Hingga Urai Air Mata Sang Ibu untuk Pendidikan Anak yang Lebih Damai!
AndhikaPrasetya Wijaya 31 Mei 2016Masih ingat dengan Forum Keberlanjutan (FK) Desa Matutuang yang telah dilaksanakan pada 4 November 2015 lalu? Saat itu FK Desa Matutuang dihadiri dari berbagai pihak yang berperan dalam dunia pendidikan, antara lain sekolah, pemerintah desa, tokoh masyarakat, aparat desa, orang tua hingga masyarakat desa.
Beberapa hasil dari forum saat itu antara lain :
1. Masyarakat mengisi kekosongan guru ketika guru tidak berada di desa.
2. Mengaktifkan kembali komite sekolah SDN Matutuang.
3. Jam belajar anak (dirumah) pukul 17.00 – 19.00.
4. Pengawasan dalam persiapan ujian di sekolah.
5. Pertemuan 3 bulan sekali antara orang tua, guru dan pemerintah kampung.
Pada 21 April 2016 lalu, tepat di semangat Hari Kartini diadakan forum pendidikan bersama segala unsur yang berperan untuk kembali bersama meninjau pelaksanaan FK Desa Matutuang tersebut. Saya sebagai pembawa acara dan moderator dalam kesempatan tersebut membuka forum dengan kesepakatan dan pembacaan urutan acara.
Forum diawali dengan informasi-informasi pendidikan mulai kebanggaan dalam keikutsertaan SDN Matutuang di Festival Anak Sangihe 2016 hingga mendapat kategori Kontingen Pramuka Terbaik I, Guru Pendamping Terbaik I serta dapat tampil di depat Bapak Bupati Kepulauan Sangihe, Pelaksanaan Ujian Akhir Sekolah, Ujian Praktek dan Ujian Nasional.
Sesi selanjutnya, tentang pembahasan rencana tindak lanjut hasil FK Desa Matutuang poin per poin. Mengisi kekosongan guru, selama hampir enam bulan ini pada november lalu jumlah guru di SDN Matutuang berjumlah 4 PNS dan 2 honorer, saat ini bertambah 4 guru honorer hingga berjumlah 10 guru termasuk kepala sekolah. Di SMPN 6 Satap Tabukan Utara, Matutuang juga terbilang cukup guru dengan 2 PNS dan 5 honorer. Sehingga dapat dikatakan jika pelaksanaannya telah sesuai dengan hasil forum untuk mengatasi kekurangan guru di Pulau Matutuang.
Jam belajar, pada poin ini para peserta saling melemparkan pandangan tentang konsep pelaksanaan jam tersebut. Mulai tokoh agama, orang tua murid, guru, pemerintah desa semua mengutarakan tentang pendapat masing-masing. Hingga pembahasan mulai melebar sampai pada proses belajar mengajar di sekolah, kekerasan di sekolah, hingga masalah kesalahpahaman pihak sekolah dengan keyakinan pandangan agama dan adat setempat.
Mengarahkan forum ini tentu bukanlah hal yang mudah, karena semua telah terpancing dengan topik pembahasan yang memang pantas dibahas satu persatu hingga tuntas. Meninggalkan sejenak tentang jam belajar dan mulai membahas topik besar lainnya, kekerasan di sekolah dan kesalahpahaman pihak sekolah dengan agama dan adat budaya.
”Baiklah, karena pembahasan mulai berhubungan dengan sekolah maka saya akan mengutarakan sesuatu. Kemarin ketika saya sampai di desa banyak warga yang bicara masalah anaknya dipukul, disuruh hormat bendera hingga dikasih lidi di mulut. Sekarang saya minta untuk guru-guru yang bersangkutan bisa menjelaskan” ujar L.T Nanangkong, Kepala Sekolah SDN Matutuang mencoba menengahi masalah kekerasan anak.
”Saya punya cara saya dalam mendidik anak, memang saya tegas dan disiplin. Tapi itu saya lakukan kalau memang anak sudah terlalu keterlaluan dan tidak mau mendengar. Saya suka anak mendengar kalau saya sementara menjelaskan di kelas” penjelasan salah satu guru yang mengaku melakukan hukuman kepada siswanya dengan alasan kedisiplinan.
Di deretan bangku belakang seorang mama paruh baya mengangkat tangannya dengan muka sedikit gusar dan seolah menahan emosinya yang akan segera meledak. Dia adalah salah satu orang tua siswa yang mendapat hukuman dari sang guru.
Dengan menggunakan Bahasa Sangir dan terbata-bata karena mengusap air matanya yang tak tertahan ia berkata, ”Saya tahu pak anak saya memang namanya Bogoy (dalam bahasa setempat adalah sebutan yang berkonotasi negatif seperti nakal, penjahat atau brutal), tapi dia tidak nakal. Saya tahu maksud bapak baik, bapak ingin anak-anak jadi disiplin. Tapi kasihan pak, anak saya sampai tidak bisa makan karena katanya dikasih lidi di mulut sampai luka. Tapi tolong pak, saya titip anak saya di sekolah, jangan dibuat begitu. Saya mendukung apapun yang dilakukan sekolah, saya percaya”
Sentak suasana menjadi hening dengan uraian air mata sang ibu yang berharap penerapan pendidikan yang lebih ramah dan damai untuk anak-anak. Tak selang beberapa lama, forum kembali memunculkan suara-suara yang menyeruak untuk membahas topik hangat lain yaitu tentang keyakinan dan budaya setempat.
Beberapa waktu lalu sempat terjadi kesalahpahaman antara SMPN 6 Satap Tabukan Utara, Matutuang dengan warga karena mewajibkan siswanya untuk menari Ampa Wayer, salah satu tari tradisional Sangihe. Salah satu pihak di Matutuang menganggap jika Ampa Wayer mengandung muatan yang kurang sesuai dengan keyakinan mereka, sehingga anak-anaknya tidak diperkenankan untuk menari tari tersebut. Kesalahpahaman terjadi ketika seorang anak menceritakan hal tersebut kepada salah satu warga, hingga menyulut amarah warga lain untuk bertindak tanpa meminta penjelasan terhadap pihak sekolah terlebih dahulu.
”Saya mewakili dari pihak pemerintah, orang tua dan guru meminta adanya komunikasi yang baik antara orang tua, masyarakat dan sekolah. Jangan sampai terulang kemarin, tidak ada komunikasi yang baik hingga tersulut berbagai pihak, tiba-tiba ada dibawa ke pihak polisi. Saya memukul anak, untuk mendidiknya, saya akan memukul juga ada rasa bagaimana dan tidak tiba-tiba kasih keras mau pukul. Saya tidak mau jika nanti anak ini akan jadi pengadu domba antar orang tua, mau jadi apa ini anak nanti. Dan syukur anak itu sudah menunjukkan perubahan yang baik, sudah mulai mengerti bagaimana menjaga bicara. Intinya mari kita bangun komunikasi yang baik” Urai Ibu Ch. N Manapa, Wakil Kepala Sekolah SMPN 6 Satap Tabukan Utara, Matutuang menerangkan tentang kejadian pemukulan siswa karena kurangnya komunikasi antara orang tua dan pihak sekolah.
Ibu Kepala Sekolah SDN Matutuang, mengakhiri dengan kalimat bahwa seharusnya semua isu dan kesalapahaman tidak terjadi jika komunikasi terjalin dengan baik. Benang kusut tersebut mulai terurai helai demi helai dengan adanya komunikasi terbuka pada forum tersebut. Semua bermula dari tidak adanya komunikasi yang baik hingga menghadirkan masalah yang harusnya tidak menjadi persoalan besar. Kembali ke jam belajar, ketika semua sudah mulai terkuras pikiran mengenai isu-isu tersebut. Pak Julikson mengutarakan, ”Sebenarnya jam belajar intinya adalah bukan untuk memberikan jam anak untuk menonton TV, tapi untuk agar anak belajar. Jadi dari pihak pemerintah kampung sudah bersedia menjaga agar anak tidak menonton TV hingga jam 8 malam, maka tugas kita sebagai orang tua adalah manjaga agar anak mau belajar tidak tidur setelah menonton”
Secara keseluruhan hasil forum terlaksana dengan efektif dan lancar. ”Siapa yang melanjutkan? ” ucap Bapak Julikson di akhir sesi forum hari itu, tokoh agama di Matutuang. Beliau menanyakan siapa yang akan melanjutkan kegiatan atau forum-forum pendidikan yang selama ini menurut pandangan beliau dibantu oleh sosok Pengajar Muda.
”Torang mau lanjutkan no, meskipun Indonesia Mengajar sudah habis tapi tetap mau bikin pertemuan seperti ini” pungkas Ibu L.T. Nanangkong dengan menggebu-gebu dan optimis. Hari itu pula dipilih Komite Sekolah yang terdiri dari Ketua, Bendahara dan Sekretaris. Sungguh luar biasa rasanya bisa mampu menjadi saksi dari perjuangan pendidikan di Matutuang, sebuah pulau kecil yang dulu tak berpenghuni tapi kini memiliki anak-anak yang berpotensi dan penuh impian.
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda