info@indonesiamengajar.org (021) 7221570 ID | EN

Sesederhana Puisi Ini

Amelinda Rizki Eka Putri 21 Maret 2016

“Bu guru, ah saya su tidak bisa buat ini, tidak usah saja ya bu!”, itulah kalimat protes yang dilontarkan siswa kelas 6 saat saya ajari Bahasa Indonesia. Materi kali ini yang saya ajarkan adalah menulis puisi. Di dalam kelas saya, ada perjanjian khusus yang kita sepakati antara saya dengan siswa. Saya meminta teman-teman kecil saya untuk memberi alasan setiap tantangan tugas yang saya berikan. Maksud saya, agar mereka terbiasa mengungkapkan “kemauan” yang ada dalam diri mereka sendiri dan tidak hanya mengikuti arus karena tidak memiliki pilihan.

Saat itu yang memprotes saya adalah Gery, dia adalah salah satu siswa saya yang berbakat di dalam kemampuan Logical Mathematical. Ketika pelajaran Bahasa Indonesia tiba dan diminta membuat puisi dia agak keberatan. Saya hanya menjawab, “Terserah Gery, mau membuat atau tidak. Ibu hanya memberi latihan saja untuk kamu nanti persiapan ujian praktek di SD Bulangkop”. Perlu diketahui, sekolah kami masih menggabung dengan sekolah tetangga karena jumlah murid kami belum mencukupi target untuk mengadakan ujian sendiri, jadi mau atau tidak sekolah kami harus digabung dengan semua SD di Sub rayon II.

Karena saat itu Gery masih berusaha membujuk saya agar memperbolehkan dia tidak melaksanakan tugasnya, saya beranjak pergi untuk melihat hasil karya murid  lainnya. Kebetulan mereka saya minta untuk mencari inspirasi di luar kelas berkenaan objek yang ingin dijadikan puisi untuk memberi ruang mereka berimajinasi. Sebelumnya, teman-teman kecil saya ini saya bacakan cerita tentang beberapa pahlawan yang pernah berjuang di Indonesia. Ada 3 pahlawan yang mereka pilih untuk diperdengarkan kisahnya yakni: Moh. Hatta, R.A Kartini dan Ki Hajar Dewantara. Dari cerita yang mereka dengar saya mencoba mengulas ingatan mereka dengan beberapa pertanyaan dan endingnya mereka akan membuat puisi

. Oh iya ada hal lain yang menarik, dari salah satu murid saya lainnya. Manu namanya, di awal saya mengajar dia adalah salah satu siswa yang paling banyak absen ketika sekolah berlangsung. Dan rasanya, dia yang paling tidak terlalu antusias dalam belajar, namun akhir-akhir ini perilakunya berubah. Segala ketertinggalannya sudah dia upayakan untuk dikejar. Sebenarnya tidak baik jika saya terlalu terburu-buru untuk memberi penilaian terlalu awal kepada anak-anak ini J. Yah, baru saya ketahui Manu sangat antusias dalam membuat puisi dan setelah saya telusuri kemampuan linguistiknya cukup menonjol. Apalagi setelah sebelumnya dialah yang mendapat nilai tertinggi di kelas puisi pelajaran lalu.

Setelah saya lihat hasil karya Manu yang cukup memuaskan, tiba-tiba saja Gery mendatangi saya serta mengatakan bahwa ia juga ingin membuat puisi. Saya tersenyum puas, ternyata jiwa kompetitif Gery cukup tinggi dan ingin berusaha. Hal yang sangat saya ingat dan masih melekat di kepala saya ketika Gery mengatakan “Ibu guru, bagaimana jika puisi saya tidak bagus, apa ibu marah?”. Seketika itu saya berfikir betapa dia takut jika membuat hasil karya yang kurang bagus. Hanya sebuah dorongan yang saya ungkapkan kepadanya. “Nak, sesederhana apapun yang kau buat, saya menghargai hasil karyamu!”. Setelah berkata demikian dia berlari ke kelas dengan penuh semangat membuat puisi sederhananya.

Rasa puas menjadi seorang guru adalah ketika muridnya terus semangat belajar dan mencoba segala tantangan. Sesederhana puisi yang dibuat oleh anak-anak Papua ini yang terus mencoba dan melaksanakannya dengan sepenuh hati. Oh iya inilah Gery ketika mencoba membacakan puisinya di depan kelas kami. Semoga semangatnya tetap sama untuk semua anak di penjuru negeri. Salam kami dari Pegunungan Bintang Papua…….


Cerita Lainnya

Lihat Semua