Maaf Nak, Ibu Tidak Bisa Memperhatikanmu Sepenuhnya

Savira Mega Putri 26 Juli 2012

 

Kelas IV adalah kelas besar. Ada 40 siswa disana. Tapi hampir belum pernah full team. Setiap harinya, hanya ada kurang lebih 35 siswa yang hadir. Itu pun sudah sangat bagus. Lebih sering hanya separoh yang hadir. Dan berdasarkan pengalaman di hari-hari sebelumnya, kelas ini adalah kelas yang membutuhkan perhatian dan kerja ekstra. Kenapa? Karena sebagian besar dari mereka mempunyai tenaga berlebih. Setiap selesai mengerjakan soal yang aku berikan, mereka tak akan berhenti berteriak, menjahili teman, melempar buku, berlari kesana kemari, dan berbagai aktivitas lain. Tapi banyak juga yang melakukan itu semua meskipun belum selesai mengerjakan soal.

Di suatu siang yang sangat menguras tenaga di kelas IV.

Setelah semalaman berfikir keras metode apa yang bisa memfasilitasi anak-anak kelebihan energi dan semangat itu, akhirnya aku memutuskan untuk membuat 4 pos pertanyaan untuk pelajaran Matematika, materi tentang Sifat Pengurangan (Komutatif) dan Pengelompokan (Distributif). Belajar dari TK/SD Batutis, 'setelah selesai mengerjakan suatu pekerjaan, maka selesaikan pekerjaan yang lain', aku putuskan untuk membagi soal-soal itu menjadi 4 bagian.

Awalnya aku berfikir untuk memberikan mereka 4 jenis soal untuk masing-masing anak. Tapi itu berarti aku harus menulis soal sebanyak 160 lembar! Dan semua itu harus kutulis tangan! Hmm.. No way! Akhirnya aku putuskan untuk menuliskan 4 jenis soal itu di 4 karton yang berbeda. Satu soal sudah aku tempel dan mereka mulai mengerjakan (waktu itu aku dalam keadaan marah *cerita sebelumnya). 10 menit berlalu dan satu anak datang ke mejaku menunjukkan hasilnya. Benar semua! Ferdi namanya. Kelebihan energi juga, tapi dia cerdas. Selanjutnya, semakin banyak yang datang ke meja untuk diperiksa pekerjaannya. Dan itu berarti sebagian yang lain yang tak terpantau pasti sedang 'bertingkah laku macam-macam di kelas'. Benar-benar kelas neraka (meminjam istilah untuk kelas Micro Teaching kelas BB di camp. Hehe...).

Di tengah hectic dan tegangnya otakku karena harus membagi perhatian untuk mereka yang belum bisa dan harus diajar satu per satu, perhatian untuk mereka yang tidak mau mengerjakan, perhatian untuk meneriaki mereka yang memukul temannya, dan perhatian-perhatian yang lain, tiba-tiba ada seorang anak laki-laki yang menangis di sebelah mejaku. Brayen. Dia menangis sambil kakinya menendang pintu pelan-pelan.

"Kenapa kamu menangis?"

Dia tidak menjawab. Masih menangis.

"Hey, kenapa kamu menangis? Siapa yang pukul?", aku tanya begitu karena biasanya anak-anak disini suka menangis kalau dipukul temannya.

"Seng.. (tidak)", jawabnya.

So, why?

Aku tanya ke anak-anak yang lain, mereka bilang "mungkin dia lapar, Ibu."

Aku tanyakan lagi, "Kamu lapar?"

"Seng..", jawabnya sambil menggelengkan kepala.

"Terus kenapa? Diam sudah..", kataku agak sedikit kesal karena di tengah kegaduhan kelas dia telah berhasil menarik perhatianku tanpa alasan yang jelas.

Aku lanjutkan aktivitas memeriksa hasil pekerjaan anak-anak yang lain sampai bel berbunyi. Fiuuh..

Aku minta mereka kembali ke tempat masing-masing. Tapi Brayen masih tetap menangis di pojok pintu. Aku datangi dia dan aku tanya, "Kamu kenapa sih menangis?"

Sambil terisak dia menjawab, "bet seng bisa, Ibu.."

Glek! Aku menelan ludah seakan tak percaya. Ingin rasanya aku ikut menangis bersamanya. Ternyata ia menangis karena ia tidak faham dan tidak bisa mengerjakan soal. Ia merasa tertinggal oleh teman-temannya dan ia merasa sedih.

"Ya sudah, sekarang duduk . Sebentar Ibu ajari. Ya?"

Ia mengangguk dan kembali duduk di tempatnya.

'Maaf Nak, kelas ini terlalu besar untuk Ibu beri perhatian satu per satu. Kalau boleh Ibu kasih tahu, Ibu juga ingin menangis hampir setiap hari melihat teman-temanmu yang bahkan menulis namanya sendiri saja belum bisa. Tapi jangan kuatir, Nak. Ibu yakin dan percaya akan menemukan kunci untuk membuka pintu kesuksesan dan mengajak kalian semua masuk bersama-sama. Dan Ibu akan mengunci rapat-rapat pintu kebodohan dan kegagalan. Kamu harus percaya bahwa kamu bisa, Nak. Sebagaimana Ibu juga yakin Ibu bisa.'


Cerita Lainnya

Lihat Semua