Matutuang Kekinian Sedari Dulu

AndhikaPrasetya Wijaya 1 Juli 2015

 

Pertama kali menginjak Pulau Matutuang yang sangat hangat dan ramah menurut saya. Saya tak bisa lagi menghitung berapa kali orang-orang mengucapkan "selamat pagi pak guru" dan "selamat pagi engku". Sangat manis dan memang benar-benar manis, lebih manis dari coklat susu yang pernah saya nikmati.

Pagi itu suasana kampung sibuk untuk menyambut kegiatan ”Ungke dan Momo Matutuang 2015” yang akan diadakan di ruang tunggu nanti sore. Ruang tunggu merupakan tempat untuk para penumpang menunggu datangnya kapal bersandar di dermaga pulau kami, tempat ini sering dimanfaatkan warga untuk kegiatan bersama. Anak-anak berkumpul di rumah salah satu guru yaitu, Ibu Malbia Salor yang juga ditinggali Shaskia pengajar muda VIII. Shaskia nampak sibuk mengarahkan anak-anak untuk bekerjasama menyelesaikan tugas masing-masing.

Menggunting hiasan dari kertas warna-warni, menggantung foto di ruang tunggu, memasang spanduk, menyiapkan sound system, disudut lain perkampungan nelayan itu nampak para orang tua semangat mendandani anaknya semenarik mungkin. Daun-daun dan gorden disulap menjadi gaun indah dan nampak mewah. Kegiatan tersebut merupakan inisiatif dari para guru-guru di SDN Matutuang untuk mengisi libur sekolah, para juri merupakan tokoh-tokoh yang peduli pendidikan anak di pulau tersebut. Kegiatan diawali dengan para peserta secara berpasangan berjalan ala model catwalk dengan pakaian tema alam.

Tak hanya menarik secara penampilan saja, para peserta juga diuji bakatnya masing-masing mulai menyanyi, menari, mengaji, mendongeng dan menggambar. Nampak sekali kerukunan antar warga Matutuang, dimana lagu rohani umat kristiani dan bacaan Al-Qur’an umat  muslim dikemas dalam satu penampilan. Acara juga diisi dengan penampilan anak-anak PAUD menari genit diiringi ”All About The Bass”, dance anak-anak SD ”Moves Like Jager” dan flashmob Pelangi Sangihe yang merupakan hasil dari Festival Anak Sangihe lalu. Saya benar-benar terkejut karena pulau yang saya pikir tertinggal ini sangat kekinian sekali, alunan musik yang biasa diputar disc jockey sangat melekat dengan para warga termasuk anak-anak Matutuang.

Pesta belum berakhir, setelah pemilihan Ungke & Momo acara dilanjutkan dengan buka puasa bersama. Satu hal unik dari buka puasa tersebut adalah semua makanan tersedia merupakan hasil sumbangan dari para warga yang rela memasak dan membawanya ke ruang tunggu untuk dinikmati bersama. Ikan panggang, ikan goreng, ikan kuah asam, puding coklat, pisang, sambal dabu, kukis dan berbagai kuliner lain terhidang lezat diatas meja panjang. Benar-benar kenyang rasanya menikmati kudapan istimewa yang diselimuti bumbu kebersamaan tersebut. Tiba-tiba dari kejauhan awan hitam dan angin bertiup kencang hingga kemudian hujan deras turun.

Lalu apakah kemudian berakhir? Tentu saja belum meskipun diguyur hujan deras, mereka tetap bersuka cita karena budaya orang sangir sangat suka menari maka saya pun diajak berdansa hingga malam. Kebetulan Malam itu adalah malam terakhir Pengajar Muda VIII bertugas di Matutuang, hingga jadilah semua warga ingin menghabiskan malam bersamanya. Tarian empat wayer merupakan tari khas dari Sangir, biasanya diiringi alunan lagu ceria dan para penarinya menari berputar secara berpasangan. Gerakan tari empat wayer mengandalkan gerakan kaki dan tangan, dimana pemimpin gerakan berada di barisan terdepan. Berputar dan terus berputar hingga berjam-jam, kalau dirasakan mungkin setara dengan lari pagi keliling lapangan bola berkali-kali.

Ya, inilah Pulau Matutuang berada di Kecamatan Kepulauan Marore yang merupakan daerah perbatasan dengan wilayah perairan Filipina secara langsung. Kecamatan paling utara dari Kabupaten Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara. Diameternya hanya 0,8 km dan dihuni oleh para pendatang dari suku sangir dan filipina. Anak-anak Matutuang sangat aktif dan tak bisa diam, mereka suka menyanyi, menari dan bermain drama. Tak dapat dipungkiri bahwa anak-anak Matutuang berhak menyandang gelar anak ”kekinian”, nampak dari selera musik dan berpenampilannya. Selama satu tahun kedepan saya, Andhika Prasetya Wijaya akan menjadi pelari terakhir pengajar muda di SDN Matutuang. (apw)

 


Cerita Lainnya

Lihat Semua