Bumi Paradise

AminahTul Zahroh 27 September 2015

Monyet-monyet turun ke jalan

Burung-burung terbang dengan bebas

Sapi-sapi tidak diikat

Kambing-kambing bebas berjalan

Serangga merayap-rayap

Jika senja tiba babi turun ke jalan

Di kelilingi pohon kemiri, durian dan parongge

Saya dibuat takjub ketika memasuki Bumi Paradise. Apa saya sedang ada di Texas? Ahhh....keren sekali tebing-tebing ini mirip sekali seperti yang saya sering liat di film-film action. Apa saya sedang di taman safari? Burung-burung berterbangan dengan bebas, sapi dan kambing tidak diikat dan bebas berkeliaran sehingga hewan-hewan itu bisa memasuki perkarangan halaman warga atau memasuki dapur warga kapanpun mereka mau.Hewan-hewan ini sesekali membuat kaget pengendara yang sedang melaju dengan cepat. Siapa pemilik hewan-hewan ini? “Sudah anggap saja ini taman safari gratis untuk kamu yang akan tinggal di Bumi Paradise ini”, jawab teman di sebelah saya. Ia adalah Novia Budiarti Pengajar Muda angkatan VIII (PM-VIII). Gadis beruntung yang ditempatkan di Bumi Paradise ini berasal dari Tangerang, Jawa Barat. Satu tahun sudah ia bertugas di Bumi Paradise. Dengan lancar ia menggunakan bahasa Bima. Bahasa yang sama sekali belum saya fahami.

Sepintas bahasa Bima ini seperti ketika saya mendengar percakapan campuran antara orang India, Korea dan Bugis semua menjadi satu. Sesekali Via panggilan akrabnya, mengajarkan saya bahasa Bima. “Senta Beta Ina” (permisi ibu). “Kalembo ade” (sabar, mohon maaf, harap dimaklum). Kalimat ini banyak sekali maknanya.  Sepanjang jalan menuju desa, Via membagikan pengalamannnya pada saya. Via bersuara unik. Ia bisa menirukan suara dengan karakter kartun yang ada di TV. Wajahnya juga menarik. Ia seperti kelebihan tenaga saat bercerita tanpa tanda jeda. Pembawaannya menarik, sangat antusias, mudah berteman dengan siapa saja dan ia juga banyak digemari para ina-ina(ibu-ibu) di Bumi Paradise. Ia tidak sungkan untuk berpendapat atau memberikan saran. Beruntung saya bertemu dengan orang seperti dia. Ia yang akan mendampingi saya selama masa transisi di desa.

Paradowane

Mobil Avanza berwarna hitam milik pribadi Bapak Muhammad Ghani atau Pak Geen yang merupakan salah satu staf yang bekerja di Kecamatan Parado. Mobil hitam itu menurunkan saya di depan pintu pagar rumah batu yang belum rampung dibangun. Di balik sebelah kanan pagar kayu yang tingginya melebihi ukuran tubuh saya itu, terdapat kebun singkong dan macam-macam tanaman lainnya yang tidak saya ketahui jenisnya. Di depan pintu masuk terdapat tanah yang kosong tanpa adanya tumbuhan. Di depan rumah terdapat bale yang terbuat dari bambu. Rumah batu ini tanpa cat di dinding, masih dalam bentuk bangunan yang belum rampung dibangun. Susunan batu bata berwarna merah mengelilingi tiap ruang yang ada di rumah itu.

‘Assalamualaykum Ina’ sapaan salam dari kami. Saya mengikutinya dari belakang sambil mengangkat barang bawaan. ‘Walaykumsalam wah Bu Via dengan Bu Ami’ jawab Ina. Senyumnya merekah lebar, ia dan ketiga anaknya menyambut saya yang tengah berdiri di depan pintu.

Wanita paruh baya berperawakan kurus, kulit coklat, senyum lebar ini adalah Ina Sarifah. Beliau adalah wanita luar biasa yang ada di desa Paradowane. Rumahnya selalu terbuka lebar untuk siapapun. Ketiga anak perempuannya bernama Ika, Aisyah, dan Dilla. Sedangkan suaminya bekerja di Malaysia sebagai TKI(Tenaga kerja Indonesia).

Sambutan hangat dari penghuni lama Bumi Paradise, Desa Paradowane

Senyum merekah lebar milik hati yang tulus

Pancaran mata yang antusias

Genggaman tangan yang erat

Bala bantuan yang bisa diberikan

Pertanyaan-pertanyaan antusias

Tidak ada basa-basi di sini

Aura  tulus yang mereka berikan’semua itu terasa’

Semua natural....

“Selamat Datang di Desa Paradowane Bu Ami, kalembo ade buk” iya Ina ‘sambil tersenyum jawab saya’.

Anak-anak berlari tergesa-gesa memasuki perkarangan rumah batu milik Ina Sarifah.

“Assalamualaykum ibukkk....” salam dengan suara agak keras dari depan pagar rumah.

Rumah batu ini, dalam waktu singkat dipenuhi anak-anak yang berdatangan

Rumah batu ini, yang tidak berukuran terlalu besar dan luas membuat para anak-anak yang berdatangan meluap sampai ke depan pintu rumah. Kedatangan Via dan saya cepat sekali diketahui oleh warga Desa Paradowane. Anak-anak itu duduk berdesakan mengelilingi saya. Mengamati saya dari ujung kepala sampai ujung kaki. Mereka terus tersenyum dan mengedipkan mata.

Ibu Ami.... ‘memanggil saya dengan suara lembut’

Ibu berasal dari mana? Dari Bekasi ‘jawab saya’

Wahh....berarti sama dengan Ibu Via? “ Tidak sama nak, Bu Via di Tanggerang nah.... kalau Bu Ami di Bekasi, tidak terlalu jauh dari tempat ibu masih di daerah Jabodetabek”.

“Ibu kuliah di mana?”

“Sekarang ibu sudah lulus kuliah, Nak. Sebelumnya Ibu kuliah di UMJ”.

“Apa itu UMJ,Bu?

”UMJ itu Universitas Muhammadiyah Jakarta,Nak”

“Wahhh di Jakarta ya....” Mata mereka berkaca-kaca menampakan kekaguman mereka dengan Jakarta’.

“Ibu kenalkan nama saya Uchi, saya anak tercantik seeeeeedunia” sambil tersipu malu ia memperkenalkan dirinya dan kemudian menutup wajahnya.

“Perkenalkan juga, nama Ibu....Ami.”Mereka saling menyenggol tangan teman di sebelahnya dan berbisik namanya Ibu Ami.

Dari arah belakang saya duduk ternyata ada anak yang mengamati saya sedari awal. Ia mendekatkan jari tangannya dengan jari tangan saya. “Ina sarumbuna burra samangi” (Ibu kulitnya putih sekali).” Kemudian jari tengah dibandingkan degan jari tengah anak yang mengamati saya sedari awal saya duduk. “Terimakasih”,jawab saya. “ Kamu juga cantik, Nak.”.

Suara anak-anak yang mengelilingi saya menarik perhatian saya.Ingin sekali saya memahaminya. Ikut bercerita bersama anak-anak, tertawa bersama mereka, berdiskusi bersama, ingin rasanya saya bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan anak-anak yang senang bertanya ini dengan bahasa yang mereka gunakan.

Anak-anak izinkan Ibu menjadi bagian dari kalian

Izinkan ibu melanjutkan apa yang sudah PM-PM sebelumnya lakukan

Saya sungguh beruntung walaupun saya harus mencari sinyal di tengah lapangan sekolah samping pemakaman umum (TPU), menimba air sebelum mandi, menginjak kotoran sapi yang tidak terlihat di malam hari, mencium aroma khas anak-anak yang tak kunjung mau mandi dan  beradaptasi dengan para serangga yang singgah di kayu-kayu rumah.

Lagi dan lagi saya tidak henti mengucap syukur. Terimakasih ya Allah atas segala doa dan harapan saya yang Engkau kabulkan. Saya menemukan desa yang menyenangkan, desa dengan masyarakat menerima saya dengan tangan terbuka, desa yang akan menjadi tempat tinggal saya selama satu tahun ke depan. Ini merupakan kesempatan langka yang saya miliki. Tidak bisa dibayar dengan materi berbentuk apapun.

Saya akan memberikan yang terbaik untuk Bumi Paradise ini

 

Parado, Kab . Bima 30 Juni 2015 (Ruang Inspirasi)


Cerita Lainnya

Lihat Semua