Tanggung Jawab 'Besar' di Pundakmu yang 'Kecil'
ANNISA NOVITA DEWI 7 Agustus 2012"Ini sayuran untuk berbuka puasa nanti Bu....."
Demikian ujar Ratih, murid kelas III SDN 08 Nanga Lauk, ketika saya bertanya mengapa ada tanaman yang diletakkan di meja tempatnya. Gadis itu kemudian melanjutkan aktivitas menulisnya dengan kikuk dan wajah yang bimbang. Lalu sambungnya, "Saya disuruh Umak cari tanaman Bu, kami nesik (tidak) ada makanan buka lagi........"
Ahh, Subhanallah..... Saya baru sadar, gadis ini baru saja merasa bersalah karena membawa tanaman itu ke kelas dan saya memergokinya. Saya pun buru-buru membuatnya tak perlu merasa khawatir, "Santai magang (saja) Ratih, bolehlah kapan-kapan Ratih ajak Ibu untuk cari tanaman seperti ini ya?"
Ratih pun tersenyum dan melanjutkan aktivitas menulisnya.
Ratih, bukan satu-satunya gadis kecil yang meletakkan 'tanggung jawab' seperti itu di 'pundak'nya. Lain hari saya pun menemukan beberapa anak yang rela berjualan kue, buah masam (mangga), apapun yang bisa dijual, untuk membuat dapur di rumah mereka tetap mengepul. Tak heran lagi, tanggung jawab besar itu memang biasa dilakukan oleh anak-anak seusia Ratih. Rata-rata keluarga di desa ini memiliki lima sampai enam anak yang perlu makan, tumbuh, dan berkembang. Sementara orang tua mereka pun sebetulnya juga bekerja keras untuk bertahan hidup dengan 'ngarit', memotong getah karet, dan mencari ikan. Secara otomatis, ketika orang tua mereka berangkat ke ladang, kebun, atau laut (sebutan tempat untuk orang yang mencari ikan), tanggung jawab untuk mengurus adik-adiknya yang masih kecil dilimpahkan kepada anak tertua -yang kebanyakan masih seusia Ratih. Dan hebatnya, anak-anak itu mampu menunaikan tugasnya dengan sangat baik. Menjaga adiknya dengan cara membawa adiknya ke sekolah juga sudah jadi pemandangan yang biasa. Jadi, merupakan hal yang wajar ketika di tengah pelajaran berlangsung, tiba-tiba ada anak kecil yang menangis karena kakaknya yang sedang fokus belajar tak mau memperhatikan adiknya yang ingin bermain. Jika sudah seperti itu, demi menjaga suasana kelas yang kondusif, saya pun harus 'turun ke lantai', ikut mengasuh si adik yang haus perhatian itu.
Suatu kali, saat pelajaran Matematika di kelas V, Noi, mengajak adiknya ke sekolah karena kedua orang tuanya sedang bekerja di ladang. Hal yang biasa terjadi seperti yang sudah saya deskripsikan sebelumnya, si adik menangis karena tak mendapat perhatian kakaknya yang sedang fokus belajar. Biasanya jika sudah seperti itu, si kakak membiarkan adiknya menangis sampai apa yang dilakukannya, misal menulis catatan, membaca, mengerjakan soal, apapun itu, selesai dikerjakan. Tetapi tidak dengan Noi. Meskipun aktivitasnya menulis catatan belum selesai, dengan sabar dia menghibur adiknya, betul-betul berperan sebagai kakak yang baik untuk adiknya, tak peduli teman yang lain sudah selesai mencatat, dan dia belum selesai karena harus menenangkan adiknya yang masih rewel. Saya pun tak bisa diam, saya ajak adiknya keluar bermain, tetapi hasilnya nihil. Pada akhirnya, Noi pun tak membiarkan saya ikut repot mengurus adiknya. "Bu, maaf kami dua adik saya minta ijin keluar sebentar boleh?" Begitu katanya meminta ijin pada saya ketika ingin mengajak adiknya keluar dari kelas. "Tentu, silah meh", jawab saya. Noi tersenyum lega dan langsung membawa adiknya keluar. Tak sampai 5 menit, adiknya sudah tenang dengan kertas gambar dan pensil di tangannya. Ahh, ternyata si adik ingin menulis juga seperti kakaknya. "Saya minta maaf catatan saya belum selesai karena harus kawan (menemani) adik saya Bu". Salut, selain sayang sekali pada adiknya, Noi juga sangat sopan dan menurut pada orang tua. Ahh, memang tanggung jawab besar yang sudah kalian emban itu, menyebabkan kalian menjadi lebih dewasa. "Tak apa, Ibu bangga punya murid sepertimu" Begitu jawab saya dalam hati, sambil tersenyum lebar dan memandang Noi yang sendirian di kelas, menemaninya sampai pekerjaannya selesai ........
Na. Lauk, 30 Juli 2012
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda