Sambatan
AfifAlhariri Pratama 3 September 2015Masih jelas terngiang di telinga bagaimana dulu di mata pelajaran PPKN tentang gotong royong. Sebuah kearifan lokal asli Indonesia katanya. Yang ketika dewasa saya menggangapnya sebagai romantisme – romantisme masa lalu belaka. Cerita indah yang meninabobokkan pendengarnya dalam lamunan. Dengan iklim kehidupan yang bernafaskan konsumerisme, kegotong royongan perlahan – lahan tergerus oleh ancaman kapitalisme yang menggesernya menuju ke tepian. Arus kapitalisme yang sedemikian hebat yang dapat disaksikan melalui kepongahan – kepongahan gedung – gedung mewah memaksa manusia menjadi makhluk individualis yang senyata – nyata individu. Tetapi bersyukurlah, kalau boleh meminjam terminologi Marx, hantu – hantu kapitalis ini belum menyentuh desa penempatan yang saya diami. Minimal tidak mengubah pola hidup masyarakat yang individualistik.
Masyarakat disini menyebutnya dengan sambatan. Merupakan Bahasa Jawa yang berarti gotong royong. Konsep saling bahu membahu. Mengikuti kata pepatah yakni ringan sama dijinjing berat sama dipikul. Sebuah budaya yang masih bertahan di desa Karang Makmur. Awet karena formalinnya berasal dari rasa senasib sepenanggungan kelas masyarakat yang umumnya menjadikan petani sebagai mata pencaharian.
Seperti siang itu, sepulang sekolah, selepas makan siang dan tidur sejenak selama lebih kurang lima belas menit, saya diajak bapak untuk sambatan. Kebetulan salah satu warga ingin merekonstruksi rumahnya yang semula dari kayu menjadi batu bata. Sebab batubata yang digunakan buatan sendiri, sehingga perlu adanya proses pembakaran. Proses penyusunan batubata dikerjakan bersama – sama oleh warga sekitar. Ada yang bertindak sebagai transporter membawa bata dari gudang penyimpanan ke halaman pembakaran. Sisanya menjadi tim penyusun batubata. Pada kali lain, saya ikut bersama – sama memperbaiki atap di rumah warga yang kebetulan sedang rusak. Rumbia – rumbia yang dirangkai sedemikian rupa untuk menjadi tempat berteduh dari panas dan hujan.
Kegiatan sambatan merupakan ruang interaksi, ruang sosialisasi antar warga. Dimana sembari bekerja mereka saling bercanda satu sama lain. Kadang – kadang diselingi dengan kritik – kritik terhadap kinerja pemerintahan. Menyuarakan isi hati sebagai “orang kecil”, katanya. Orang – orang yang selalu dirugikan dalam birokrasi.
Jika pihak lelaki sibuk bekerja, para perempuan juga ikut mengambil peran. Demi urusan suplai tenaga pihak lelaki, dapur di lokasi sambatan dikepulkan asapnya. Ibu – ibu dan para gadis bersama – sama menyiapkan konsumsi. Disini pula informasi yang berlalu lalang seperti seliweran kendaraan di jalan raya. Mulai informasi seputar hal – hal yang patut diangkat mengenai warga – warga desa hingga diskusi tentang Mahabaratha, Asoka, Cinta di Taj Mahal dan Krishna. Film – film favorit mayoritas warga Karang Makmur.
Meskipun demikian, sambatan bersifat musiman. Rata – rata aktivitas sambatan dilaksanakan antara setelah musim panen dan sebelum musim tanam. Ketika dua musim tersebut tiba, warga yang mayoritas petani akan sibuk di ladang masing – masing. Sebab mereka berburu dengan waktu. Berjudi dengan cuaca. Maklum saja, tanah gambut sejatinya kurang bagus untuk pertanian. Sebab air asam akan merusak padi. Maka jika musim hujan tiba, tanda musim tanam dimulai, warga fokus mengurus sawah. Telat sedikit saja maka gagal panen akan mengancam. Jadi jangan heran jika pernikahan, pembuatan rumah, perbaikan – perbaikan rumah, pembersihan lingkungan dan hal – hal yang membutuhkan konsep sambatan ini dilakukan di antara dua musim tersebut.
Gotong royong, sambatan, atau apapun namanya lestari di desa – desa. Abadi di kampung – kampung. Ketulusan itu pasti. Keikhlasan itu memang ada. Dan itu lahir dari rahim – rahim dari manusia – manusia yang sering diolok – olok masyarakat kota. Bukankah sering kita memarjinalkan mereka dengan memberikan stereotype?. Contoh saja di layar televisi sering kali kita mendengar pelabelan “Dasar wong ndeso. Kampungan. Ndeso!” untuk mempermainkan orang – orang yang kurang lebih bertujuan untuk menghina (?).
Sementara wong wong ndeso ini mengajarkan hal – hal abstrak di pelajaran moral sekolah menjadi sesuatu yang konkrit. Kalau kabarnya kebaikan itu menular. Disini malah menjangkit bagai virus – virus. Bersemayam dalam sanubari masyarakat – masyarakat desa. Kalau kita dulu sering mendengar tenggang rasa, gotong royong, keramahan, saling membantu, kemudian menghafalkannya untuk sekedar menambah nilai – nilai di selembar raport, disini tak perlu dilafalkan atau dihafalkan. Telah menjadi sesuatu yang “biasa” dalam kehidupan sehari – hari. Nilai – nilai itu nyata. Bukan berupa angka – angka, tetapi jauh lebih daripada itu. Tak terdefinisikan.
Kemudian pikiran liar saya berimajinasi. Di gotong royong yang dilaksanakan oleh pihak Indonesia Mengajar melalui Festival Gerakan Indonesia Mengajar beberapa tahun lalu di Ancol, tiba - tiba ada yang berkata “Dasar wong ndeso”.
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda