Amak Dul dan Ina Jariah Orangtua Anak-Anak

AminahTul Zahroh 21 Maret 2016

“Pendidikan yang jauh lebih baik merupakan misi utama dalam sebuah keluarga amak Dul dan Ina Jariyah”.

MESKI usianya sudah lanjut, laki-laki dan wanita itu tampak sehat dan bugar. Mungkin sejak kecil sudah terbiasa bekerja di ladang untuk membantu orangtuanya dan  rajin berolahraga. Kini, ketika mereka memasuki masa tua, mereka juga masih rajin berangkat ke masjid dengan berjalan kaki mengantikan olahraga yang biasa dilakukan. Amak dan ina adalah panggilan akrabnya. Panggilan pada umumnya orangtua di Bima, amak artinya bapak dan ina yang artinya ibu. Amak bertubuh tinggi, kulitnya putih, otot-ototnya masih terlihat menandakan saat muda ia adalah laki-laki yang kekar. Ina bertubuh tinggi sama seperti amak, kulitnya putih, bibirnya tipis kemerah merahan, hidungnya mancung, suaranya lembut dan memiliki senyum yang manis. Menandakan ina adalah bunga desa pada masanya. Amak dan ina adalah pasangan yang kompak dan harmonis. Amak dan ina seperti sepasang sepatu melangkah bersama, misi yang sama, dan sama-sama orangtuanya anak-anak. Ciri yang paling menonjol dari laki-laki tua itu adalah bahwa ia selalu memakai sarung, peci hitam dan baju koko. Sedangkan ciri yang paling menonjol dari ina adalah ia selalu mengenakan jilbab berwarna putih dengan renda-renda kecil di sekeliling wajahnya. Selisih sembilan tahun lebih matang ina daripada amak. Namun hal itu bukanlah menjadi masalah serius bagi pasangan harmonis ini. keduanya saling melengkapi dan saling berkolaborasi.

            Sudah lebih dari enam tahun ini amak menjalani masa pensiun. Amak adalah laki-laki lulusan SMP (sekolah menengah pertama). Amak telah mendirikan sekolah swasta di depan kantor Kecamatan Parado yaitu MTS (Madrasah Tsanawiyah) Yasim. Dulu ia mengajar pelajaran agama Islam (bahasa Arab, Al-Qur’an Hadits, Fiqih, Aqidah Akhlak). Kini, amak sering dipanggil dengan sebutan bapak khatib Parado karena amak sering mengisi ceramah agama kepada masyarakat di masjid-masjid dan tidak jarang undangan untuk mengisi acara pengajianpun ia datangi. Amak selalu membiasakan diri shalat fardhu (wajib) di masjid. kurang lebih 100 m dari rumahnya. Amak memang rajin dan selalu tepat waktu dalam melaksanakan shalat fardhu.

            PERTEMUAN PERTAMA saya adalah ketika saya mengantar anak-anak lomba cerdas cermat di kantor Kecamatan Parado. Amak menyapa saya terlebih dahulu dengan antusias. Ia mengenalkan diri dan langsung membagikan ceritanya tentang pendidikan di Parado tanpa diminta. Amak adalah laki-laki tua yang sangat menyukai dunia sosial dan kerelawanan. Kami berdiskusi cukup lama. Amak sangat antusias menanyakan program-progam PM (pengajar muda). Sampai pada sebuah diskusi serius yang cukup membuat saya tercengang.

“mbak Ami daerah Dusun Woro kondisinya sangat mengkhawatirkan bulan puasa kemarin mushola yang dibangun oleh pemerintah kosong tidak ada yang melakukan shalat terawih dan saat hari jum’at tidak ada yang melaksanakan shalat jum’at. Ya Allah.... bu saya takut mereka kena azab Allah, astagfirullahaladziim” amak mengusap wajahnya dan menggelengkan kepala.

Dusun Woro merupakan salah satu dusun yang ada di Desa saya. Butuh waktu kurang lebih tiga jam untuk sampai ke Dusun Woro dengan jalur darat. Untuk sampai ke sana harus melewati jalan yang masih buruk tidak heran jika banyak orang yang terjatuh saat perjalanan menuju Dusun Woro. Tidak banyak penduduk yang hidup di sana. Tidak ada jaringan telepon dan aliran listrik di dusun tersebut kondisinya memang sangat terisolasi. Selain itu masyarakat di sana masih awam akan pentingnya pendidikan dan awam terhadap ilmu agama.

“Mbak Ami, saya siap mengisi khotbah untuk shalat jum’at di Dusun Woro” amak menawarkan diri menjadi relawan dengan semangat.

“Mbak Ami nanti mau ikut?”

Mendengar kesedian amak menjadi khatib di Dusun Woro saya memandangi amak tidak percaya. Semangat dari orangtua ini melebihi nyanyian seribu anak muda.

“saya siap menemani dan mengantar amak ke Dusun Woro” jawab saya dengan serius.

PASANGAN HIDUP adalah cerminan diri kita Tiada hari tanpa berdiam itulah ina. Ina adalah seorang koki yang handal di dalam keluarga. Ia dapat meracik ketulusan, cinta, waktu, mengatur kegiatan dan rasa syukur yang melekat sekali pada keluarganya. Ruang dapur ina selalu ngebul menandakan aktivitas di ruang dapur tidak pernah berhenti. Ina memiliki budaya timur yang sangat kental yakni sangat menghargai siapapun tamu yang datang. Meskipun kini rambut ina sudah mulai memutih namun ina tidak pernah berhenti menghidangkan makanan yang diracik dengan cinta dan lezat untuk keluarga dan para tamu yang datang. Apa saja yang ina miliki selalu ia tawarkan kepada tamu yang datang. Saya yakin semua yang dilakukan adalah ketulusan yang tak ternilai dan bekasnya pun akan panjang.

“ina kalau semua yang ina punya ditawarin ke orang lain, ina kalau lagi butuh pakai apa”? usil tanya saya

“semua harta benda yang kita miliki nanti akan dimintai tanggung jawabnya”

“ina takut nanti Allah tidak sayang ina” jawab ina.

Deg, sontak saya dibuat terkejut oleh jawaban ina. Mengingatkan saya untuk merefleksikan diri dan berkaca pada diri. Ina sungguh mengagumkan. Ina telah melahirkan sembilan anak, dua diantaranya telah meninggal sejak kecil. Dua anaknya berada di kota yang jauh yaitu di Jakarta dan Kalimantan. Sedangkan empat lainnya masih bersama ina. Tiga diantara mereka adalah berprofesi sebagai guru. Anak perempuan ina memiliki karakter hampir mirip seperti ina. memang buah jatuh tidak jauh dari pohonnya.

            Satu hal lagi yang melekat pada ina dan amak adalah bahwa mereka sangat akrab dengan anak-anak. Hampir setiap hari rumah panggungnnya itu dikunjungi anak-anak. Selain itu orang dewasa pun sering beradatangan. Mereka senang datang mengunjungi amak dan ina karena ina dan amak sangat ramah dan akrab menerima mereka. Ina dan amak selalu menyediakan makanan dan kue-kue. Begitu pula dengan hasil tanaman dari ladang oi tede. Jika hasil tanam datang ina dengan senang hati membagikannya kepada orang lain.  Amak dan ina sering bercerita lucu dan mengajarkan isi ayat Al-Qur’an. Tidak heran jika anak-anak sampai orang dewasa betah berlama-lama berkunjung di rumah panggung amak dan ina.

            Setelah shalat magrib rumah panggung itu selalu penuh didatangi anak-anak mengaji. Pantas saja ruang tengah sengaja tidak terlihat banyak barang-barang rumah pada umumnya. Ruang tengah ina dikosongkan, hanya ada dua karpet biru berbanjar dengan rapi di atas lantai kayu, satu papan tulis, tulisan huruf hijaiyah dan poster besar ilmu tajwid. Ibu Raodah dan ibu Kartini adalah sebagai guru ngaji utama. Sesekali ina dan ibu Khadijah (anak pertama ina) membantu mengajar ngaji sedangkan amak mengisi khotbah di masjid. Saya sesekali mengajar ngaji anak-anak. Ingin rasanya bisa setiap hari namun saya pun juga harus mengajar ngaji di Desa Wane. Pengajian yang biasa diadakan setelah shalat magrib ini adalah sebuah inisiasi sendiri dari keluarga amak dan ina. Tidak digaji siapa pun namun keluarga ini bisa mengelolanya dengan baik dan apik. Sehingga anak-anak selalu senang datang kembali ke rumah panggung ini.

            Selain itu ada dua anak laki-laki amak dan ina yang tidak kalah menariknya. Kedua anak laki-laki dan menantu laki-laki amak dan ina sungguh pintar rmenciptakan situasi. Bila sedang bercerita, ekspresi wajah mereka menghidupkan cerita, sehingga jika orang lain mendengar cerita akan mudah tertawa atau tertegum. Kadang mereka tertawa terpingkal-pingkal jika cerita yang dibawakan adalah lucu. Di tangan merekalah tanah yang gersang dan hutan-hutan di tanah Oi Tede dapat tertata dengan rapi dan terawat hingga kini. Terdapat beberapa sumber mata air di perkebunan oi tede, ternak ikan dan belut,  dan berbagai macam jenis tanaman yang hasilnya untuk dijual kembali dan dinikmati bersama.

            IBU GURU PINTAR ini adalah panggilan untuk saya. Pertama kali saya mendengar keluarga ini memanggil saya “ibu guru pintar” saya langsung tertawa terpingkal-pingkal. Saya tidak bisa bayangkan jika saya tidak bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan sulit. Sejak awal pula saya menolak dipanggil “ibu guru pintar” rasanya beban tanggungjawabnya teramat besar dan saya khawatir tidak bisa memenuhi ekpektasi mereka.

“ibu guru pintar ayo makan dulu” ibu Khadijah mengajak saya yang baru datang ke rumah panggung. Rumah panggung sederhana ini selalu hangat menyambut saya.

“Ina panggil saya ibu Ami saja” sahut saya sambil tersenyum.

“Gak apa-apa bu guru pintar, emang pintar kok. Buktinya ibu guru pintar bisa sampai Bima dari Jawa yang jauh”.

“ha...ha...ha... ibu Khadijah ada-ada saja”

“ibu guru pintar ayo makan yang banyak masakan Parado, nanti kalau sudah kuat makan makanan yang pedas dan asam coba sambal khas Parado ya...Boidungga”

“Sambal buatan ina paling enakkk beneran” tambahnya lagi. Bercerita dengan antusias.

Keluarga amak dan ina memang tidak kesulitan berbahasa Indonesia. Keluarga ini sangat lancar berbicara dengan menggunakan bahasa Indonesia dan selalu mengikuti perkembangan jaman melalui televisi. Film sinetron yang sedang ramai dibicarakan di media dan berita terkini tidak pernah ketinggalan. Justru saya seringkali tertinggal saat keluarga ini membicarakan sinetron atau apapun terkait tentang infotaiment. Saya memang tidak terlalu suka menonton televisi. Dengan ngobrol bersama keluarga ini saya pun menjadi tahu tentang film yang di sukai ibu-ibu di Kecamatan parado.

Amak dan ina paling senang jika saya datang ke rumah. Dalam sepekan jika saya tidak datang ke rumah, biasanya amak dan ina meminta anaknya untuk menelpon saya. Sekedar menanyakan kabar atau meminta untuk datang ke rumahnya. Rumah ini selalu ramai dan hangat. Anak dan cucunya menganggap saya seperti anak kandungnya. Ketulusan keluarga ini membuat saya senang berlama-lama di rumahnya. Amak dan ina cukup punya banyak cerita tentang pendidikan di Kecamatan Parado. Amak dan ina tidak ubahnya seperti buku yang tidak pernah habis dibaca.

Dari amak Dul dan Ina Jariah saya belajar tentang penghambaan yang senantiasa tertuju pada yang Esa, tentang cinta yang hakiki, tentang semua orang harus bergerak, tentang saling memberikan manfaat, tentang saling berkasih sayang, tentang ketulusan, tentang tanggungjawab dan tentang persaudaraan.

Amak Dul....

Ina Jariah....

Sehat selalu, terimakasih untuk semua yang diberikan yang tidak ternilai harganya. Semoga Allah mempertemukan kita  semua selalu dalam ketaatan.

Saya percaya bahwa orangtua kita masih melahirkan para pejuang.

 

 

 


Cerita Lainnya

Lihat Semua