Belajar "Garis Bilangan" pun Menjadi Pelajaran Moral

ANNISA NOVITA DEWI 7 Agustus 2012

Terik matahari siang di Nanga Lauk hari ini entah kenapa turut berperan besar membuat semua yang disinari ikut 'luluh dan kerontang'. Cucian basah yang baru sejam dicuci sudah langsung kering. Kerupuk rangkai  yang turut dijemur pun sudah jadi garing. Balur (ikan asin) yang diletakkan di pinggir-pinggir gertak  sudah bisa diangkat, karena sudah cukup kering. Es batu yang disimpan di termos pun jadi meleleh karena panasnya udara siang itu. Termasuk 'udara' di kelas tempat saya mengajar, kelas III. Suasana kelas yang tenang dan tertib pun sudah 'meleleh' dengan kondisi yang luar biasa panas itu. Kelas III sudah di luar kontrol, ketika saya mengajar materi "garis bilangan". Biasanya mereka akan menurut dan tertib ketika diajak belajar sambil bermain. Tapi kali ini, suram (pusing) rasanya melihat tingkah laku mereka yang sudah di luar kendali. Anak-anak saya ajak untuk mengurutkan angka-angka yang sudah saya bagi masing-masing orang pada garis bilangan yang sudah saya gambar di lantai depan kelas. Otomatis tiap anak mempunyai tanggung jawab untuk meletakkan angka itu di posisi yang tepat. Seharusnya tiap anak memiliki kesibukan sendiri untuk mencari posisi angkanya, tetapi perkiraan saya meleset. Semua anak bukan hanya sibuk mencari posisi angka yang tepat untuk dirinya sendiri, tetapi juga sibuk dengan angka-angka yang dipegang teman-temannya, semua anak berteriak menyalahkan posisi angka anak lain, dan teriakan itu berubah menjadi rasa marah, saling menyalahkan, mengejek, bertengkar, saling tuduh, dan tiba-tiba setiap anak jadi punya alasan untuk ikut berteriak 'meramaikan' suasana yang sudah riuh.

Kali ini saya memang tidak mungkin mengajar Matematika lagi.........

"Hoiiiiiiii, anak-anak, cukup !!! Sekarang hanya Tika yang boleh menyusun angka itu, yang lain diam. Tika boleh menyuruh teman lain untuk memindahkan angkanya jika diperlukan. Jika ada yang bicara atau berteriak akan Ibu minta gantikan Tika untuk menyusun angka itu sendirian."

Baiklah, suasana kelas sudah lumayan kondusif. Tika menyusun angkanya sendirian. Tak lama, sekitar 5 menit kemudian, ada anak yang berkomentar tentang hasil susunan angka Tika yang salah. Tentu saja, sesuai dengan peraturan yang saya buat tadi, anak tersebut harus menggantikan Tika untuk melanjutkan menyusun angka. Demikian seterusnya, sampai  tidak ada lagi anak yang berteriak dan semua susunan angka sudah pada posisi yang tepat.

Lalu saya mencoba mengajak mereka mengambil hikmah dari kejadian tadi.

"Apakah jika satu orang saja yang mengurutkan angka, bisa selesai? Apakah jika yang lain diam semuanya bisa selesai?"

"Bisaaaa Bu......."

"Kira-kira kenapa bisa begitu?"

"Karena yang lain gak ikut ngomong Bu, jadi Tika tidak terganggu buat nyusun angka itu" Begitu jawab Tika.

"Kira-kira senang gak kalau ada yang mau ngomong acungkan tangan dulu kemudian baru boleh ngomong?"

"Senang Bu....... Kalau begitu pasti didengarkan sama yang lain"

Saya tersenyum lebar, baguslah, anak-anak sudah dapat menarik kesimpulan sendiri.

Saya sadar, mungkin dengan metode yang tadi, tak setiap anak dapat benar-benar memahami cara mengurutkan angka pada garis bilangan, tetapi setidaknya mereka mendapatkan satu pelajaran moral yang berharga, bahwa jika semua orang berbicara, tidak akan ada yang mendengar. Bahwa ketika bekerja dalam satu tim tidak bisa setiap orang menjadi pemimpin, hanya satu orang yang menjadi pemimpin. Yah, siang hari yang terik itu, anak-anak memang bukan belajar Matematika saja, tetapi tentang cara berkomunikasi, cara mengendalikan diri, dan cara menjadi pemimpin.... Karena mereka lah calon-calon pemimpin bangsa ini nantinya........

 

Na. Lauk, 28 Juli 2012


Cerita Lainnya

Lihat Semua