Kawan Setia

Anggun Piputri Sasongko 10 Agustus 2012

Kami terlalu sering berjalan bersama. Kawan setiaku di Oeoko.

Aku kenalkan, mereka adalah Neksi, Mensi, Onsi, Femi dan Aldo. Kalau melihat diantara nama-nama tersebut ada 3 yang mirip, sama-sama di akhiri dengan ‘si’. Ya, mereka bertiga adalah kakak-beradik, tetapi kalau Neksi saudara sepupu dari Mensi dan Onsi yang tinggal satu rumah. Aku mau menceritakan sedikit tentang mereka. Neksi, gadis manis dengan badan paling tinggi diantara yang lain, SMP kelas 2, paling sering menghubungiku lewat sms, mengucapkan selamat pagi, bertanya aku sedang apa sampai mengucapkan selamat istirahat pada malam hari. Mensi, berambut ikal, pintar menari, juga duduk di bangku SMP kelas 2 sama seperti Neksi. Onsi, anak bungsu yang tangguh, hatinya yang lembut, jago bermain bola dan pandai membidik. Onsi baru saja lulus dan resmi mengenakan seragam putih-birunya. Femi, kelas 5 SD paling tidak pemalu diantara teman-temannya kelas 5, logatnya yang khas ketika dia berkata “terima kasih Ibu”. Jekson atau akrab disapa Jeko, tubuhnya yang kecil tetapi punya kepedulian yang besar, selalu memaksa membawakan tasku, mengantarku sampai rumah ketika pulang sekolah. Terakhir adalah Aldo, suka memakai karet gelang di tangannya, fotografer cilik dan selalu mengenakan pakaian warna merahnya yang khas.

Pemalu tetapi diam-diam mereka sangat melindungiku.

Mereka telah membawaku keliling desa, memetik buah Kom dan minum kelapa langsung dari pohonnya. Tentu saja tugas memanjat adalah Onsi, Jeko dan Aldo. Selain itu mereka juga sangat memperhatikan porsi makanku, saat aku berkunjung kerumah Mensi, Neksi dan Onsi pasti aku disuguhi makanan. Tidak boleh menolak katanya nanti aku kena denda. Aku merasa sangat diperhatikan. Ketika makan bersama porsiku tidak seperti biasanya dan cara mereka menambah makananku itu unik. Onsi punya tugas mengalihkan pandanganku; “Ibu lihat itu dibelakang ada kalajengking” akupun bergegas menengok ke arah Onsi menunjuk, begitu berbalik, nasi dipiringku sudah bertambah 1 centong. Aku protes, tetapi dengan kompaknya mereka bilang “Ibu harus makan banyak!”. Makan sesekali sambil bercerita, disela itu dengan cepat Mensi menambahkan ikan / lauk ke dalam piringku. Makin banyak. Setengah setelah ku makan, Aldo pun tidak mau kalah, pura-pura menambah untuk dirinya, tetapi centong nasi itu terbang ke arahku. Selalu dan selalu, ketika aku bersama mereka, tidak diizinkannya aku punya porsi makan sedikit. “Pokonya ibu harus gendut, harus makan banyak biar tidak sakit”. Saat aku hendak pulang, mereka juga memaksa mengantarku sampai rumah. Padahal jarak rumah tidak jauh, sekitar 500 meter saja.

Perhatian dan kelembutan hati mereka menjadi pelajaran buatku. Dengan keterbatasan, mereka masih peduli dan memperhatikan orang lain, tanpa pamrih. Tulus dari hatinya. Apa yang ada, apa yang mereka punya, mereka bagi sama rata bahkan berlebih untuk orang lain dan merelakan apa yang menjadi bagiannya untuk diberikan.

Aku belajar dari kawan setiaku. Ketulusan dan memberi dengan hati. Tanpa khawatir akan kesusahan yang mungkin menghampiri. Mereka senang memberi, senang berbagi. Setiap kali mereka lakukan hal itu, senyum bahagia lah yang terpancar dari wajah manis pemalu ini.

Terima kasih, kawan setia, telah mengajakku bahagia bersama kalian. Bahagia karena memberi.


Cerita Lainnya

Lihat Semua