info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Sebuah Tanya

AfifAlhariri Pratama 4 Juli 2015

            Kalau boleh dikatakan, sudah menjadi “penyakit” awal yang diderita oleh para Pengajar Muda (termasuk saya tentunya) yang datang dari berbagai perguruan tinggi dengan segala prestasi dan idealisme yang dibawa menuju lokasi penempatan. Hal ini tidak salah dan merupakan sesuatu yang wajar mengingat semangat menggebu – gebu itu sebuah kenormalan bagi anak – anak muda yang sedang mencoba memperluas zona nyaman. Tetapi semangat ini, seperti yang telah dituliskan sebelumnya, kadang menjadi semacam penyakit.

            Tak jarang Pengajar Muda datang dengan puluhan program yang ada di kepalanya untuk diaplikasikan. Datang dengan pendekatan yang diperoleh selama ini dari bangku perkuliahan, organisasi atau bahkan ilmu yang didapatkan selama pelatihan intensif tujuh minggu. Tetapi disisi lain, timbul satu pertanyaan. “Apa benar program – program yang kita bawa itu dibutuhkan oleh masyarakat di penempatan?”.

            Ketakutannya adalah ketika PM telah memberikan gambaran di kepalanya tentang program – program yang ingin dilaksanakan, justru ini menjadi semacam hirarki antara “siapa yang tahu dan siapa yang tidak tahu”. PM akhirnya lebih banyak menggurui akibat adanya hirarki ini. Sehingga menimbulkan batasan – batasan atau dengan kata lain menimbulkan eksklusifitas di tubuh PM. Gagasan – gagasan menjadi sebuah kebutuhan PM, bukan masyarakat. Tujuan untuk membuat sebuah prilaku positif didasarkan pada sudut pandang PM. Apa bedanya dengan program – program ibu kota selama ini?. Dimana desa – desa di luar ibu kota harus dipaksakan mengikuti peraturannya padahal belum tentu sesuai dengan kebutuhan mereka sendiri.

            Saya jadi teringat dengan diskusi tengah malam di sebuah meja bundar dengan sahabat – sahabat saya seperti Citra Nasution, Shandy Marpaung dan Andri Wijaya. Salah satu kajian yang mengusik kami saat itu adalah siapakah kita? Yang datang dari, misal Jakarta atau Medan, kemudian datang ke desa penempatan dan serta merta ingin mengubah apa yang telah dijalani masyarakat selama bertahun – tahun?. Siapa kita yang dengan “sok tahu”nya ingin mengubah masyarakat ke arah yang positif?. Positif berdasarkan standar siapa?. Berdasarkan standar kita?. Siapa yang berhak menentukan defenisi “positif” itu?.        Pertanyaan – pertanyaan ini menjadi “mimpi buruk” saya beberapa hari ini. Meski PM VIII telah memberikan wejangan tentang kondisi masyarakat, namun saya masih bingung, apa itu relevan?. Apa itu yang menjadi kebutuhan masyarakat?. Atau hanya itu Cuma perspektif PM belaka?. Apa parameternya?.

            Entahlah, saya pun sejujurnya masih bingung. Minggu – minggu ini saya lalui dengan mengunjungi beberapa orang untuk bertanya – tanya dan berbincang – bincang. Seperti Socrates yang hidup beratus – ratus tahun lalu, berjalan – jalan di Acropolis, menemui beberapa orang untuk bertanya – tanya. Saya hanya ingin berusaha memahami sudut pandang masyarakat disini. Berusaha menyamakan persepsi yang saya bawa dengan keadaan disini. Harapannya adalah agar gagasan – gagasan yang timbul nantinya bukan semata – semata dari sudut pandang saya sebagai PM, tetapi masyarakat. Sebab mereka lah yang lebih tahu tentang kondisinya, bukan saya, selaku orang baru yang “sok tahu”. 


Cerita Lainnya

Lihat Semua