Robohnya Pohon Kelapa Kami
AfifAlhariri Pratama 16 November 2015Sejam yang lalu ia masih berdiri tegak. Mencoba bertahan dengan sisa – sisa tenaga yang masih tersimpan. Diam tak melawan. Kini tubuhnya mulai miring. Perih menahan luka yang terobek – robek di kaki. Pelan – pelan jatuh roboh ke tanah. Kakinya putus. Kepala membentur rerumputan. Tergeletak.. Tak ada darah yang keluar. Sebab ia bukan makhluk yang memiliki arteri dan vein. Hanya kambium yang ia punya. Sebab ia adalah pohon kelapa.
Seperti segerombolan semut yang melihat sebutir gula, anak – anak berlarian berebutan mengambil kelapa – kelapa muda yang masih menempel di pelepah. Kemudian berlarian mengamankan harta karunnya tersebut ke sudut perpustakaan. Bagi yang tidak mendapatkan buah kelapa, ia akan mengejar untuk mencari kawan yang mungkin akan berbagi harta hasil jarahan. Sisanya hanya menjadi penonton dan tertawa melihat adegan rampas – rampasan buah kelapa. Pak Tri Mulyanto menyapu dahinya yang berkeringat. Di tangan kanan masih tergenggam sebilah kapak. Layaknya prajurit yang menyeret pedang ketika perang telah usai, menatap tubuh lawannya yang terbaring tak berdaya.
Iya, pohon kelapa di depan perpustakaan itu telah roboh. Keputusan ini bukan tanpa sebab. Kepala sekolah berkata ia takut nantinya anak – anak akan tertimpa buah – buah kelapa yang jatuh ketika telah matang. Sebab anak – anak sering menggunakan pohon kelapa tersebut untuk duduk – duduk bersembunyi dari sengatan matahari.
“Pak. Pak. Empalnya, pak. Empalnya, pak”. Teriak anak – anak yang masih berdiri di depan batang kelapa yang telah roboh.
Pak Tri mengangkat kembali kapak dan mulai memotong bagian atas.
Anak – anak memang selalu memiliki rasa ingin tahu yang sangat tinggi. Mereka mendekat menuju bagian kepala. Himbauan – himbauan tentang bahaya kapak yang dipegang pak Tri tak dihiraukan. Sehingga pak Parji terpaksa menarik anak – anak tersebut untuk mundur ke belakang.
Inilah yang selalu menyenangkan ketika menjadi seorang anak – anak. Sejatinya anak – anak adalah seorang filsuf yang sebenar – benarnya. Mereka akan selalu penasaran dengan apa yang terjadi di depan mata. Isi kepala yang penuh tanda tanya terhadap rekaman kejadian yang dikirim melalui indera. Bahkan tak jarang menantang bahaya agar bisa mengetahui apa “sesuatu” itu.
Ketika bagian atas telah terpotong, sekali lagi, adegan berlarian berebutan kembali ditampilkan. Kali ini bukan kelapa muda lagi, tetapi empal kelapa. Empal kelapa atau umbut merupakan bagian tengah dari bagian atas kelapa yang lunak. Saya yang memang belum tahu seperti apa itu empal, penasaran juga untuk melihat. Dengan polosnya saya bertanya kepada Ali yang memimpin prosesi berebutan empal.
“Itu empalnya dibuat apa?”. Tanya saya.
“Loh, wenak toh, pak. Manis. Kayak kelapa muda. Ini, pak. Coba”. Ali menawarkan sepotong empal yang ia peroleh. Saya menggigitnya. Memang enak. Rasanya persis kelapa muda.
“Enak yah. Pantas aja kalian berebutan. Hahahaha”. Ujar saya tertawa.
Anak – anak perempuan yang kebetulan tidak berebutan empal mengambil janur dan daun – daun kelapa. Dirangkai oleh mereka menjadi bentuk – bentu kerajinan tangan. Ketupat dan bunga. Sementara anak laki – laki membuat terompet dari daun kelapa. Bunyi yang dikeluarkan bervariasi tergantung panjang dan pendek terompet. Semakin panjang, semakin nge-bass. Anak – anak ini sungguh kreatif.
Pohon kelapa itu?. Meski ia telah tumbang. Namun di akhir hayat ia masih saja memberi manfaat kepada ummat manusia. Ia masih saja memberikan senyum dan tawa kepada anak – anak. Mungkin sudah seyogyanya manusia mengambil pelajaran dari sini. Ketika hidup selalu memberi manfaat, bahkan ketika wafatpun tetap memberi manfaat melalui karya – karya yang ditinggalkan. Sebab, sebaik – baik manusia adalah manusia yang menebarkan sejuta manfaat di jalan hidup yang ia lalui. Kemudian manfaat – manfaat itu dimanfaatkan oleh orang lain untuk dijadikan manfaat – manfaat lainnya. Karena kebaikan itu menular.
Tiba- tiba cermin besar datang ke wajah saya. Kemudian ia bertanya.
“Sudah sejauh manakah kamu memberi manfaat kepada orang lain?”.
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda