Surat dari Rote (Bag. 1)

Rady Raziman Dypatra 10 Agustus 2012

Untuk anak-anak muda Indonesia,

Tiga bulan yang lalu, masih kuingat, saat kita duduk di restoran, menikamti lezatnya iga bakar, dan kopi hangat di sebuah mall paling terkenal di kota kembang. Kita tertawa bersama, dan kita sempat merencanakan liburan ke Bali, Lombok atau Singapura. Masih ingatkah kawan? Ya aku yang paling vokal merencanakan itu. Apakah kamu masih punya kesabaran menungguku 343 hari lagi? Sabar kawan, sekarang aku lagi sibuk menyusun Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) untuk anak-anakku kelas I di SD Inpres Bandu. Harapanku hanya satu yaitu supaya anak-anak ini bisa calistung: membaca, menulis dan berhitung. Cukup itu saja, aku sudah bahagia. 

Empat bulan yang lalu, masih kuingat, saat aku menggerutu pada wanita tukang cuci baju yang bekerja di Laundry langganan kita. Kamu ada di sampingku waktu itu.  Ya aku merasa kesal karena dia terlambat mencuci bajuku.  Masih ingatkah? Aku menyesal kawan, tolong sampaikan permintaan maafku yang tulus ini pada wanita itu. Di sini, aku harus berjalan  kurang lebih satu kilometer melalui jalan yang berbatu dan terjal untuk sampai di mata air terdekat. Itupun harus mengantri dengan warga sekampung supaya mendapat giliran cuci dan mandi.

Dan ketika kamu bertemu dengan kawanku yang lain, tolong sampaikan bahwa di sini aku bersyukur makan dengan ikan asin atau dengan hanya nasi kosong saja. Banyak orang yang tak seberuntung kita kawan. Mari bersyukur dengan apa yang kita punya.

Masih ingatkah ketika aku mentraktir kalian di sebuah restoran Jepang untuk merayakan kelulusanku. Tak keberatan aku bayar Rp 600.000 hanya untuk membahagiakan kalian. Tahukah kalian? Di sini, setengah dari uang yang ku bayarkan itu adalah pendapatan rata-rata penduduk per bulan. Uang Rp 300.000 cukup untuk menyambung hidup satu keluarga selama sebulan.

Dan ketika kamu mendengar suara adzan, segeralah pergi ke masjid. Jangan lewatkan shalat berjamaah.  Suara adzan yang keluar dari pengeras suara itu tidak jauh dari tempatmu kan? Di sini, aku harus naik ojek menempuh jarak sejauh 20 km ke pusat kota untuk sampai di mesjid terdekat.  Hanya hari Jumat lah aku bisa merasakan nikmatnya salat berjamaah.

Dan ketika aku rela rapat sampai pagi,  untuk mendiskusikan tentang rencana program pendidikan yang terbaik untuk anak-anak di sini. Apa yang kau lakukan di sana? Aku berkeyakinan, kau pun sedang melakukan hal yang sama sepertiku di sini.

Dan ketika aku rela melewatkan riuhnya siaran langsung pertandingan sepak bola Piala Eropa,  hanya untuk menghormati tetangga yang sedang berduka. Ah, aku tidak percaya kau melewatkannya. Tapi aku masih berkeyakinan walaupun matamu memandangi televisi, tapi sebenarnya di dalam kepalamu kau sedang memikirkan nasib orang-orang yang tak seberuntung kita.

Sedikitpun aku tidak  pernah meragukanmu kawan. Mari kita tebarkan semangat, tumbuhkan kepercayaan diri, dan tanamkan optimisme di dada bangsa ini. Kehadiranku di sini dan kau di sana dimana pun kau berada. Sama saja. Sekecil apapun tindakan itu, tindakan nyatalah yang membuat perbedaan. We are the difference makers.

Malam ini, saat aku merangkai coretan ini, lagu Mentari-nya Abah Iwan mengalun lembut di kupingku. Seakan memberiku sejuta mentari harapan. Aku ingin berbagi denganmu Kawan.

Mentari bernyala di sini

Disini di dalam hatiku

Gemuruh apinya di sini

Di sini di urat darahku

Meskipun tembok yang tinggi mengurungku

Berlapis pagar duri sekitarku

Tak satupun yang sanggup mengahalangimu

Bernyala di dalam hatiku

Hari ini hari milikku

Juga esok masih terbentang

Dan mentari kan tetap bernyala

Disini di urat darahku

Mentari kan tetap bernyala

Di sini di urat darahku

Aku di sini, di pelosok negeri, tak pernah merasa lebih mulia daripada kau yang hidup di kota. Dan seperti apa yang dikatakan Pak Anies Baswedan, kita punya kesempatan yang sama untuk memberikan nuansa berbeda tentang Indonesia.

 Mimpimu adalah mimpiku

Mimpiku adalah mimpimu

Mimpi kita bersama

Nuansa berbeda tentang Indonesia

Kawanku. Aku tulis ini semua dengan optimisme yang menggelora. Terimakasih sudah membaca coretan ini. Senyum hangat dari Rote Ndao.

Salam,

Pak Guru


Cerita Lainnya

Lihat Semua