Di Rumah Panggung

AminahTul Zahroh 30 Agustus 2015

Rumah Panggung Di sana Saya Kembali

Di rumah panggung berwarna coklat

Halaman luas, dikelilingi tanaman lompong

Dipagari bambu-babu yang berjajar dengan rapi berwarna abu-abu kusam

Dikelilingi rumah-rumah panggung lainnya

Rumah-rumah panggung lainnya terisi oleh para pekerja kayu pembuat rumah kayu

Orang-orang yang bersahutan keras dari jendela ke jendela saat berkomunikasi

Ramai anak-anak berlarian

Ramai ina-ina(ibu-ibu) mencari kutu di atas tangga depan rumah panggung masing-masing

Ramai para pemuda yang bermain voli di lapangan tanah merah

Ramai amak-amak(bapak-bapak) berkerumun di atas balai sambil menghisap rokok

Ramai suara lonceng yang menempel pada kalung sapi yang tidak diikat tali

Sapi-sapi gemuk dan besar yang keluar-masuk  pagar halaman rumah tanpa permisi

Sapi-sapi gemuk dan besar yang bebas membuang kotorannya dimanapun yang ia sukai.

Di Rumah Panggung

Saya mempunyai keluarga baru disini.Saya temukan rasa tentram dan damai di rumah panggung ini. Rumah ini diisi oleh keluarga yang penuh cinta. Dae’ (Bapak) Muhammad adalah bapak saya. Laki-laki berusia 54 tahun ini lahir di Ngali, Bima. Bertubuh kecil, berkulit hitam bersuara lembut itulah Da’e, bapak saya.Dae’ seorang petani sukses yang rendah hati, ia senang berbagi pengalaman., Dae’ tidak pernah bersikap keras pada anak-anaknya. Dae tidak pernah meminta anak-anaknya bekerja membantunya. Beliau membiarkan anak-anaknya bekerja bukan karena perintah tetapi karena keinginan mereka sendiri. Hal ini karena menurut beliau,bekerja atas dorongan diri sendiri yang bekasnya akan panjang. (dek, coba perjelas maksud kamu apa di sini). Setiap hari saya dibuat kagum oleh Dae’. Beliau menganggap saya seperti anak kandungnya sendiri. Dae’ selalu menanyakan kabar saya saat saya pergi jauh dari rumah untuk melakukan aktivitas. Dae’ selalu khawatir jika saya bepergian sendirian. Bersama Da’e saya temukan ayah saya. Ayah yang sudah meninggal sejak saya berusia sepuluh bulan, karena sakit tifus. Tidak pernah saya mendengar Dae’ berkata kasar atau keras. Perkataannya selalu positif. Dae’ sangat apresiatif. Semua yang saya lakukan Dae’ mendukungnya. Terimaksaih Dae’ atas semua usaha yang diberikan kepada saya. Di rumah panggung saya kembali.

Di rumah panggung, saya mempunyai mama Ramlah. Mama Ramlah adalah ibu saya. Wanita paruh baya berusia 48 tahun ini lahir di Desa Paradowane, Bima. Saya memanggilnya dengan sebutan mama. Ia tidak kalah hebat dari Dae’. Mama memanggil saya dengan sebutan kakak.Mama senang sekali masak.Masakan mama membuat berat badan saya bertambah 2 kilo dalam satu bulan ini.Mama bertubuh besar, berkulit coklat dan memiliki senyum yang lebar. Mama senang bercerita.Mama selalu memberikan kejutan. Awal saya datang ke rumah panggung saya disiapkan kamar istimewa di dalamnya terdapat kasur dipan berwarna coklat memakai seprai berwarna merah muda, kelambu yang sudah terpasang berwarna merah muda bermotif bunga-bunga, empat bantal empuk dan satu bantal guling yang disusun rapi.Meja untuk bekerja menghadap ke jendela, lantai kayu yang dilapisi karpet hijau. Siapa yang tidak senang seorang PM mendapat kamar seperti kamar pengantin. Saat malam tiba, saya selalu mendapatkan kejutan di meja kamar saya. Mama menyiapkan teh manis hangat bersama dengan sepiring singkong rebus buatannya. Setiap kali saya tanyakan “siapa yang menyiapkan?” Mama bilang”Untuk kakak yang setiap malam begadang karena bekerja di dalam kamar.” Beruntunglah saya memiliki keluarga baru yang pandai berkomunikasi dengan bahasa Indonesia dengan lancar.  Di rumah panggung ini tidak ada dinding diantara kami. Kami berinteraksisudah seperti keluarga endiri. Selain itu, mama senang mengajari saya menyalakan api memakai kayu.Mama juga senang memasak bersama saya. Mama selalu berkata-kata dengan lemah lembut. Walaupun biasanya orang Bima saat berbicara sangat keras, tetapi di rumah panggung ini saya tidak pernah mendengar ada yang bersuara keras. Terimakasih mama, kakak akan memberikan cinta untuk penghuni rumah panggung ini.

Dua Adik Saya

Pasangan Mama Ramlah dan Dae’ Muhammad memiliki empat orang anak.Anak pertamanya bernama Ahmad Yani panggilan akrabnya Yani, berusia 27 tahun. Saat ini ia bertugas sebagai brigadir di Papua Barat. Kurang lebih tiga kali dalam sehari Mama dan Dae’ berkomunikasi dengan Kak Yani lewat telepon. Mama dan Dae senang sekali saling bercerita walaupun hanya lewat telepon saja. Baru kali ini saya melihat orangtua yang sering sekali menanyakan kabar anak-anaknya. “Mama ko keren banget sih” saya sering bilang seperti itu kepada Mama. Anak kedua mereka bernama Nuryati, panggilan akrabnya Yati, berusia 26 tahun. Kak Yati tinggal di kota Bima bersama dengan suaminya dan satu anaknya. Mama dan Dae’ memberikan perlakuan yang sama kepada Kak Yati seperti yang mereka lakukan kepada Kan Yani.Dae’ dan Mama memiliki cinta dan kasih sayang tanpa batas.

Di rumah panggung, saya mempunya adik yang penuh hormat..Adik-adik ini adalah anak ketiga dan keempat keluarga ini. Jika di rumah saya sendiri di Bekasi, saya menjadi adik,di rumah panggung ini saya berperan menjadi kakak. Adik saya bernama Musliyadi yang akrab di panggil Dae’ Leo berusia 14 tahun dan Fifiyanti yang akrab dipanggil Fifi, ia berusia 12 tahun. Dua adik saya ini sangat luar biasa.

Saya selalu dibuat kagum oleh dua adik ini. Dae’ Leo senang sekali mengajak saya berbincang-bincang dengan menggunakan bahasa Bima. Walaupun saya tahu bahasa bahasa Bima yang saya gunakan masih berantakan, Dae’Leo senang sekali memperbaiki saat saya salah ucap. Sesekali kami tertawa terbahak-bahak bersama saat mendengar kacaunya bahasa Bima yang saya ucapkan. Dae’ Leo juga senang belajar bahasa betawi dengan saya.Kami sama-sama saling belajar. Sejak saya tinggal di rumah panggung ini, Mama bilang banyak perubahan baik terjadi pada Dae’ Leo.  Ia sekarang rajin mandi, bantu-bantu membersihkan rumah dan senang menasehati adiknyaFifi jika tidak memakai kerudung saat keluar rumah. Dae’ Leo senang sekali memberi saya tebak-tebakan.Ia anak laki-laki polos.. Senyumnya selalu menyambut saya saat pagi datang, selepas saya pulang mengajar, ketika saya hendak beraktivitas dan ketika saya mulai menutup hari. Saya bahagia dengan keluarga baru saya.

Ari(adik) Fifi, ini adalah adik saya di rumah panggung. Rambut panjang, kulit coklat, dan memiliki senyum yang manis. Salah satu hobinya yang unik adalah mencuci pakaian. Fifi mendapatkan beasiswa OshizoraFoundation dari Jepang. Ia selalu mendapatkan juara di kelasnya.Sejak duduk di bangku sekolah dasar(SD), Fifi sudah mendapatkan biayasiswa dari Oshizora Foundation. Program ini memberikan kesempatan kepada setiap anak untuk memperoleh pendidikan dan mengembangkan potensi yang dimiliki semaksimal mungkin demi mewujudkan dunia yang lebih baik. Program ini dinamakan “Beasiswa Mimpi Anak Negeri” yang dikhususkan bagi mereka yang duduk di bangku SD, SMP,  dan maksimal kelas 1 SMA atau sederajat yang memiliki cita-cita dan motivasi tinggi. Fifi senang sekali membuat bros atau jepitan dari kain flanel. Setiap kali saya pergi ke kota Bima, Fifi hanya berpesan ingin dibelikan peniti untuk bros flanel yang akan dibuatnya. Ia anak yang rajin dan sangat hormat. Di awal saya menempati rumah panggung, Fifi membuatkan kamus mini bahasa Dana Mbojo (Tanah Bima) dari buku bergaris miliknya. Kamus itu ia tulis sendiri dengan tulisan tangannya menggunakan pulpen berwarna hitam. Tulisannya sangat rapi dan mudah dibaca. Kamus itu selalu saya bawa, saya selipkan di buku catatan saya. Agar memudahkan saya menghafal di waktu-waktu luang dimanapun saya berada.

Dae’....

Mama....

Dae’ Leo....

Ari Fifi....

Sungguh Allah mentakdirkan kita bertemu dengan kalian

Saya yang bukan siapa-siapa, tapi kalian memberikan cinta sepenuh hati

Definisi rumah bagi saya adalah ketika saya kembali dalam keadaan tentram, damai, nyaman, dan tempat untuk kembali atau sekedar mengisi amunisi. Tidak peduli berbentuk seperti apa, dibangun dengan material semahal apa, dengan fasilitas seperti apa. Rumah panggung di sanalah tempat saya kembali.

 

 

 

 


Cerita Lainnya

Lihat Semua