info@indonesiamengajar.org (021) 7221570 ID | EN

”Engku, One Plus One Pira?”

AndhikaPrasetya Wijaya 10 November 2015

 

 

Siang itu saya baru saja pulang dari sekolah, berjalan dibawah matahari yang terik membakar kulit. Singgah di warung milik orang tua asuh saya sembari menunggu makan siang siap. Dari kejauhan nampak Jemmico dan Doram, kakak beradik yang sedang berlarian kesana-kemari. Kemudian mereka menyapa saya dengan sebutan ’Engku’ sebutan untuk pak guru yang belum menikah di daerah Sangihe.

“Engku one plus one pira (satu tambah satu berapa)?” tanya Potpot, panggilan akrab Jemmico Sasamu.

“two” jawabku singkat.

Potpot tersenyum sambil menganggukan kepalanya.

“two plus two pira?” Potpot kembali bertanya.

“four” sahut Doram Sasamu sang adik.

“three plus two?” Potpot kembali bertanya.

“Five” jawab Doram tegas.

                Mereka kembali berlarian bermain sesuatu yang dapat dibuat mainan disekitarnya, tali, batu, pasir putih, dan kipas bekas. Kipas bekas? Ya, kipas plastik bekas yang sudah terpisah-pisah bagiannya. Potpot menjadikannya mainan pedang-pedangan, dilempar dan dipatahkan. Lalu dibuat mainan apa si Doram?

“Engku, six” kata Doram sambil meletakkan batang-batang kipas bekas sejajar berjumlah enam buah.

”Two”

“Three”

“Ten”

“Doram, three plus two pira?” tanyaku sambil meletakkan batang kipas berjumlah tiga buah.

“one, two, three, four, five” hitungnya sambil menambahkan dua batang kipas disebelah tiga buah batang kipas yang ada.

                Tidak hanya berhitung dengan menggunakan ’sampah’ tersebut, Doram juga membuatnya menjadi berbagai bentuk unik sesuai imajinasinya, mulai istana, bintang, dan pagar. Jemmico dan Doram terhitung masih baru di Desa Matutuang, orang tua mereka sebelumnya tinggal di Pulau Balut yang masuk di wilayah negara Filipina, bahkan orang tuanya masih belum fasih berbahasa Indonesia.

                Doram baru duduk di kelas 1 dan Jemmico kelas 2, mereka sangat cepat dalam menerima pelajaran. Mereka juga cepat dalam belajar Bahasa Sangir dan Bahasa Indonesia, karena sebelumnya hanya mengenal Bahasa Bisaya (bahasa daerah Filipina) dan Bahasa Tagalog. Maka seringkali saya diajari Bahasa Bisaya oleh Jemmico, misalnya ’ilung’ untuk hidung dia akan menunjukkan hidungnya sambil menyebutkannya dengan Bahasa Bisaya bagian tersebut. Doram dan Jemmico adalah contoh anak-anak cerdas di perbatasan Indonesia yang perlu diperhatikan agar bakat dan minat yang dimiliki tidak menguap sia-sia.


Cerita Lainnya

Lihat Semua