Si Kembar Dan Si Perawan

AminahTul Zahroh 27 September 2015

SEGALANYA akan tetap terkesan. Mendalam sekali di lubuk hati saya bertemu dengan dua anak laki-laki kembar pagi itu. Ternyata sejak matahari belum menampakkan wajahnya ke permukaan, anak-anak itu sudah menunggu saya di pesisir pantai Desa Woro. Anak kembar itu sudah menunggu saya sejak lama. Iya dia menunggu di pesisir pantai woro sambil tersenyum.  Ini adalah salah satu desa yang ada di kecamatan Parado. Desa ini berdekatan dengan perbatasan  laut Hindia. Butuh waktu 3 jam untuk sampai ke desa ini dari pusat kecamatan Parado. Dengan perjalanan yang diwarnai dengan banyak tantangan. Kemarin sore saya tiba di desa ini. Saya datang ke desa ini dengan menggunakan sepeda motor yang saya pinjam dari sanak saudara ibu Nutfah (sahabat pengajar muda). Dalam perjalanan menuju desa ini sudah tiga kali saya jatuh dari motor keadaan tanahnya mudah turun, jalan berliku dan menanjak. Batu kapur besar kerap saya temui. Ban motor masuk ke dalam lubang terkadang membuat saya tertantang untuk bisa melewati dan mencari solusi yang strategis. Ibu Nutfah sering turun dari motor dan memilih berjalan kaki saat jalan mulai menanjak dan  batu-batu kapur besar mulai ditemui. Bagi saya jalan ini seperti hidup jika yang besar sudah bisa teratasi maka ke depannya jika bertemu lagi tidak mudah berputus asa dan saya akan mengatakan “saya sudah melewati yang besar”. Melewati tiga kali jatuh membuat lutut, tangan dan pinggang saya luka-luka akibat menahan beratnya motor dan benturan batu kapur besar. Hal ini juga yang membuat selama perjalan kami diisi dengan banyak tertawa, tertawa mentertawakan diri sendiri saat mulai membangunkan motor dan melihat ke kaca spion wajah dan pakain sudah penuh debu dari batu kapur. Hewan-hewan yang berkeliaran monyet, sapi, burung, ular dan kalau berjodoh bakal bertemu babi hutan besar berwarna hitam. Kesulitan selama perjalanan dan rasa lelah akan hilang saat saya mulai melihat anugrah alam yang indah luar biasa memanjakan mata ini. Birunya laut samudra Hindia, bak perawan incaran semua orang. Hembusan angin dengan lembut, langit berwarna biru cerah dan kehidupan di dasar laut dapat terlihat dengan jelas. Sungguh alam ini seperti perawan,

Saya dan bu Nutfah  berlarian di atas pasir putih, sesekali bersenandung lagu “Tanah Air”. Sambil mengabadikannya ke dalam video. Pagi itu saya memang berencana ingin pergi ke atas bukit untuk melihat matahari terbit dan melanjutkan pergi ke patung kapal (batu yang diimani masyarakat berbentuk seperti kapal). Anak kembar itu mengamati kami sedari lirik pertama. Sepertinya smart phone dan tongsis yang saya bawa menarik perhatiannya.  Kemudian mereka membuntuti kami sambil berlarian. Dengan manja dua kembar itu mendekati dan  berbicara”Kakak handpone ” (Bahasa Bima) sambil menunjuk ke arah kantong rompi baju. Saya tahu maksud dua anak kembar ini. Sambil berjalan ke arah barat bebatuan raksasa saya keluarkan smart phone dan memberikannya pada si kembar. Saya pun mengajarkan cara kerja smart phone ini. Nampaknya si kembar tidak sabar dengan penjelasan saya. Jari-jarinya terus menggeser-geser smart phone. Melihat rasa penasaran si kembar ini, kemudian saya berikan kebebasan untuk mereka bermain-main dengan smart phone dan tongsis yang saya bawa.

Saya ingat benar, celoteh-celoteh si kembar dan kepanikan ketika layarnya berubah-ubah tampilan. Lalu dengan lucunya si kembar bergaya mengikuti tingkah saya saat selfie. saya tersenyum melihat tingkah si kembar. Tidak pernah saya melihat ekspresi seperti ini pada anak-anak di kota-kota besar.

Setelah si kembar puas dengan mainan barunya, saya mengajaknya duduk di atas batu. Mereka terus memandangi ke arah rompi yang saya kenakan. 

Perkenalan Dimulai

Si kembar mengeja tulisan nama saya yang menempel di dada rompi yang berwarna hijau “A-M-I”Ami,..ibu Ami”. Kemudian anak-anak itu duduk di samping kanan dan kiri saya.

“Hay perkenalkan, nama saya Aminah Tul Zahroh kalian bisa panggil saya ibu Ami”.

“Ibu Emo?

“Iya ibu Emo”

“ibu mene?

 “iya ibu Mene”

(Semua nama orang ketika sudah masuk Bima akan diganti dengan panggilan kehormatan dengan rumus tersendiri) Emo artinya akar. Suatu kehormatan untuk orang-orang yang dipanggil dengan rumusan yang mereka yakini. Namun Sebaliknya jika memanggil dengan nama asli, artinya itu tidak sopan.

“Dengan ibu kalian bebas , bisa panggil ibu Ami, ibu Emo atau ibu Mene”

“Nama kamu siapa?”

“Raska dan Riska”

Cukup lama saya berkenalan ini, hanya untuk tau siapa namamu? anak-anak ini ternyata belum bisa memahami percakapan dengan menggunakan bahasa Indonesia. Saya sudah antusias ingin mengajak si kembar bercakap-cakap dengan bahasa Indonesia. Saya tidak kehabisan akal gerakan tubuh anak-anak ini menterjemahkan pertanyaan-pertanyaan lainnya.

 Biarkan gambar-gambar menyampaikan pesan

Si kembar masih di sisi kanan dan kiri saya. Saya membuka folder album foto untuk ditunjukkan pada mereka. Disana saya tidak menjelaskan pesan-pesan yang ingin disampaikan oleh foto yang saya pamerkan. Saya menginginkan anak-anak ini menanyakan apa yang ingin ditanyakan. Saya pandangi wajah si kembar ini yang tengah asyik membolak balikkan foto, saya merasa senang. Wajahnya hitam mulus karena sering menyelam ke dalam air laut, giginya kecil dan berwarna kekuningan, matanya bulat merah, senyumnya manis, rambutnya hitam pirang karena sering bermain di pesisir pantai.

“kereta api seperti apa ibu?”(Bahasa Bima)

“Kereta api seperti ini sayang” saya menunjuk ke arah smart phone.

“Di bima ada bu”? (Bahasa Bima)

“Tidak ada sayang, karena keadaan tanah di bima itu berbukit-bukit. Sedangkan dataran rendahnya hanya di beberapa tempat saja dan masih banyak alasaan lainnya.

“Apa di sini ada pesawat terbang ibu”? sambil menunjuk smart phone.

“ibu belum sempat memotretnya sayang”

Beruntunglah saya dibantu oleh bu Nutfah dengan menterjemahkan bahasa Dana Mbojo.

Saya membiarkan kembali si kembar bermain-main dengan smart phone milik saya. Kemudian saya menghadapkan wajah saya ke arah laut lepas. Hembusan angin laut yang lembut, langit biru, gumpalan awan putih, percikan ombak yang sesekali mengenai wajah kami, laut yang berwarna biru. Semua  ini menyadarkan kembali siapa saya, kepada siapa saya harus menyampaikan rasa syukur yang paling dalam. Saya rasa, saya mulai memahami arah mengapa Allah mengantarkan saya sampai ke titik ini.

“Allah tidak akan menguji hambanya di luar kemampuannya”.

Saya tidak melihat ada keluhan pada raut wajah si kembar, padahal musim kemarau terasa lebih panjang, sumber air bersih sangat langka, jalan untuk ke luar desa ini  pun tak kunjung diperbaiki oleh pemangku kepentingan, jalannya berbukit-bukit rusak dan hanya ada batu-batuan, kalau hujan tiba jalan ini licin sekali, bisa tergelincir jatuh bagi pengendara roda dua, jika malam tiba tidak ada listrik. Hanya orang-orang yang mempunyai solar untuk menyalakan lampu. Allah itu ada dan selalu memayungi hidup kita. Dalam segala kesulitan dan kegelapan, kita akan merasakan akan ada tangan yang terulur yang akan menompang hidup kita dan membuat kita aman, tentram dan bahagia.

Beri saya waktu, untuk bermain lebih lama lagi di sini

Saya suka laut

Saya berbahagia melihat laut

Saya menikmati setiap hembusan yang menyapa wajah ini

Saya ingin bercengkrama dengan laut lebih lama

Di pesisir itu hanya untuk memandang ke arah laut lepas yang luas

Atau sekedar menatap langit yang biru

Untuk memastikan ada banyak wajah yang tengah mengarah ke arah yang sama, bahwa kita masih berada di langit yang sama

Saya tidak pernah bosan menatapnya

Birunya laut

Birunya langit

Warna yang menyenangkan

“Ibu Amiiiii” teriak teman saya dari kejauhan. “ini sudah waktunya pulang”. “Siap” jawab saya. Saya berlarian ke arah pinggiran laut, menenteng sendal berwarna merah”. Tapi saya melihat ada perahu, perahu itu memancing rasa penasaran saya. sudah lama saya ingin naik perahu, meskipun saya tahu keberanian saya akan menciut saat di tengah-tengah lautan. Karena saya belum bisa berenang.

Seorang nelayan menawarkan saya menaiki perahunya yang sedang bersandar di pesisir laut. Akhirnya keinginan saya terkabul, saya diberi kesempatan menaiki perahu. Si kembar dan bertambah satu teman perempuan masih membuntuti saya. menaiki perahu Meskipun saya tahu nelayan itu tidak akan menjalankan perahunya  ke tengah laut setidaknya bisa menghilangkan rasa penasaran saya. itu saja sudah cukup bagi saya.

Aaaaaaaaa.........

Wowwwww..........

Aaaaaaaaa..........

Teriakan saya membuat anak-anak itu tertawa terbahak-bahak, mereka menatap lucu melihat ketakutan saya saat kapal mulai bergoyang-goyang dengan kencang. Sedangkan tiga anak yang sedari tadi membuntuti saya dengan sigap membuka baju dan celananya. Kemudian ia langsung meloncat ke dasar laut dengan gaya loncat sambil jungkir balik. Beberapa kali mereka menunjukkan lompatan indahnya kepada saya. Betapa nikmatnya, mereka bisa melakukan apa yang tidak bisa di lakukan anak-anak kota lainnya.

Sungguh bagi saya semua berkesan

Maka berilah saya waktu untuk tetap tinggal di sini lebih lama

Saya  teringat semalam pak Adi bercerita di rumahnya, Pak Adi adalah guru di SMP Woro, anak sekolah di desa ini saat KBM (kegiatan belajar mengajar) berlangsung jika mereka mendengar suara bom ikan dari laut anak-anak langsung bubar kelas dan semua menyeburkan diri ke laut. Mereka berebut mendapatkan ikan. Bukan hanya itu warga desa pun turut terjun ke laut berebut mencari ikan. 

Dua hari satu malam di desa Woro membuat saya berpikir agar saya hadir di ruang-ruang kelas SDN Inpres Woro membagikan sedikit ilmu yang saya miliki, kreatifitas, kemampuan, pengalaman, harapan dan cita-cita pada anak-anak ini. Dengan begitu saya bisa berinteraksi lebih lama di sini.

Ya hadir di ruang-ruang kelas, menghidupkan harapan dan cita-cita calon pemimpin masa depan.

 

 

Bima, 18 Juli 2015 (Di Bukit Rumah Putih)


Cerita Lainnya

Lihat Semua