, kuucapkan banyak terima kasih kepada keluarga Ibu Kepsek yang menyambutku hangat. Melirik jam yang sudah menunjuk angka tiga, apalagi kami masih akan singgah di Bandara Internasional Tual yang baru selesai dibangun, kami pun bergegas masuk mobil dan melajutkan perjalanan. Sesampainya di Bandara Internasional Tual, kami foto-foto sebentar dan langsung tancap gas ke pelabuhan. Jam setengah lima sore tepat aku sampai di pelabuhan dan langsung membeli tiket Feri Tual-Dobo, kuputuskan memilih kelas Bisnis seharga sembilan puluh ribu rupiah dengan fasilitas tidur semalaman berdempetan di kasur tipis. Pertimbangannya, kelas Bisnis ini hitungannya di tengah, kalau ekonomi hanya dapat kursi jadi tidurnya sambil duduk, sementara VIP di ruangan ber-AC, rasanya sayang mengeluarkan lebih dari seratus ribu hanya untuk bermalam di kapal. Entah mengapa aku ditempatkan di kasur nomor delapan, tepatnya diapit oleh dua perempuan berbadan gemuk yang mengambil sebagian dari tempatku, sehingga aku tidur dalam sesak dan hanya bisa berposisi lurus. Belum lagi kondisi kapal yang penuh dan hanya disediakan satu kipas angin, membuat atmosfir kapal menjadi pengab dan panas. Seringkali aku terbangun untuk sekedar menghirup udara segar dan meregangkan otot. Sampai akhirnya jam empat subuh, aku benar-benar tidak tahan dan bangun untuk menunggu sampai kapal sandar di Dobo.

            Sekitar sejam kemudian, kapal akhirnya tiba di Dobo, ibukota Kabupaten Kepulauan Aru, yang sudah padat pengunjung. Kuhubungi Mama Nona, bibinya Bapak Piaraku. Ternyata, Mama Nona akan berangkat ke Jogja dengan kapal Tidar, kapal terbesar yang berlabuh di depan kapalku. Aku diminta sabar menunggu sms dari keponakannya yang akan menjemputku. Tak lama, aku sudah bersama Kakak Megi dan dua orang temannya berseragam polisi lalu kami menuju Kampung Belanda. Uniknya di Dobo ini, nama kampung sangat disesuaikan dengan historinya. Sesampainya di rumah, barulah aku berkenalan dengan Bapak Lex Karatem, kakak Dohar, dan kedua polisi temannya Kakak Megi, yakni Kakak Nus dan Kakak Abe. Usai meletakkan barang-barang dan mandi, petualangan Ibu Guru pun dimulai. Aku bergegas ke Pasar Jargaria, menikmati hiruk-pikuk ala orang Kei, suku terbesar di Kepulauan Aru. Iseng menanyakan harga sepatu, aku sempat keki karena harga barang di Dobo sangat-amat-jauh-lebih murah dibandingkan di Saumlaki yang sering ‘merampok’ kantong. Alangkah sumringahnya aku ketika mendapati deretan kios kayu yang penuh dengan baju-baju bekas berkualitas, godaan yang tak pernah bisa kutolak. Sebutannya ‘Cakar Bongkar’, ibarat Pasar Senen di Jakarta atau Gede Bage di Bandung. Sekali lagi, karena mahalnya kehidupan di MTB, aku bertekad tak akan belanja baju dan menjadi langganan setia ‘Cakbor’ di Larat dan Saumlaki. Bermodalkan Rp 85.000,- aku sukses mengantongi satu dress Myphosis, satu kemeja Polo Club, tiga kaos lucu, dan sepasang sepatu berwarna Tan.

            Pengetahuan yang minim soal Dobo mengharuskanku untuk berkunjung ke Dinas Pariwisata. Di sana aku disambut ramah oleh Ibu Kepala Dinas yang super stylish dan berbincang banyak dengan Ibu Kabag Pariwisata.

“Di Aru, banyak sekali tempat-tempat yang indah, namun kendalanya adalah biaya transportasi yang tinggi. Kemarin kita baru pulang menemani Duta Besar Polandia yang berkunjung ke Pulau Enu, tempat penangkaran Penyu satu-satunya di Asia”, terang Ibu Kabag.

Spontan aku menyahut, “Kalau mau ke sana, berarti harus sewa speedboat ya Ibu? Kira-kira berapa lama dan butuh biaya berapa?”

“Dengan speed dua mesin 80 PK, sampai di sana kurang lebih 7 jam. Bensin PP hampir kena 10 juta!”, jawab Ibu Kabag yang seraya membuatku menghela nafas panjang.

Agaknya Ibu Kabag bisa membaca raut mukaku yang kepalang mupeng namun separuh pasrah karena nominal fantastis. Beliau memberikan harapan yang benar-benar menggiurkan, “Begini saja, awal Juni, kami punya agenda untuk ronda 10 kecamatan, kalau nona bisa datang kembali ke Dobo, nanti ikut saja dengan kami. Mumpung gratis lho! Ibu minta nomor HP nona ya biar bisa dihubungi.”

            Siapa yang bisa menampik keindahan Aru? Tak heran, saat aku menulis status di Facebook tentang perjalananku ke Dobo, banyak yang berkomentar ‘how lucky you are’ hingga bernada setengah iri karena aku bisa mengeksplorasi sang ‘Mutiara Indah Cendrawasih Lestari’. Pulau Baun yang menjadi sarang Cendrawasih, Nuri, dan Kakatua. Pulau Toba, surganya snorkeling dan diving. Meskipun tidak dijumpai seekor pun babi, namun karena bentuknya menyerupai babi maka disebut Pulau Babi, adalah lokasi yang pas untuk memancing. Wisata budayanya juga tak kalah menjanjikan. Berkunjung ke Pulau Wokam, ada Tanjung Fatujuring dan Benteng Portugis. Desa Waifual yang merupakan desa tertua dan miniatur pemukiman penduduk di jaman purbakala. Desa Mesiang, gudangnya peninggalan sejarah seperti gading gajah, keramik, gong, dan piring kuno.

           ‘Aneh tapi nyata’. Di Aru Selatan, tepatnya di Desa Popjetur ada sebuah danau air tawar tapi dipenuhi oleh beragam ikan air laut, bahkan ikan hiu pun ada di dalamnya. Kalau ingin melihat kangguru namun pundi-pundi tak kunjung cukup membeli tiket ke Australia, tinggal datang ke Desa Reibi. Laut Merah juga tak sekedar cerita dalam Alkitab, di Desa Kalar-Kalar ada sungai merah yang airnya jernih dan tetap dipakai untuk minum oleh warga. Ular Mas di Desa Maekor dan Guci Beranak di Desa Nafar juga terus menggelitik logikaku hingga saat ini. Hari berikutnya, aku tak rela menyiakan barang sedetik waktuku. Kumulai perjalanan untuk berburu somalai (baca: hiasan kepala) dari Cendrawasih yang diawetkan, namun sayangnya April bukanlah musimnya. Aku harus bersabar menunggu hingga akhir Mei atau Juni untuk bisa bernego dengan orang desa. Lanjut ke Galeri Kerajinan Kulit Kerang milik Bapak Daeng Jumalang Binto, aku membeli dua buah souvenir unik khas Dobo. Yang tak kalah pentingnya adalah ke rumah Tomson, pengusaha mutiara air laut yang kualitas produknya terkenal hingga luar negeri. Di sana, aku diajari cara membedakan mutiara asli dan palsu, mana yang air laut dan air tawar, serta mempertimbangkan harga mutiara berdasarkan kebulatan dan warnanya. Harga mutiara air laut bervariasi dari yang termurah 30 ribu hingga 1 juta per butirnya. Pembeli bisa memilih sendiri yang butiran, ada juga yang sudah dibuat 1 set dan dirangkai menjadi perhiasan. Tak lengkap rasanya jika tak wisata kuliner, maka siangnya aku diajak mencicipi dendeng dan sate rusa lengkap dengan es Josua. Sorenya, kami bertualang ke Goa Maria Terangkat ke Surga, Rumah Tua Desa Durjela, menikmati pasir putih dan anggrek merah di Pantai Papa Liseran dan Lisi Bijarum, serta menunggu sunset di Pantai Kora Evar yang penuh dengan karang cantik.

               Keesokan harinya, tibalah waktu untuk berlayar kembali ke Tual. Semalaman di kapal kuhabiskan untuk menonton serial Warkop yang diputar di kantin kapal, hingga sulit tidur karena lagu dangdut berlirik alay yang diputar kencang dan berulang. Sesampainya di Tual, aku harus ganti kapal dan kalaupun Sabuk 31 sudah sampai pasti akan ngetem beberapa jam di pelabuhan. Kuputuskan untuk kabur sejenak ke Pantai Pasir Panjang dan Mata Air Evu yang ramai dibicarakan orang. Sepulangnya, aku sengaja singgah ke RS Hati Kudus di Langgur untuk memeriksakan alergi kulitku yang kadang kambuh. Pelayanan kesehatan di Tual memang jauh lebih lengkap dan nyaman dibanding Saumlaki. Cukup lama aku berkonsultasi dengan dokter, bahkan ia sempat bertanya soal Indonesia Mengajar. Kendaraan umum bertarif tiga ribu membawaku ke Pasar Tual, lagi-lagi aku tergoda oleh ‘Cakar Bongkar’ yang kualitasnya lebih bagus dan harganya jauh lebih miring daripada di Saumlaki. Tak lupa juga aku membeli embal kacang, embal keju, kacang botol, dan kaos bertuliskan ‘I Love Tual’ sebagai oleh-oleh. Teringat cerita mama piaraku kalau di Tual ada swalayan sebangsa Hypermart, aku bergegas dengan ojek menuju ke GOTA. Memang benar, di GOTA aku merasa sejenak berada di kota, selama masa tugasku mungkin inilah yang layak kukategorikan sebagai plazanya kabupaten. Puas memanjakan mata di GOTA, plang salon di dekat sana seolah magnet bagiku. Kupikir tak apalah sekali-kali merawat diri, mumpung di kota dan pastinya lebih murah. Paket Hair Spa dan potong rambut pun menjadi pilihanku. Melirik jam, rasanya sudah pas untuk bergegas ke pelabuhan. Sampai di kapal, niat awal ingin memesan tempat tidur, namun penumpang ditambah barang yang terlalu sesak dalam satu kamar membuatku lebih memilih mengemper di anjungan kapal beralaskan terpal. Ini pelayaran termurahku, hanya dengan tiga puluh ribu bisa tidur massal di bawah ribuan bintang dan semilir angin laut. Akhirnya aku bisa pulang dengan sejuta pengalaman dan sukacita, tentunya juga dengan penampilan baru.

What a sweet escape! 


Cerita Lainnya

Lihat Semua