Merajut Keberlanjutan dalam Kemasan Sederhana

RinaAnggraeni Safia 15 November 2015

Waktu tidak memiliki belas kasihan, oleh karenanya manusia sendiri lah yang harus memberi belas kasihan pada dirinya, pada kesempatan yang mungkin punya limit waktu. Waktu berjalan dan tidak pernah mau menengok ke belakang, meninggalkan segala hal yang memang tidak bisa mengikutinya. Waktu juga telah mengantarkan satu per satu pengajar muda menyelesaikan setahun demi setahun pengabdian mereka, sampai akhirnya waktu membawa tongkat estafet penghabisan di tangan 40 pengajar muda IX yang telah tersebar di 5 kabupaten penempatan antara lain Aceh Utara, Tulang Bawang Barat, Paser, Majene, dan Halmahera Selatan. Indonesia Mengajar memang tidak mampu menyelesaikan seluruh persoalan pendidikan di tanah air, tapi selama 5 tahun Indonesia Mengajar percaya bahwa aktor pendidikan dan masyarakat daerah telah sadar, mandiri, dan mampu melanjutkan estafet berikutnya dengan percaya diri.

Setahun waktu yang tersisa bukan hanya untuk menuntaskan apa yang belum selesai, melanjutkan apa yang telah mapan dan baik, tapi juga untuk mempersiapkan kemandirian dan keberlanjutan dalam sebuah ruang interaksi dan kolaborasi dimana seluruh elemen masyarakat bertemu dan bersama-sama bergerak demi pendidikan yang lebih baik di daerahnya. Maka, waktu yang tidak banyak dan terus berjalan ini, jangan lagi mencetuskan hal-hal besar jika hanya kita sendiri yang bergerak, tapi letakkan hal-hal kecil selama banyak tangan yang ikut membangun dan banyak kaki yang ikut bergerak.

Forum Keberlanjutan (FK) merupakan satu langkah yang diharapkan bisa menjadi muara kecil bertemunya seluruh elemen masyarakat untuk ikut terlibat memikirkan, menemukan, kemudian memetakkan hal-hal yang menjadi kebutuhan mereka di bidang pendidikan. FK telah menjadi salah satu menu wajib yang telah dikonsumsi oleh 5 kabupaten terakhir penempatan PM, termasuk salah satunya adalah Kabupaten Majene. FK yang diselenggarakan pada 22 Desember 2014 telah menyuguhkan ruang interaksi yang baru bagi para aktor pendidikan. Mereka bertemu dan saling berdiskusi sesuai kapasitas mereka masing-masing, tak ada yang lebih hebat pun tak ada yang lebih buruk, mereka mengolaborasikan ide dan berkomitmen memperbaiki pendidikan yang lebih baik.

Berangkat dari FK di Kabupaten, maka diadopsilah FK tersebut untuk tingkat dusun yang diharapkan mampu mempertemukan dan membuat ruang interaksi dan kolaborasi yang lebih kuat dan positif antar aktor pendidikan di tingkat dusun, membantu masyarakat untuk memetakkan kebutuhan mereka di bidang pendidikan, mendampingi masyarakat menyusun strategi dan program beserta penanggung jawabnya dalam rangka memenuhi kebutuhan mereka di bidang pendidikan, dan menumbuhkan kemandirian dan kepercayaan diri masyarakat dalam memajukan pendidikan di dusun mereka tanpa Pengajar Muda. FK Dusun yang telah dilaksanakan, diberi nama Forum Bersama (FB), selain Forum Bersama akan lebih familiar pemilihan katanya bagi masyarakat dusun, juga membentuk pemahaman masyarakat bahwa forum ini merupakan sebuah forum mereka untuk membicarakan dan mendiskusikan hal-hal yang dibutuhkan secara bersama-sama.

FB yang telah diselenggarakan pada 09 Mei 2015 di SDN 33 Buttutala telah berhasil mempertemukan berbagai aktor pendidikan di tingkat dusun antara lain Kepala Sekolah, guru PNS, guru honorer, penjaga sekolah, komite sekolah, orang tua siswa, Kepala Dusun, Imam Dusun, perwakilan remaja, dan guru TPA. Kekhawatiran sempat menyerbu secara membabi buta, tentang kebekuan dalam forum karena tidak ada inisiatif yang muncul, tentang peserta yang tidak seluruhnya hadir, atau terjadi persepsi yang seharusnya dibawa menuju hal positif ternyata lari ke hal negatif. Nihil, seluruh kekhawatiran saya tumbang begitu menjadi fasilitator FB.

Selaku fasilitator, saya membuka forum dengan sebuah apresiasi atas peran masyarakat dalam mendukung kemajuan pendidikan di dusun mereka selama ini. Proses yang digunakan dalam forum ini adalah Appreciative Inquiry (AI) dengan pengemasan yang lebih sederhana, karena mengingat peserta yang hadir merupakan masyarakat dengan tingkat pendidikan rendah dan bahkan beberapa tidak mengerti Bahasa Indonesia dan belum bisa baca tulis. Selama proses memang terlihat seperti rapat atau diskusi biasa, namun sebenarnya peserta diajak berpikir tahap per tahap. Peran pengajar muda sebagai fasilitator yang mendampingi peserta menyelesaikan tahap per tahap proses AI.

Selama proses berlangsung, PM hanya mendominasi di bagian pembukaan dan apresiasi. Proses diskusi selanjutnya, Kepala Dusun dan seorang guru mampu menjadi pengarah diskusi persis sesuai apa yang saya rencanakan. Lebih dari itu, mereka pun mampu mengajak dan mendorong peserta yang lain untuk aktif berpendapat dan mengeluarkan ide mereka. Saya menyimpulkan hasil tiap tahap dan membawa peserta ke tahap berikutnya. Forum ditutup dengan menyampaikan motivasi untuk menumbuhkan kepercayaan diri dan komitmen dalam menjalankan program-program yang telah dipetakkan bersama meskipun pengajar muda sudah tidak ada lagi di dusun.

Hasil diskusi Forum Bersama menggunakan Pendekatan Appreciative Inquiry:

1. Membangun taman baca. Penanggung jawab Pak Sandi.

2. Kelompok belajar anak-anak di luar sekolah. Penanggung jawab Pak Sandi.

3. Kelompok belajar orang tua yang buta huruf. Penanggung jawab Nardi.

4. Kelompok Majelis Taklim. Penanggung jawab Mamak Dina.

5. Kaderisasi guru TPA. Penanggung jawab Nardi dan Icang.

Lebih dari ekspektasi, keterbatasan dalam pengusaan Bahasa Indonesia dan kemampuan baca tulis ternyata tidak menghalangi mereka untuk berkontribusi dalam menyumbang ide bagi kemajuan pendidikan di daerah mereka. Peserta telah mampu menggali kebutuhan dan paham strategi-strategi sederhana yang harus mereka lakukan untuk mencapai goal dalam upaya memenuhi kebutuhan, memang tidak muluk-muluk strategi yang mereka sampaikan tetapi anggukan bersama-sama itulah yang dibutuhkan untuk memulai sebuah langkah kolaborasi.

Senyum merekah di wajah mereka, bola mata berbinar penuh takjub. Papan tulis telah penuh dengan hal-hal positif yang dipetakkan sendiri oleh peserta. Sebenarnya masyarakat dusun telah memiliki kemandirian dalam hal ide, namun tidak ada forum yang memfasilitasi ide-ide mereka. Kepala dusun sendiri telah mampu memimpin jalannya forum, pun menggerakkan para peserta untuk mengeluarkan inisiatif mereka. Beberapa peserta, seperti Pak Gustiar dan Pak Nardi pun bisa menjadi penggerak peserta lain untuk mengeluarkan pendapat mereka, bahkan mereka membantu pengajar muda untuk menterjemahkan kalimat beberapa warga ke dalam Bahasa Indonesia.

“Pertemuan seperti ini bagus sekali ternyata, Bu. Sepertinya saya harus rutin mengadakan pertemuan lagi. Nanti Ibu Guru mendampingi saya saja”, Ucap Pak Kepala Dusun sembari menjabat erat tangan pengajar muda.

Bermula dari muara kecil ini, hal-hal positif ternyata menyebar pelan-pelan dan menjemput satu per satu kepercayaan masyarakat pada kemampuan mereka sendiri. Bermula dari sebuah ruang kecil di salah satu sudut sekolah, ternyata menularkan kekuatan untuk masyarakat dapat bergerak sendiri atas inisiatif mereka. Tak perlu sebuah pertemuan yang muluk-muluk dengan sederet pertanyaan yang sangat intelektual, cukup pertanyaan-pertanyaan sederhana yang mudah dipahami oleh masyarakat dalam keterbatasan bahasa dan kemampuan baca tulis mereka.

Buttutala, Mei 2015

Lewat tengah malam dengan penerangan seadanya.

*Telah dimuat di Buletin Kabar IM semester 2 Tahun 2015 Halaman 22-23


Cerita Lainnya

Lihat Semua