info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Buku, Pesta dan Cinta

AfifAlhariri Pratama 30 Agustus 2015

            Buku. Seorang bijak bestari dari Arab pernah mengatakan bahwa cara untuk mengikat sebuah ilmu pengetahuan adalah dengan menulis. Sehingga sulit untuk memisahkan kaitan antara buku dan ilmu pengetahuan. Sebab ia adalah manifestasi. Dengan buku, pundi – pundi otak akan senantiasa terisi oleh hal – hal baru, informasi – informasi baru, ide – ide baru, paradigma – paradigma baru. Membuat isi kepala menjadi lebih terbuka. Tidak terkungkung seperti katak dalam tempurung. Apakah kita akan membahas buku, Tuan  Nyonya? Tidak. Barang siapa yang hanya mengedepankan nalar, ia akan mati rasa. Ilmu pengetahuan, Tuan Nyonya, seberapapun tingginya, ia tidak berpribadi. Itu kata Pramoedya.

            Kehidupan ini seimbang. Berpikir tanpa diikuti dengan melakukan interaksi sosial hanya membentuk manusia menjadi makhluk individualistik. Bersosial tanpa diikuti rasa kasih dan sayang hanya membentuk manusia menjadi makhluk mekanis. Dan itu dapat ditemukan dalam keseimbangan patron yang populer di kalangan mahasiswa dengan buku, pesta dan cinta.

            Bagaimana buku, pesta dan cinta itu menorehkan garis – garis waktu kehidupan para Pengajar Muda? Mari sini, Tuan Nyonya. Kubisikkan sesuatu.

            Pengajar muda adalah seorang guru. Tugas seorang guru terlampau besar. Ia harus bisa membuka lembaran – lembaran kebajikan di setiap tubuh anak – anaknya. Kalau boleh mengutip jargon yang populer di film G30S, maka “boekoe adalah koentji”. Bagaimana bisa membukanya tanpa memiliki ilmu pengetahuan? Bagaimana bisa diperoleh ilmu pengetahuan tanpa membaca buku? Mau tidak mau, suka tidak suka, buku memiliki nilai kewajiban untuk pengajar muda. Bila perlu, ia harus tenggelam didalamnya agar menemukan hal – hal yang bisa dieksplorasi untuk kemudian digunakan dalam proses belajar mengajar.

             Berbicara tentang pesta, Tuan Nyonya, mari kita menggeser sedikit perspektif pesta dalam artian sempit. Meski sama – sama memiliki kesamaan azas yakni sebuah proses untuk mengeluarkan penat yang ada di kepala, sebuah cara untuk membebaskan resah yang terkurung di dalam dada, sama – sama memiliki keramaian, tetapi pesta dalam artian pengajar muda bukan tentang hiruk pikuk di sebuah klub dansa ibukota. Bila itu adalah dansa, maka tanah merah di sawah menjadi lantai. Atap biru menjadi payung. Lagu yang diputar adalah lagu – lagu ceria yang dinyanyikan dari mulut mungil anak – anak. Seringkali malah nada suara tiap anak tidak sama. Tetapi bukankah kadang perbedaan itu yang membuat simfoni lebih indah, Tuan Nyonya?

Pesta – pesta buat pengajar muda adalah tentang bermain di tengah hutan sembari memetik jambu biji yang mulai menguning. Tentang mandi – mandi di tepian sungai, sementara Pengajar Muda masih berkutat dalam ketakutan tenggelam. Atau berburu burung di sore hari. Pesta adalah tentang tawa yang keluar akibat si guru salah melafalkan bahasa daerah. Tentang manja anak yang ingin sama – sama pulang ke rumah. Dan semua itu  sukses membuat garis senyuman di wajah kami para pengajar muda. Itu adalah defenisi pesta kami. Pesta – pesta yang lahir dari sebuah hal – hal sederhana akan menjadi lebih bermakna karena jauh dari kepura – puraan dan kemunafikan.

            Entah bagaimana lagi harus mendefiniskan cinta itu. Apalah arti kehidupan tanpa cinta. Dititipkan dari Tuhan kepada manusia hingga merasuk ke dalam sukma. Ia mampu membawa manusia dalam harmonisasi alam melalui proses yang sulit dijelaskan secara empiris. Cinta itu tak lain dari sumber kekuatan tanpa bendungan yang bisa mengubah, menghancurkan atau meniadakan, membangun atau menggalang. Sebab cinta itu indah dan memiliki kekuatan yang dahsyat untuk hidup manusia yang pendek ini.

            Cinta lah yang membuat kami bertahan satu tahun di penempatan. Kehadiran cinta muncul dari sosok – sosok luar biasa yang kami temui setiap hari. Pada anak – anak, pada guru – guru dan pada masyarakat. Cinta yang tumbuh karena ketulusan merupakan cinta yang manis. Bagaimana kami tidak jatuh cinta kepada anak – anak yang sibuk membuat tingkah – tingkah yang kadang kami tersenyum, kadang terpingkal – pingkal, kadang menggelengkan kepala, atau malah mengurutkan dada. Anak – anak yang membuat emosi kami bermain layaknya cinta gadis yang bersemu saat bertemu lelaki impiannya atau sebaliknya. Bagaimana kami tidak jatuh cinta pada alam yang menorehkan senja jingga kemerah – merahan di lantai cakrawala? Menatap hamparan bintang di langit malam yang sulit kami temukan di kota – kota. Harus bagaimana cinta itu tidak mendarah daging sejak pandangan pertama? Mengingkari cinta itu durhaka. Durhaka terhadap nikmat yang diwariskan Tuhan kepada hambanya.

            Buku, pesta dan cinta di alam pengajar muda adalah tentang satu tahun yang akan menjadi kenangan berbalut bingkai emas pembelajaran. Di sini kami tidak mengabdi, Tuan Nyonya. Apalah arti pengabdian satu tahun dibanding pengabdian bertahun – tahun guru – guru hebat yang kami ketahui. Di sini kami lebih banyak belajar. Belajar untuk menjadi manusia yang berusaha ingin memanusiakan manusia bila nanti kami menjadi manusia di kehidupan manusia – manusia nantinya.


Cerita Lainnya

Lihat Semua