info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Jamban Bergoyang dan Mata Merah

Deden Achmad Chaerudin 11 Agustus 2012

Duaaaarrrrrrrr!!!! Suara halilintar memecah keheningan malam. Aku pun terbangun ku lihat langit dari dalam jendela kamar  kilat memancarkan cahaya  layaknya akar-akar di langit malam. Kamarku bagaikan studio foto alam dengan kilatan-kilatan cahaya layaknya blitz-blitz kamera yang membidik objek  seorang model.  Kilatan-kilatan saling berpantulan di dinding-dinding kayu di dalam rumah.

Jam tanganku menunjukkan pukul 02.00 dini hari. Aku coba pejamkan mata ini untuk melanjutkan mimpi yang terpotong. Namun nyatanya mata ini selalu ingin terjaga melihat kilatan-kilatan cahaya yang tak henti-hentinya menghiasi kamar ini. Ku paksakan untuk tidur kembali beberapa saat, masalah mulai muncul bukan dari luar tetapi dari dalam tubuhku. Perut ku meronta-ronta kesakitan, ketika aku mencoba untuk duduk, seisi perutku seakan-akan mengikuti pergerakkanku dengan suara air yang bergerak dari dari tinggi ke rendah.

Malam-malam seperti ini sangat ku khawatirkan, bagaimana tidak aku harus memenuhi panggilan alam (bahasa halus untuk buang hajat) dengan berhadapan langsung dengan alam sesungguhnya, tanpa atap, tanpa penerangan, dan tanpa pelindung lainnya.

Aku mencoba melawan hukum alam sebisa mungkin. Berbagai posisi tidur ku coba agar merasa nyaman kondisi perutku. Namun layaknya telur yang berada di ujung tanduk, akhirnya aku menyerah kepada panggilan alam yang seharusnya terjadi.

Ku meraba-raba mencari senter handphone yang biasa ku siapkan dekat bantal, bila sewaktu-waktu dibutuhkan aku sudah mengetahui dimana letak senter tersebut. Aku berusaha melawan ketakutan. Ibu angkatku pernah mengingatkan kalau aku ingin buang hajat malam-malam, jangan sungkan-sungkan untuk membangunkan bapak atau ibu. Hatiku bertentangan antara membangunkan atau sendirian membuang hajat di sungai. Aku malu bila harus membangunkan bapak atau ibu yang sedang tertidur pulas dengan alasan mau buang hajat. Laki-laki macam apa aku yang tak berani menghadapinya sendiri pikirku.

Aku pun keluar rumah dan melihat sejauh mata memandang kondisi yang sangat gelap. Malam itu bulan tidak terlihat, yang terasa hembusan angin yang menyentuh kulitku yang membuat bulu kuduk ku merinding. Ku lihat dari kejauhan sungai begitu tenang, tidak ada gelombang, sesekali ku lihat jamban tempat untuk memenuhi panggilan alam terliha bergoyang dihempas angin. Pikiranku langsung menjelajah entah kemana. Memikirkan mahkluk buasa yang sewaktu-waktu menyerangku kapan saja dari darat dan dalam sungai. Murid-muridku pernah mengingatkan, bapak bila malam-malam mau ke jamban sebaiknya melihat kanan dan kiri dahulu. Pastikan tidak ada cahaya merah yang membentuk mata bila terkena senter. Bila bapak melihat cahaya merah seperti itu berarti terdapat buaya di sana.

Sewaktu di Jakarta aku sering menonton discovery channel atau National Geografic yang mengulas tuntas tentang buaya sungai dan muara. Dalam tayangan tersebut ditampilkan perbedaan ukuran yang mencolok antara buaya sungai dan buaya muara. Buaya muara berukuran lebih besar dan berwarna hitam serta terkenal dengan keganasannya sedangkan buaya sungai berukuran tidak sebesar ukuran buaya muara, berwarna hijau kekuning-kuningan dan tidak terlalu bahaya.

Fakta-fakta tersebut pernah juga aku tanyakan langsung kepada para penduduk desa. Mereka langsung mengiyakannya. Walaupun mereka mengatakan kalau buaya disini tidak mengganggu manusia cuma sering menampakkan dirinya saja. Aku berasumsi bila buaya lapar jangankan monyet dan bekantan, apa yang berbau daging di dekatnya pun akan disambarnya. Apalagi Rumahku berada di tepi sungai telake dan jaraknya tidak jauh dari muara. Aku langsung menyimpulkan bahwa di sungai tempatku berada terdapat buaya sungai dan buaya muara.

Lemeslah badanku mengingatnya, hatiku mempertanyakan kembali, menyarankan aku untuk membangunkan bapak atau ibu agar menemaniku. Ini Kalimantan bukan Kota Jakarta kondisi yang berbeda ditamah lagi ini adalah pengalamanku pertama kali memenuhi panggilan alam waktu dini hari di Kalimantan.

Kata hati ku ikuti, untuk memperkecil risiko yang akan terjadi. Ku bangunkan bapak angkat ku untuk menemaniku menuju sungai. Ibu pun terbagun juga, “kenapa tidak bangunkan bapak atau Ibu dari pertama, Pak deden?” tanya ibu. “iya neh bu, saya malu banguninnya”, jawabku sambil seperti menahan telur yang sudah diujung tanduk.

Alhamdulillah bapak menemaniku dan mengawasiku dari kejauhan dan aku siap memenuhi panggilan alam. Sebenarnya aku telah medapatkan pelajaran bodysystem ( saling melindungi) selama di pelatihan, maksudnya setiap kita ingin ke tempat yang asing (baru) sebaiknya ditemani oleh minimal satu orang agar satu sama lain dapat mengawasi dan memberikan perlindungan bila sewaktu-waktu terjadi hal diluar skenario manusia. Masalah tidak sampai disini, aku tidak mempersiapkan amunisi selama berada di jamban. Aku tidak memakai sarung dan tidak juga membawa obat nyamuk bakar. Jadilah aku bersilat dengan nyamuk-nyamuk kalimantan. Aku tidak merasakan nikmatnya buang hajat, kedua tangan yang selalu menghalau nyamuk-nyamuk yang ingin menghisap darahku membuat jamban terus bergoyang mengikuti keseimbangan berat tubuhku. Bagi yang tidak terbiasa membuang hajat di alam bebas dan di sungai maka kegelisahan akan selalu membayanginya. Ku percepatlah buang hajatku.

Aku langsung berlari menuju dalam rumah dan langsung masuk kembali ke dalam kelambu yang menyelimuti tempat tidurku. Aku merasakan sesuatu yang tidak biasa, ku periksalah seluruh tubuhnya untuk memastikan semuanya utuh. Namun terdapat bentolan-bentolah di seluruh tubuh, tangan dan kaki ku akibat dari gigitan-gigitan nyamuk. Dari kamar sebelah bapak berkata, “ Nanti kalau mau ke jamban malam-malam bangunkan bapak saja, jangan sungkan-sungkan”.  Aku langsung mengiyakan dengan perasaan sedikit malu.

Dari pengalaman tersebut terdapat pelajaran yang dapat dipetik :

- Selama pelatihan di MTC aku telah mendapatkan pelajaran tentang bodysystem atau sistem yang saling melindungi. Selama kita berada dalam wilayah yang tidak kita kenali sebelumnya sebaiknya selalu ditemani minimal satu orang.

- Hilangkan gengsi atau malu yang tidak pada tempatnya. Untuk menghindari bahkan mencegah kemungkinan terburuk yang akan terjadi selama di daerah penempatan.


Cerita Lainnya

Lihat Semua