Saya Punya Guru Ngaji [Lagi!]

AndhikaPrasetya Wijaya 12 Oktober 2015

Sore itu saya terdiam melihat matahari tenggelam di sore hari, warnanya oranye, mataharinya bulat dan awan-awan seperti gula kapas rasa jeruk. Tak lama kemudian saya beranjak berjalan dari ujung kampung bawah ke ujung kampung atas, dilanjutkan berjalan lagi menanjak ke atas.

 Di kampung bagian atas atau biasa disebut digunung oleh orang desa berdiri bangunan masjid, tempat ibadah umat muslim satu-satunya di pulau kecil ini. Masjid Al-Hijrah Kampung Matutuang, masjid yang dengan damai berdampingan dengan tiga gereja di kampung ini. Di Kampung Matutuang mayoritas masyarakatnya memeluk agama kristen sekitar 80% dan sisanya beragama islam.

Seperti biasa, sore itu saya melaksanakan ibadah sholat magrib dengan para jamaah di Masjid secara bersama-sama. Para jamaah? Jangan bayangkan seperti masjid-masjid di kota besar yang mungkin dipenuhi dengan orang-orang “tua” setiap kali kumandang adzan didengungkan.

Disini anak-anak secara inisiatif mengumandangkan adzan ke penjuru Pulau Matutuang, secara bergantian dengan jadwal yang sudah disusun. Imam masjid? Jangan ditanya, karena anak-anak dan remaja saja yang bersedia menjadi imam untuk sholat-sholat lima waktu sehari-hari.

Cukup banyak anak-anak yang mau meramaikan masjid, mulai anak SD hingga SMP seperti Marjun, Satrio, Jiar, Jengkly, dkk. Meskipun tidak ada orang tua yang mengawasi mereka di masjid, tapi mereka telah paham tugas dan tanggung jawab masing-masing ketika beribadah.

Selesai sholat maghrib dilanjutkan dengan membaca Al-Qur’an, ”Mari jo engku baca Al-Qur’an sama-sama” kata salah seorang anak kepada saya. ”Wah, engku nyanda bisa baca Al-Qur’an. Masih mo belajar kita dang” ujarku sambil tersenyum simpul, haha.

”Ini engku” Marjun Salor mendekati saya sambil membawa buku Iqro’, dia tersenyum lebar hampir tertawa kemudian berkata ”Kita mo kasih ajar pa engku, biar tahu baca Al-Qur’an dang”.

”Tapi Engku nyanda mau kalau belajar sendiri ya, kamu harus panggil anak-anak yang lain supaya mau juga belajar Al-quran sama-sama” jawab saya.

”Insya Allah” jawab Marjun singkat.

Keesokan harinya ketika magrib saya menuju ke masjid, dan cukup terkejut karena jumlah anak yang datang tidak seperti biasanya. Jika biasanya hanya beberapa anak saja, hari ini datang anak-anak dengan jumlah yang cukup banyak.

Delapan anak, ya delapan adalah angka yang cukup besar dan harus diapresiasi. Kenyataannya tantangan terbesar mereka untuk beragama adalah tentang keterbukaan pikiran tentang dunia luar. Tapi saya percaya mereka adalah anak-anak yang mau belajar dan ingin berubah.

Rasanya lucu sekali, Mereka mengajari sekaligus menyentuh saya lebih dalam dari dalamnya samudra luas yang terbentang disekeliling kampung ini. Namanya Marjun Salor, dia  adalah anak kelas IX di SMP 6 Satap Matutuang. Anak yang cukup baik prilakunya, dan dia cukup menguasai pengetahuan agama dibandingkan anak-anak seusianya bahkan orang-orang dewasa sekalipun.

Suatu ketika Marjun bertanya dengan sedikit berkeluh ”Wah, engku punya Al-Quran? Sudah juz berapa engku? Enak bisa baca sendiri dirumah, kalau kita dang kasihan harus pinjam-pinjam Al-Qur’an dari masjid”. Saya hanya tersenyum dan berkata, ”Insya Allah nanti kalau ikau rajin ibadahnya, Allah pasti mo kasih Al-Qur’an yang bagus pa dorang, engku sudah mo juz 4 doakan ya sebelum pulang ke Jawa bisa khatam, hehe”.

Marjun merupakan anak seorang nelayan, kedua orang tuanya saat ini sedang berada di Pulau Mamanuk yang jaraknya sekitar 1 jam perjalanan laut dari Pulau Matutuang. Sehingga ia hanya tinggal bersama keluarga kecil kakaknya di rumah. Selain Marjun salah satu anak yang cukup rajin ke masjid adalah Satrio dan Juliboy yang seakan tak pernah absen untuk menjemput saya di kampung bagian bawah, dan pergi ke masjid bersama-sama setiap magrib.

Anak-anak Matutuang mengajarkan pada saya jika tak perlu menjadi tua untuk menjadi pemimpin dan tak perlu malu untuk belajar kepada yang lebih muda. Keberanian mereka menegakkan apa yang diyakini dan dipercayai merupakan sebuah bukti bahwa masih terdapat harapan yang indah bagi bangsa ini. Anak-anak di ujung utara Indonesia ini percaya jika suatu saat nanti mereka dapat menggapai cita-citanya. Anak-anak Matutuang tak pernah mengutuk akan kegelapan, tapi berusaha sekuat tenaga membuat pelita yang terang tanpa mengeluh sedikit pun.

 


Cerita Lainnya

Lihat Semua